Mohon tunggu...
Lafon
Lafon Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang

Penikmat Sepak Bola dan Tukang Mantau Timur Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yaman dan Peperangan

27 Maret 2019   23:09 Diperbarui: 27 Maret 2019   23:15 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: BBC

"Astaghfirullah". Kata spontan yang keluar dari mulut saya ketika membaca kisah Fatimah, gadis 12 yang mengalami malnutrisi, di salah satu media daring nasional. Saat diselamatkan oleh petugas kesehatan, Fatimah hanya memiliki berat badan 10 kilogram dan hidup di bawah pohon. Kisah Fatimah hanya satu di antara ribuan kisah memilukan di Yaman akibat perang saudara yang tak kunjung usai. Ratusan ribu penduduk Yaman terpaksa harus mengungsi dengan fasilitas dan bantuan yang sangat minim. 

Dua juta anak-anak terpaksa keluar dari sekolah karena banyaknya sekolah yang hancur atau beralih fungsi menjadi barak pengungsian. Banyak pendapat yang mengklaim bahwa Arab Spring menjadi pemantik konflik di Yaman saat ini. Namun, melihat fakta yang begitu rumit, tampaknya terlalu dini menyimpulkan akar masalah di Yaman.

Dalam sejarahnya, perang saudara bukanlah hal baru di Yaman. Pasca runtuhnya kekuasaan Imamah dari keluraga Hamid ad-Din (Imam Yahya, Imam Ahmad, Imam al-Badr), Yaman dihadapkan dengan perang saudara antara pasukan pemerintah Republik yang dipimpin oleh Abdullah as-Salal dan pasukan royalis yang dipimpin oleh al-Badr pada tahun 1962-1970. 

Dalam penelitiannya yang berjudul The Background of The Yemeni Revolution 1962, Guldescu menyebutkan bahwa perang tersebut merupakan salah satu perang paling berdarah dan berlarut-larut di zaman modern. Perang yang hampir seluruhnya diabaikan oleh pers Amerika. Setidaknya hampir seperempat juta orang Yaman dari semua usia dan kelas kehilangan nyawa mereka.

Perang tersebut juga diperburuk dengan kehadiran pihak asing yang mendukung masing-masing pihak. Mesir secara terang-terangan mendukung pasukan pemerintah dengan mengirimkan ribuan tentaranya.  Di pihak lain, Arab Saudi dan Yordania secara diam-diam memberi dukungan dana dan senjata kepada pasukan royalis. Kehadiran mereka bukan tanpa sebab, 

Mesir menganggap pemerintah republik di Yaman memiliki kesamaan visi dengan mereka. Pihak Saudi dan Yordania merasa khawatir jika gelombang revolusi di Yaman menjalar ke negaranya yang menganut sistem monarki, sehingga mereka mendanai pasukan royalis Yaman untuk melemahkan pasukan pemerintah, sehingga tidak mampu memperluas dominasinya.

Perang tersebut sebetulnya bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir, apabila pasukan yang dipimpin oleh Abdullah as-Salal dengan dukungan Mesir memberi kesempatan bagi al-Badr untuk membuktikan kinerjanya sebagai pemimpin tertinggi di Yaman. Semua penduduk Yaman telah mengetahui bahwa al-Badr adalah sosok yang sangat berbeda dengan ayah dan kakeknya. 

Dia memiliki pemikiran progresif dan seringkali tidak setuju dengan kebijakan ayahnya. Bahkan, presiden Nasser pun sempat memuji kecemerlangannya dan memprediksi akan membawa Yaman keluar dari kemiskinan. Namun, semua itu tidak berarti ketika Abdullah as-Salal menggulingkan pemerintahan monarki al-Badr dan menggantinya dengan pemerintah republik. 

Padahal, bentuk pemerintahan tidak memiliki banyak pengaruh jika suatu negara dipimpin oleh sosok yang baik dan pro-rakyat. Hal itu terbukti dengan kondisi Yaman di bawah pemerintahan as-Salal yang tidak lebih baik dari pemerintah sebelumnya.

Perang saudara kembali terulang di tahun 1994 atau tiga tahun setelah unifikasi Yaman pada 1991. Meski tidak seburuk perang sebelumnya, perang ini menjadi ujian berat bagi Republik Yaman yang masih berusia muda. Perang ini disebabkan oleh memansanya hubungan antara GPC (General People's Congress), partai penguasa Yaman Utara, dan YSP (Yemen Socialist Party), partai penguasa Yaman Selatan, pasca pemilu 1993. Kedua pihak saling tuduh telah mengkhianati komitmen pembagian kekuasaan di parlemen Yaman. 

Sebelumnya, kedua negara sepakat utuk membagi rata kursi parlemen dalam pemerintahan transisi pasca unifikasi Yaman. Hasil pemilu 1994 yang menempatkan GPC di peringkat pertama dan YSP di peringkat ketiga menimbulkan kekhawatiran bagi pihak Yaman Selatan. Menurut YSP, kekalahan ini sangat memungkinkan terjadinya diskriminasi politik terhadap mereka. 

Pada Oktober 1993, YSP mengeluarkan 18 tuntutan politik kepada pemerintah, beberapa di antaranya berupa tuntutan untuk melakukan desentralisasi politik, mereformasi aturan hukum, dan mempertahankan beberapa otonomi daerah bagi Yaman Selatan yang secara administrasi banyak direbut oleh Yaman Utara. GPC tindakan tersebut dengan mengeluarkan 19 tuntutan yang berisikan seruan untuk bersatu dan mengutuk basis regional partai politik, seperti yang dilakukan oleh YSP.

Menghadapi situasi ini, sekelmpok elit politik ternama di Yaman membentuk Yemeni National Dialogue of Political Forces untuk memediasi kedua kubu. Namun, usaha itu tak membuahkan hasil karena dianggap lebih menguntungkan pihak Yaman Selatan. Karena tuntutannya tidak dipenuhi, YSP dan para pendukungnya memutuskan untuk memisahkan diri dan mendeklarasikan Republik Demokrasi Yaman (DRY) di bekas wilayah Yaman Selatan. Pada akhir April 1994, peperangan antara pemerintah Yaman dan kelompok separatis pun tidak terhindarkan. 

Meski unifikasi Yaman telah menyerukan kedua pihak, baik Yaman Utara maupun Yaman Selatan, untuk menggabungkan kekuatan militer mereka, namun seruan itu tidak pernah dilakukan. Peperangan berdarah yang terjadi selama dua bulan itu merusak kepercayaan publik dan dunia internasional terkait unifikasi dan demokrasi di Yaman. Akibat peperangan ini, lebih dari 7000 orang menjadi korban, baik dari rakyat sipil maupun militer.

Delapan tahun lalu, gelombang Arabic Spring merambat ke Yaman. Presiden Ali Abdullah Salih yang berkuasa di Yaman sejak tahun 1978 berhasil dikudeta. Abdrabbuh Mansour Hadi diangkat menggantikan posisi Salih. Lemahnya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Hadi, dimanfaatkan oleh kelompok Houthi -minoritas Syi'ah Zaidiyyah di utara Yaman- dan pendukung Salih untuk menyerang pemerintahan. Pada tahun 2015, ketika Houthi berhasil menguasai wilayah Sana'a dan beberapa wilayah penting lainnya. 

Akibat situasi yang semakin memburuk, presiden Hadi terpaksa melarikan diri dan meminta bantuan ke Arab Saudi. Arab Saudi dan koalisinya kemudian melakukan serangan udara ke wilayah Houthi. 63 penduduk sipil menjadi korban dari serangan ini. Hingga detik ini, lebih dari 50.000 penduduk Yaman menjadi korban. Blokade yang dilakukan oleh Arab Saudi semakin memperburuk kondisi Yaman. Akibatnya, 13 juta rakyat Yaman mengalami krisis kelaparan. UN menyebutkan bahwa krisi kelaparan tersebut menjadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir.  

Meski Yaman memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Islam, namun semua itu terhalang oleh peperangan yang terjadi di negara itu. Setiap kali mendengar kata Yaman, saya yakin kata yang terlintas dalam pikiran kita adalah perang. 

Yaman dan perang seakan menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan. Naasnya, peperangan Yaman terjadi bukan untuk mengusir penjajah, tetapi justru terjadi antar sesama penduduk Yaman karena kepentingan masing-masing kelompok. 

Dengan populasi penduduk yang setara dengan gabungan Arab Saudi, Oman, dan Uni Emirat Arab, Yaman menjadi negara paling miskin di negara Arab dan salah satu yang termiskin di dunia. Julukan Arabia Felix (Arab subur) tampaknya sulit memberi kemakmuran bagi rakyat Yaman di tengah kondisi negara yang tidak menentu. Yaman menjadi pelajaran penting bagi Indonesia bahwa kepentingan rakyat dan negara berada di atas segalanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun