Halte Pakuan adalah satu-satunya hiburan di mana dia merasa hidup, berada di tengah hiruk-pikuk zaman di era perubahan dua tahun setelah tumbangnya orde baru.
"Siang, Teteh, mangga calik (Siang, Mbak, silakan duduk)," sapa Aryo ramah pada tiga orang gadis berseragam SMU yang berjalan melintas tepat di depannya.
Sapaannya dibalas cuek oleh tiga gadis  yang dituju, melangkah santai melewatinya tanpa ada jawaban, tanpa respons, seolah tak ada siapa-siapa di depan mereka.
"Teteh rambutnya lucu, cantik.," tambah Aryo nakal seolah tak peduli dengan gestur penolakan tiga gadis SMU itu.
Gadis berambut keriting panjang yang diikat kuda langsung menengok ke arah Aryo, alih-alih mendapat senyuman, gadis itu malah menampakan gestur penolakan dan tanpa senyuman segera membalikkan leher, melewati Aryo yang tertegun ragu.
"Serbuuuuu!!"
Pekik seseorang di seberang jalan, tangannya ditarik ke atas memberi komando, diiringi pekikan yang sama oleh puluhan temannya.
Mereka mulai menambah kecepatan, dari jalan menjadi berlari, menuju ke halte tempat Aryo dan teman-temannya berada.
"Yo!! Cabut, kita diserang!!" perintah Erwin pada Aryo.
Ya, Tuhan, Aryo panik, adrenalinnya naik, dilihat sekilas ratusan anak STM lain tengah berlari ke arahnya, tangan-tangan mereka membawa aneka senjata tajam, dari mulai pedang, samurai hingga gear yang diikat tali bersiap menghantam apa pun yang ada di depannya.
"Ikut gua!!" ujar Aryo berusaha tenang, gestur tangan dan matanya mengajak Erwin dan dua orang temannya berbalik arah menuju toko buku Gramedia di belakang halte.