Sumber foto: BBC
"Astaghfirullah". Kata spontan yang keluar dari mulut saya ketika membaca kisah Fatimah, gadis 12 yang mengalami malnutrisi, di salah satu media daring nasional. Saat diselamatkan oleh petugas kesehatan, Fatimah hanya memiliki berat badan 10 kilogram dan hidup di bawah pohon. Kisah Fatimah hanya satu di antara ribuan kisah memilukan di Yaman akibat perang saudara yang tak kunjung usai. Ratusan ribu penduduk Yaman terpaksa harus mengungsi dengan fasilitas dan bantuan yang sangat minim.Â
Dua juta anak-anak terpaksa keluar dari sekolah karena banyaknya sekolah yang hancur atau beralih fungsi menjadi barak pengungsian. Banyak pendapat yang mengklaim bahwa Arab Spring menjadi pemantik konflik di Yaman saat ini. Namun, melihat fakta yang begitu rumit, tampaknya terlalu dini menyimpulkan akar masalah di Yaman.
Dalam sejarahnya, perang saudara bukanlah hal baru di Yaman. Pasca runtuhnya kekuasaan Imamah dari keluraga Hamid ad-Din (Imam Yahya, Imam Ahmad, Imam al-Badr), Yaman dihadapkan dengan perang saudara antara pasukan pemerintah Republik yang dipimpin oleh Abdullah as-Salal dan pasukan royalis yang dipimpin oleh al-Badr pada tahun 1962-1970.Â
Dalam penelitiannya yang berjudul The Background of The Yemeni Revolution 1962, Guldescu menyebutkan bahwa perang tersebut merupakan salah satu perang paling berdarah dan berlarut-larut di zaman modern. Perang yang hampir seluruhnya diabaikan oleh pers Amerika. Setidaknya hampir seperempat juta orang Yaman dari semua usia dan kelas kehilangan nyawa mereka.
Perang tersebut juga diperburuk dengan kehadiran pihak asing yang mendukung masing-masing pihak. Mesir secara terang-terangan mendukung pasukan pemerintah dengan mengirimkan ribuan tentaranya. Â Di pihak lain, Arab Saudi dan Yordania secara diam-diam memberi dukungan dana dan senjata kepada pasukan royalis. Kehadiran mereka bukan tanpa sebab,Â
Mesir menganggap pemerintah republik di Yaman memiliki kesamaan visi dengan mereka. Pihak Saudi dan Yordania merasa khawatir jika gelombang revolusi di Yaman menjalar ke negaranya yang menganut sistem monarki, sehingga mereka mendanai pasukan royalis Yaman untuk melemahkan pasukan pemerintah, sehingga tidak mampu memperluas dominasinya.
Perang tersebut sebetulnya bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir, apabila pasukan yang dipimpin oleh Abdullah as-Salal dengan dukungan Mesir memberi kesempatan bagi al-Badr untuk membuktikan kinerjanya sebagai pemimpin tertinggi di Yaman. Semua penduduk Yaman telah mengetahui bahwa al-Badr adalah sosok yang sangat berbeda dengan ayah dan kakeknya.Â
Dia memiliki pemikiran progresif dan seringkali tidak setuju dengan kebijakan ayahnya. Bahkan, presiden Nasser pun sempat memuji kecemerlangannya dan memprediksi akan membawa Yaman keluar dari kemiskinan. Namun, semua itu tidak berarti ketika Abdullah as-Salal menggulingkan pemerintahan monarki al-Badr dan menggantinya dengan pemerintah republik.Â
Padahal, bentuk pemerintahan tidak memiliki banyak pengaruh jika suatu negara dipimpin oleh sosok yang baik dan pro-rakyat. Hal itu terbukti dengan kondisi Yaman di bawah pemerintahan as-Salal yang tidak lebih baik dari pemerintah sebelumnya.