Benarkah bahagia itu kita yang nentuin?
Biarkan pertanyaan ini menggantung, tanpa perlu mencari jawaban, diakhir paragraf, boleh jadi kita menemukan jawaban.
Nobita dewasa boleh jadi tak jauh beda dengan yang kita kenal selama ini, sosok manja yang acap kali gagal dalam kehidupan, penakut dan nyaris tak memiliki bakat khusus, Nobita hanya memiliki cinta, dia ingin melihat orang-orang disekitarnya bahagia.
Nobita menikah dengan Shizuka dan memiliki anak yang masih usia sekolah dasar, tinggal dirumah sederhana dengan dua kamar. Bekerja sebagai karyawan swasta dan punya beberapa penghasilan sampingan dari hobinya maen game.
Nobita beruntung, didampingi istri seperti Shizuka yang setia mendampinginya di tengah aneka kegagalan hidup, walau Shizuka dulu bisa saja memilih dekisugi yang pintar atau Suneo yang kaya, Nobita tetap jadi pilihannya atas alasan sikapnya yang sederhana, tapi kekuatan cintanya luar biasa.Â
Walaupun, pilihan yang diambilnya memiliki resiko, hidupnya biasa-biasa saja secara ekonomi, berbeda dengan keluarga Dekisugi yang karirnya moncer atau Keluarga Suneo yang bisnisnya berkembang biak.
Bagi Shizuka, sepanjang Nobita tetap sayang dan setia, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi Nobita tetap manusia biasa, yang kerap ceroboh dan mudah percaya pada orang, itulah mengapa kegagalan demi kegagalan kerap dia temui.
Nobita pada suatu titik merenung,tentang masa-masa yang telah lalu, melakukan kontemplasi atas hal-hal yang berada diluar jangkauannya selama ini, perlahan dia sadar, bahwa dia tak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa, terlahir dengan fisik yang payah, atau dari keluarga yang biasa saja.
Perlahan Nobita bisa menerima takdir itu, lalu berdamai dengan kenyataan dan mulai fokus menata masa depan.
Saat diberi pertanyaan filsafat mengenai apa yang membuatnya bahagia, Nobita mulai men-chalange dirinya. Benaknya menjawab rumah. Rumah yang besar yang bisa membuat istri dan anaknya bahagia.
Nobita bergegas membawa anak dan istrinya menuju pameran peluncuran rumah perdana di pinggiran kota, lingkungan yang asri dan udara terbaik, pemandangan menghadap lapangan golf dan nampak dua pegunungan dikedua sisi, tak lupa kolam renang pribadi di taman belakang yang membuatnya semakin menggebu untuk memilikinya.
Shizuka bukannya tak sadar apa yang dilakukan Nobita sekarang adalah bagian penyakit lamanya yang serba grasa-grusu, tanpa perhitungan matang. Tapi Shizuka juga wanita biasa yang ingin memiliki rumah istimewa.Â
Dalam perjalanan, Shizuka bertanya apakah Nobita memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah yang dituju, lalu seperti biasa Nobita menjawab bisa mengusahakannya, mata Nobita terlihat berbinar saat mengucapkannya, jawaban yang sudah ditebak oleh Shizuka sebelumnya.
Rumah yang dituju memiliki tiga lantai dengan gaya minimalis modern, dirancang oleh arsitek terbaik di Jepang. Rumah itu nyaris sempurna disetiap sisi. Shizuka beberapa kali menatap Nobita mengerenyitkan dahi saat berbincang dengan marketing perumahan yang nampak sangat ramah.
Nobita bertanya apakah Shizuka menyukai rumah itu, rumah idaman yang jadi impian mereka selama ini.
Shizuka coba realistis, dia mengatakan rumah itu nyaris sempurna, tapi terlalu banyak memiliki ruang, Shizuka menambahkan bahwa rumah yang dia idamkan sejatinya seperti rumah mereka sekarang, rumah yang jadi tempat berkumpulnya keluarga dan sanak famili ketika berkunjung, bukan rumah yang memiliki banyak ruang.
Nobita merenung sejenak, dia teringat hal-hal yang bisa dalam kendalinya dan hal diluar kendalinya. Dia mulai sadar, bahwa kebahagiaan yang dia coba wujudkan itu berawal dari keinginan, berdasar dari pengalaman, gagal mengontrol keinginan adalah bermulanya keresahan, rasa cemas, hingga akhirnya sulit untuk merasakan ketenangan.
Nobita teringat pesan Epictetus dalam filsafat stoikisme.
"Ada hal-hal yang berada dalam kendali kita, ada hal-hal diluar kendali kita." Â
Jika dia bisa berdamai dengan hal-hal diluar kendalinya, maka Nobita mulai menepikan kembali harapan. Nyatanya, kebahagiaan yang dia kira bermula dari keinginan memiliki rumah besar, bisa dia rasakan walau tak mengikuti keinginannya.
Nobita hanya ingin membuat Shizuka bahagia, dan dia bahagia karenanya.
Nobita coba mengambil jeda, meneruskan kembali renungan-renungan para sufi tentang awal mula kebahagiaan.
"Istirahatkanlah dirimu dari pengaturan-pengaturan, sesuatu yang telah Allah jaminkan untukmu, tak perlu lagi risau memikirkannya."
Allah telah jaminkan rezeki, menentukan takdir terbaik, jodoh hingga kapan kita kembali.
Hal-hal diluar kendali Nobita, seperti pesan Epictetus dan Syeikh Ibn Athailah, tak lagi membuat Nobita risau, Nobita mulai fokus menata masa depan anak-anaknya, merencanakan pendidikan, dari selasar rumahnya yang sederhana disertai segelas kopi Arabika yang disajikan Shizuka tercinta.
Saat Nobita bisa melawan keinginan, Nobita mulai bersyukur atas apa yang telah terjadi, bukan karena pintar seperti Dekisugi atau kaya raya seperti Suneo yang membuat Shizuka menerimanya, tapi karena ketulusan hati Nobita yang ingin membuat orang-orang disekitarnya bahagia.
Alam raya ini sejatinya hanya melakukan aktifitas biasa, perspektif kitalah yang membuatnya berbeda. Â
Begitu gumam Nobita di senja hari nan temaram.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI