Bumi Yang Terlahir Kembali.
Hampir dua tahun sudah pandemi covid-19 ini melanda. Tahun dimana seisi bumi berduka, ada jutaan korban nyawa karenanya, sendi-sendi kehidupan nyaris luluh lantak, sebuah kenyataan yang membuat banyak dari kita kaget dan tercengang, sekaligus mempertanyakan kembali sejauh mana kehebatan kita sebagai manusia.
Apakah kita sehebat dan sekokoh yang kita kira? Catatan berikut ini mungkin bisa jadi sebuah refleksi, bahwa kita sejatinya bukan siapa-siapa, bahkan tidak ada.
Saat aktifitas kita berhenti, hal luar biasa terjadi di alam liar, bumi yang selama ini entah sengaja atau tidak, kita perlakukan semena-mena.
Diluar sana, tiba-tiba udara lebih bersih, air laut dan sungai lebih jernih. Hewan-hewan berkembang dengan cara yang tak terlihat selamat puluhan tahun.
Alam memberikan tanggapan, dari raksasa laut yang berkomunikasi dengan anak mereka melalui cara baru, Cheetah yang peluang bertahan hidup anak-anak mereka meningkat. Lalu penguin langka yang memecahkan rekor musim kawin yang tak pernah terjadi selama ratusan tahun.
Ketika interaksi manusia terjeda, sebuah eksperimen global sejatinya tengah berlangsung, tahun dimana bumi berubah. Saat manusia berhenti bergerak, seolah memberi kesempatan pada alam raya untuk memulihkan diri, berproses perlahan hingga terlahir kembali.
Para ilmuwan memberi kesaksian, bagaimana hiu dan paus kembali bernyanyi, bahkan melanggamkan nada-nada baru yang menambah harmoni kehidupan, burung gereja di San Fransisco bernyanyi dengan riang saat jalanan mulai sunyi beberapa pekan pertama, kebisingan lalu lintas global anjlok hingga 70%, tawa mereka menghasilkan symphony suara baru, masyakat di India bisa melihat gunung Himalaya dengan jelas bahkan dari jarak 300 kilometer, polusi udara turun dengan mencengangkan di seluruh dunia.
Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, selama puluhan tahun.
Para ilmuwan melihat sebuah keajaiban semesta, boleh jadi juga inilah cara alam raya memperingatkan kita atas lalai dan keserakahan.
Semesta lagi-lagi memberi pesan kehidupan, tentang keseharian kita, tentang rasa sakit dan perihnya perjuangan, setelah larut dalam laku dosa yang dirasa menyenangkan, seolah Tuhan selalu ada di pihak kita, hingga di rasa memaklumi semua laku amoral dan kesombongan kita. Iya sombong, seolah kita adalah pemilik harta dan seisi dunia.
Lalu semesta, atas seizin Tuhan memberi kesempatan, seraya mengingatkan kita bahwasanya selain memiliki sifat kasih sayang, Tuhan juga memiliki sifat murka.
Begitu pun juga dengan kita, memerlukan jeda aktifitas, memulihkan luka, dan memberi kesempatan pada diri untuk kembali membumi, berdamai dengan kenyataan atas semua kegagalan dan nestapa.
"Semesta Terang Benderang Karena Pantulan Nur Allah."
"Semesta itu semuanya dalam kegelapan, sedangkan yang meneranginya, hanya karena dhohirnya Al-Haq [Allah] padanya, maka siapasaja yang melihat alam semesta, lalu tidak melihat Allah di dalamnya, atau di dekatnya, atau sebelumnya, atau sesudahnya, maka sungguh ia telah disilaukan oleh Nur [Cahaya] Allah, dan tertutup baginya surya [Nur-Cahaya] Ma'rifatullah oleh tebalnya benda-benda semesta ini."
Pesan Syeikh Ibn Athailah dalam karya Magnum Opusnya Al-Hikam kembali mengingatkan kita agar tak men-Tuhan-kan dunia yang fana.
Bahwa capaian dan kegagalan kita adalah fana, bahkan sejatinya kita itu tidak ada.
Selaras dengan pesan Imam Al-Ghazali dalam Misykat Al Anwar:
"Yang hakiki adalah nur (cahaya) Ketuhanan."
Hari ini bumi kembali bersinar, memancarkan senyum dengan rona bahagia.
Sebaiknya juga kita, memulai lagi langkah-langkah yang sempat terjeda, siapa tahu, kegagalan kita di masa lalu dan kini, adalah cara Tuhan memeluk hambanya.J
"Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepadaNya
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;"
"karena Tuhan, dengan rahmatNya
akan tetap menerima mata uang palsumu
Jika engkau masih mempunyai
seratus keraguan mengenai Tuhan,
maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja."
"Begitulah caranya wahai pejalan
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi Karena Tuhan telah berfirman:
“Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepadaKu, karena Akulah jalan itu.”
-Maulana Jalaluddin Rumi-
Mari melangkah lagi, No Worry.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H