Surat untukmu
Mencintaimu adalah salah satu hal paling absurd sekaligus menyenangkan bagiku.
Aku takjub saat menyadari tak pernah mau pergi dari memori indah bersamamu, bahkan di saat paling bahagia sekalipun, ingatan tentangmu tak pernah pudar.
Maaf jika harus kutulis bahwa kaulah wanita pertama yang kucintai seraya kupejamkan mata, cantik dan menarik tak lagi jadi persyaratan untuk mencintaimu, itulah kenapa di awal surat kukatakan, mencintaimu adalah absurd.
Mungkin saat itu aku ragu akan alasan itu dan menganggap mencintaimu adalah kebetulan, karena usiaku masih belasan, tak berbeda jauh denganmu tentu saja. Tapi setelah puluhan tahun berpisah, sekali lagi, pesonamu tak pernah mau pergi. Â Itulah kenapa kusebut, mencintaimu adalah hal paling menyenangkan untukku.
Semesta seolah membuka tabir keabadian, mengajariku tentang cara mencinta dari dasar jelaga jiwa, menutup mata, menutup rapat telingaku, dan saat kusebut namamu pelan, aku tetap jatuh cinta.
Tak ada lagi bantahan.
Jika kau tanya hal apa yang membuatku selalu mengingatmu, jawabanku tegas tak ada, tak ada hal khusus yang mengingatkanku tentangmu, sebagai gantinya, aku selalu mengingatmu walau sedang tak memikirkan apapun. Bagiku, kau tak pernah kemana-mana.
Aku mencoba untuk tak menyesali apapun yang pernah terjadi, tapi, berkali-kali aku mencobanya, berkali-kali pula aku gagal melakukannya.
Walau aku ingin sekali disebut seorang pria sejati, tapi sejatinya aku tak lebih dari seorang wanita yang tak sanggup mengemukakan perasaan. Kau pasti ingat saat itu, saat seseorang di masa lalumu datang melamarmu, dan kau tanyakan tentang pendapatku, seharusnya aku jadi seorang pria yang memperjuangkan cintanya mati-matian, bukan malah terjebak dalam laku bak pujangga dan mengatakan apapun yang terbaik untukmu aku ikut bahagia, bukan itu yang harus ku katakan.
Seharusnya aku segigih saat merebutmu dari pacarmu, melakukan semua usaha terbaik dan meluluhkan hatimu untuk sekedar membuka pintu hati, lalu kupenuhi ruang itu dengan jutaan bunga-bunga cinta. Harusnya kulakukan itu.
Aku tahu kau pasti kecewa dengan keputusanku yang tak bisa diterima, bahkan saat hari pertunanganmu tiba, aku malah memilih pergi.
Mungkin saat itu aku masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan cinta kita, mengajak orang tuaku datang dan melamarmu lebih dulu.
Tapi lagi-lagi aku jadi seorang pengecut, alih-alih datang dan menerima kenyataan, aku malah memilih pergi, teronggok sendiri dalam sepi, aku bohong saat kukatakan turut berbahagia untukmu, aku bohong saat berkata cinta tak harus memiliki. Karena paripurna cintaku adalah mendampingi kebahagiaanmu.
Tahu kah kau, saat papa mamamu katakan kau tak akan bahagia andai hidup bersamaku, aku tak kecewa apalagi marah, pada saat itu, mungkin setiap calon mertua akan berpendapat sama saat anaknya kupinang, aku bersyukur hal itu malah memotivasiku untuk berhasil, sejak hari itu aku selalu bersungguh-sungguh dalam setiap usahaku.
Andai saja kau tahu, saat aku nyaris gagal dalam setiap langkahku, selalu saja namamu yang terlintas dalam benak, hal itu yang membuat semangatku bertambah seraya membayangkan suatu saat kau akan mendengar jejak langkahku.
Sepuluh tahun berlalu semenjak perpisahan kita, tak kusangka kita akan bertemu lagi.
Saat konser lagu kenangan Minggu lalu, dengan drescode seragam SMU semesta mempertemukan kita lagi.
Di depan panggung musik diwaktu senja, sesosok wanita dengan wangi parfum istimewa melewatiku, aku tahu siapa saja bisa menggunakan parfum Benetton tribu sama dengan yang sering kau gunakan dulu, tapi paduan wangi parfum dan keringat itu ku yakin tak ada lagi yang memilikinya.
Semesta seolah berhenti saat kau menoleh kebelakang menatap pria dibelakangku, dengan dua bola mata bulat dan rambut ikal dikuncir kuda, kau masih seperti dulu.
Jujur aku berharap kau melihatku saat itu, saling berpandangan walau sedetik saja, seperti saat aku dulu menatapmu di bawah pohon Pinus di seberang masjid raya setiap sabtu malam bersama kekasihmu.
Kau gandeng seorang pria yang kuduga adalah suamimu, seorang pria yang terlihat mapan dan rona wajah penuh cinta saat menggenggam tanganmu mendendangkan lagu-lagu saat kita remaja dulu.
Andai saja kau melihatku, aku tak datang sendiri pada acara itu, walau di depan panggung aku tidak dengan pasanganku, karena istriku ada di panggung memainkan tuts piano akustik dan keyboard secara bergantian. Aku  datang sore itu untuk melihat penampilan istriku untuk pertama kalinya diatas panggung.
Lima tahun sudah aku membina rumah tangga dengan seseorang yang mempercayaiku semenjak pertama bertemu, dia wanita sederhana yang selalu ingin membuatku bahagia.
Dia mengetahui kisah tentangmu entah dari siapa, tapi tetap memberiku privasi pada masa laluku. Itulah mengapa aku memberikan segenap cintaku untuknya.
Dan itulah kenapa aku tak membalas pesan singkatmu kemarin.
Aryo, 2 Januari 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H