Mohon tunggu...
Ahmad Kamiludin
Ahmad Kamiludin Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang penulis yang berdasarkan buku-buku yang telah dibaca, baik agama, politik, Iptek, dan lain sebagainya.

Mahasiswa UIN KH. Ahmad Shiddiq Jember Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Prodi Ekonomi Syari'ah 2018

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Bawon dan Tebasan Pada Pertanian di Desa Balung Lor, Balung-Jember di Tinjau dari Ekonomi Moral dan Rasional

19 Juni 2021   16:41 Diperbarui: 20 Juni 2021   07:00 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep Sistem Bawon dan Sistem Tebasan Pada Pertanian

Pada masyarakat Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, terdapat beberapa sistem hubungan kerja utama untuk memanen hasil pertanian, di antaranya adalah sistem Bawon (buruh memperoleh upahnya dari sebagian hasil panen yang diperolehnya, biasanya antara 1/7 hingga 1/12 bagian), dan sistem tebasan (petani pemilik lahan menjual tanaman pertaniannya yang masih di sawah kepada tengkulak yang biasanya berasal dari luar desa, kemudian tengkulak tersebut membeli dengan memperkirakan hasil panen dalam proses panennya menggunakan tenaga kerja juga dari luar desa) (Sindung Haryanto, 2011: 83). 

Dalam sistem tebasan, sebagian besar hasil panen telah dijual kepada penebas tepatnya sebelum panen tiba. Para penebas inilah yang kemudian bertanggung jawab atas segala biaya yang timbul saat panen, seperti biaya pengangkutan, biaya tenaga buruh yang mereka gunakan, dan lain sebagainya.

Sedangkan pemilik lahan tinggal menunggu pembayaran dari penebas, karena rata-rata penebas membayar separuh pada saat sebelum panen. Hal ini dilakukan dengan beberapa tujuan di antaranya untuk memastikan bahwa pemilik lahan tidak menjual tanaman pertaniannya kepada pihak lain, sebagai jaminan atau bukti bahwa penebas tersebut telah membeli tanaman pertaniannya, dan lain sebagainya. 

Dalam sistem tebasan ini, pemilik lahan hanya mengeluarkan biaya mulai dari bibit, pupuk, buruh tani yang membantu penanaman, dan tidak mengeluarkan biaya panen, karena sudah menjadi tanggung jawab penebas itu sendiri. Hal inilah yang membedakan antara sistem tebasan dengan sistem bawon, di mana sistem tebasan lebih menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan lebih kecil dari sistem bawon. 

Namun, dari sisi buruh tani yang membantu pemilik lahan, keuntungan yang diperoleh juga lebih kecil, karena mereka tidak ikut memanen hasil pertanian, di mana penebas menggunakan buruh atau tenaga kerja lain yang berasal dari luar desa.

Sedangkan, dalam sistem bawon, biaya produksi mulai dari bibit, pupuk, buruh tani, biaya panen, dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab si pemilik lahan, yang artinya Biaya produksi yang dikeluarkan pemilik lahan lebih besar, dan keuntungan yang diperoleh pemilik lahan hanya sedikit. Sebaliknya, keuntungan bagi buruh tani yang membantu pemilik lahan cukup besar, yakni upah dari sebagian hasil panen dan juga upah ketika membantu dalam proses penanaman dan panen. 

Menariknya, di Desa Balung Lor ini buruh tani yang membantu proses penanaman hingga panen rata-rata dari para tetangga, saudara, dan sanak keluarga sendiri. Jadi, pemilik lahan pertanian mengalami dilema, antara menggunakan sistem tebasan yang lebih menguntungkan dari sisi finansial, tetapi tidak memperoleh keuntungan sosial (keuntungan dari para tetangga sekitar dan sanak keluarga sendiri lebih sedikit), dan menggunakan sistem bawon yang keuntungan dari sisi finansial lebih sedikit, namun juga memperoleh keuntungan dari sisi sosial (keuntungan dari para tetangga sekitar dan sanak keluarga sendiri lebih besar.

Hal ini sangat erat kaitannya dengan ekonomi moral dan ekonomi rasional. Di mana para petani yang memiliki lahan sendiri, ingin memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan sistem tebasan dan yang dilakukan para pemilik lahan ini sangat rasional, dikarenakan mereka juga sebagai Homoeconomicus yang selalu melakukan perhitungan untuk meningkatkan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya atau paling tidak mempertahankan tingkat kehidupan yang tengah dinikmatinya. 

Disisi lain, para petani yang memiliki lahan sendiri ini juga menginginkan para tetangga dan sanak saudaranya menikmati hasil panen secara bersama-sama, dimana kekerabatan dan kekeluargaan di Desa Balung Lor ini sangat kuat dan erat. Keadaan inilah yang membuat dilema para pemilik lahan pertanian di Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember.

Efisiensi Produksi dan Memaksimalkan Keuntungan Dalam Islam

Pembahasan di atas sangat erat kaitannya dalam hal efisiensi produksi, agar nantinya bisa memaksimalkan keuntungan. Dalam islam hal ini diperbolehkan karena atas dasar manusia sebagai Homoeconomicus atau pelaku yang rasional, yang selalu melakukan perhitungan untuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya (Zusmelia, Ariesta, dan Irwan, 2015: 176). 

Dalam etika bisnis islam, juga diperbolehkan dalam hal memaksimalkan keuntungan. Yang tidak diperbolehkan adalah melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja, misalnya menyuruh tenaga kerja untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya, memberi upah yang sedikit padahal kinerjanya sangat baik bahkan kadang tidak memberi upah sama sekali, dan lain sebagainya sebagaimana di jelaskan dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah:

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مَعَهُ بِدِينَارٍ يَشْتَرِي لَهُ أُضْحِيَّةً فَاشْتَرَاهَا بِدِينَارٍ وَبَاعَهَا بِدِينَارَيْنِ فَرَجَعَ فَاشْتَرَى لَهُ أُضْحِيَّةً بِدِينَارٍ وَجَاءَ بِدِينَارٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَصَدَّقَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعَا لَهُ أَنْ يُبَارَكَ لَهُ فِي تِجَارَتِه  (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ).

 

Artinya: “Dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW telah mengutus dengan membawa uang satu dinar agar ia belikan satu ekor hewan kurban. Kemudian ia membelinya dengan harga satu dinar, dan ia menjualnya seharga dua dinar, lalu ia kembali dan membeli seekor hewan kurban dengan harga satu dinar. Dan ia datang dengan membawa satu uang dinar kepada Nabi SAW. kemudian Nabi SAW mensedekahkan uang tersebut dan mendoakannya agar diberi berkah dalam perdagangannya” (HR. Abu Daud).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)

 

Artinya : “Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah).

Namun, yang menjadi masalah bagi para pemilik lahan pertanian ini adalah dilema antara menggunakan sistem tebasan yang lebih menguntungkan secara ekonomis atau menggunakan sistem bawon yang nantinya akan mendapatkan keuntungan sosial. Tetapi, menurut penulis terdapat solusi yang bisa dilakukan oleh para pemilik lahan untuk mengatasi hal ini, yakni jika para pemilik lahan tetap menghendaki untuk menggunakan sistem tebasan agar bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar, maka para pemilik lahan ini bisa tetap berbagi keuntungan dengan menggunakan ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Waqaf). 

Selain tetap bisa berbagi keuntungan dengan para buruh tani yang rata-rata dari para tetangga dan sanak saudara, instrumen ZISWAF ini juga bisa membawa keberkahan atas rezeki yang telah diperoleh para pemilik lahan. Jadi, para pemilik lahan bisa keluar dari sifat tamak atau rakus akan harta duniawi dikarenakan harta yang mereka peroleh tetap bisa membawa manfaat untuk sesama. 

Para pemilik lahan pertanian ini juga tidak akan mengalami rasa "Sungkan" terhadap para buruh tani yang timbul karena telah memilih sistem tebasan, dan tetap bisa menjalin keakraban antar tetangga dan sanak saudara. Maka dari itu, kesimpulannya adalah dalam syariat islam, seorang pelaku usaha tetap diperbolehkan memaksimalkan keuntungan atas dasar untuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya, yang tidak diperbolehkan adalah tindakan eksploitasi. 

Agar keuntungan atau laba yang diperoleh seorang pelaku usaha termasuk pemilik lahan pertanian menjadi tetap berkah, membawa manfaat bagi sesama, dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial, maka islam menawarkan solusi nyata yakni berupa instrumen ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Waqaf). Selain itu, Zakat, Infaq, Sedekah, dan Waqaf juga bisa membuat kita semua keluar dari sifat tamak dan rakus terhadap harta duniawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun