Pada saat itu aku sudah mulai berdamai dengannya, sehingga ayah memilih untuk tinggal bersamaku, aku merawat ayah hingga meninggal dipangkuanku.
Aku masih ingat percakapan kami pada suatu malam, dengan suaranya yang merintih menahan sakit, di ruang keluarga disinari lampu temaram, aku menemani ayah ngobrol berdua.
"Ayah, aku ingat pesan ayah dulu soal alasan poligami yang belum terjawab. Sekarang aku telah berkeluarga, sebagai seorang suami, aku bisa memahami alasan ayah poligami dulu, atau juga alasan kakek berpoligami. karena waktu dan keadaan yang berbeda. maafkan aku ayah atas kebodohanku dulu." Ucapku dengan lirih sambil memeluk ayah dengan erat.
"Nak, maafkan atas semua kesalahan ayah dulu, jadilah suami yang setia, jangan seperti ayah sekarang, sedih rasanya saat di usia senja, punya anak tercerai-berai, dengan istri yang berbeda-beda, jangan kau ikuti kesalahan ayah." Ayahku berkata sambil mendekapku erat.Â
Sebuah pelukan bernada penyesalan.
Malam itu, kami berdua menangis dalam kalbu, tangis dua pria dengan kisah hidup yang berbeda, dengan bumbu kehidupan yang penuh aroma, dimasak dengan api kesabaran, sebelum dihidangkan dalam makanan bernama hikmah yang berharga.
Ah betapa rapuh aku saat mengingat kisah itu.
Paprika dalam bumbu kehidupanku. Menikmati sajian masakan kehidupan, mengajarkanku tentang penerimaan sebagai awal mula bahagia.
Aku rindu mendiang ayah, aku berjanji menepati ikrar setia seperti yang telah ku ucapkan pada ibu.
Terima kasih paprika atas filosofimu hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H