Perang saudara kembali terulang di tahun 1994 atau tiga tahun setelah unifikasi Yaman pada 1991. Meski tidak seburuk perang sebelumnya, perang ini menjadi ujian berat bagi Republik Yaman yang masih berusia muda. Perang ini disebabkan oleh memansanya hubungan antara GPC (General People's Congress), partai penguasa Yaman Utara, dan YSP (Yemen Socialist Party), partai penguasa Yaman Selatan, pasca pemilu 1993. Kedua pihak saling tuduh telah mengkhianati komitmen pembagian kekuasaan di parlemen Yaman.Â
Sebelumnya, kedua negara sepakat utuk membagi rata kursi parlemen dalam pemerintahan transisi pasca unifikasi Yaman. Hasil pemilu 1994 yang menempatkan GPC di peringkat pertama dan YSP di peringkat ketiga menimbulkan kekhawatiran bagi pihak Yaman Selatan. Menurut YSP, kekalahan ini sangat memungkinkan terjadinya diskriminasi politik terhadap mereka.Â
Pada Oktober 1993, YSP mengeluarkan 18 tuntutan politik kepada pemerintah, beberapa di antaranya berupa tuntutan untuk melakukan desentralisasi politik, mereformasi aturan hukum, dan mempertahankan beberapa otonomi daerah bagi Yaman Selatan yang secara administrasi banyak direbut oleh Yaman Utara. GPC tindakan tersebut dengan mengeluarkan 19 tuntutan yang berisikan seruan untuk bersatu dan mengutuk basis regional partai politik, seperti yang dilakukan oleh YSP.
Menghadapi situasi ini, sekelmpok elit politik ternama di Yaman membentuk Yemeni National Dialogue of Political Forces untuk memediasi kedua kubu. Namun, usaha itu tak membuahkan hasil karena dianggap lebih menguntungkan pihak Yaman Selatan. Karena tuntutannya tidak dipenuhi, YSP dan para pendukungnya memutuskan untuk memisahkan diri dan mendeklarasikan Republik Demokrasi Yaman (DRY) di bekas wilayah Yaman Selatan. Pada akhir April 1994, peperangan antara pemerintah Yaman dan kelompok separatis pun tidak terhindarkan.Â
Meski unifikasi Yaman telah menyerukan kedua pihak, baik Yaman Utara maupun Yaman Selatan, untuk menggabungkan kekuatan militer mereka, namun seruan itu tidak pernah dilakukan. Peperangan berdarah yang terjadi selama dua bulan itu merusak kepercayaan publik dan dunia internasional terkait unifikasi dan demokrasi di Yaman. Akibat peperangan ini, lebih dari 7000 orang menjadi korban, baik dari rakyat sipil maupun militer.
Delapan tahun lalu, gelombang Arabic Spring merambat ke Yaman. Presiden Ali Abdullah Salih yang berkuasa di Yaman sejak tahun 1978 berhasil dikudeta. Abdrabbuh Mansour Hadi diangkat menggantikan posisi Salih. Lemahnya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Hadi, dimanfaatkan oleh kelompok Houthi -minoritas Syi'ah Zaidiyyah di utara Yaman- dan pendukung Salih untuk menyerang pemerintahan. Pada tahun 2015, ketika Houthi berhasil menguasai wilayah Sana'a dan beberapa wilayah penting lainnya.Â
Akibat situasi yang semakin memburuk, presiden Hadi terpaksa melarikan diri dan meminta bantuan ke Arab Saudi. Arab Saudi dan koalisinya kemudian melakukan serangan udara ke wilayah Houthi. 63 penduduk sipil menjadi korban dari serangan ini. Hingga detik ini, lebih dari 50.000 penduduk Yaman menjadi korban. Blokade yang dilakukan oleh Arab Saudi semakin memperburuk kondisi Yaman. Akibatnya, 13 juta rakyat Yaman mengalami krisis kelaparan. UN menyebutkan bahwa krisi kelaparan tersebut menjadi yang terburuk dalam 100 tahun terakhir. Â
Meski Yaman memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Islam, namun semua itu terhalang oleh peperangan yang terjadi di negara itu. Setiap kali mendengar kata Yaman, saya yakin kata yang terlintas dalam pikiran kita adalah perang.Â
Yaman dan perang seakan menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan. Naasnya, peperangan Yaman terjadi bukan untuk mengusir penjajah, tetapi justru terjadi antar sesama penduduk Yaman karena kepentingan masing-masing kelompok.Â
Dengan populasi penduduk yang setara dengan gabungan Arab Saudi, Oman, dan Uni Emirat Arab, Yaman menjadi negara paling miskin di negara Arab dan salah satu yang termiskin di dunia. Julukan Arabia Felix (Arab subur) tampaknya sulit memberi kemakmuran bagi rakyat Yaman di tengah kondisi negara yang tidak menentu. Yaman menjadi pelajaran penting bagi Indonesia bahwa kepentingan rakyat dan negara berada di atas segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H