Mohon tunggu...
Ahmad zaenal abidin
Ahmad zaenal abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjahit kata

Seorang penyulam yang percaya bahwa jahitan kata bisa merubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paprika dan Bumbu Kehidupan

27 September 2021   19:34 Diperbarui: 27 September 2021   19:55 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mas, paprikanya berapa satu kilo?"
Istriku bertanya pada pedagang sayuran sambil menunjuk ke arah benda seperti apel dengan warna hijau, kuning dan merah.

"Enam puluh ribu satu kilonya, Bu." balas mamang penjual sayuran sambil mendekatkan baki yang berisi aneka paprika segar itu, agar lebih mudah dipilih tentunya.

Istriku memilih dua buah Paprika berwarna hijau dan kuning, seraya membayar sejumlah rupiah kepada mamang pedagang sayur.

Aku menyimpan pertanyaan dalam percakapan ringan dipasar itu, apa yang istimewa dari bumbu masakan sejenis cabai raksasa itu hingga bisa semahal itu --harga perkilonya sama dengan harga dua kilo buah apel--, ak berniat akan menanyakannya saat membantu istri memasak didapur nanti.

"Paprika itu menambah cita rasa sebuah masakan, kenapa warna hijau yang dipilih, karena itu paprika yang paling kuat cita rasanya dibanding warna kuning dan merah," ucap istriku mulai menjelaskan.

Bawang putih dan bawang bombay yang di iris tipis mulai dimasukkan ke dalam wajan, lalu daging sapi yang dipotong dadu menyusul kedalam wajan, setelah daging mulai berubah warna menjadi lebih muda,  menyusul sejumput garam dan penyedap rasa. Aku mulai aduk perlahan semua isi wajan hingga tercium wangi yang menggoda lidah untuk mencoba.

"Nanti dulu, sabar ya, belum saatnya, aduk lagi sampai benar-benar matang." Istriku memberi pesan sambil mengecilkan api yang membakar wajan.

"Sekarang saatnya paprika, ini bumbu bagian akhir yang paling menarik." Lanjut istriku sambil menambahkan kecap manis pada wajan.

"Aduk lagi semua, Beb." Titah istri kemudian.

"Paprika itu menambah rasa pada masakan, tidak sebesar garam memang pengaruhnya, tapi tanpa paprika, ada rasa yang hilang dalam masakan ini."
"Paprika itu kayak bumbu kehidupan, bumbu istimewa itu masukkan belakangan, sesaat sebelum masakan matang, dia menjadi pembeda."

"Sekarang kamu boleh cobain, beb."  istriku pun menyodorkan sendok kepadaku.

Karena terkesan dengan penjelasannya soal paprika, aku cicipi paprika yang telah di iris tipis dalam wajan berisi masakan itu.

"Kok kayak cabe, ya, beb. Gak enak." Kataku pelan.

"Ya emang begitu rasanya paprika, kamu ga perlu memakannya kalo gak suka, makan saja dagingnya."

Dengan garfu ditangan kuambil sepotong daging dan mulai mengunyahnya dimulut.

"Enak sayang, aku gak bisa deskripsiin bagaimana rasanya, yang jelas daging kecap ini enak, aku suka." Pujiku tulus.

"Daging ini kayak hidup kita, kalo dimakan mentah ya gak enak, kita perlu bumbu kehidupan seperti garam dan paprika, lalu dimasak dengan api kesabaran, setelah matang, baru disajikan menjadi masakan bernama hikmah."

"Hidup yang lurus-lurus aja gak akan enak, seperti jalan tol tanpa hambatan, membuat setiap perjalanan kita berasa hampa, malah jadi sering ngantuk. sesekali cobalah jalan baru, gak apa-apa jika sesekali tersesat, toh kita dibekali akal agar bisa kembali pulang kan?"
Istriku mulai bermetafora, sambil cubit pipi kananku dengan genit.

Tiba-tiba aku teringat perjuangan kami berdua untuk mendapat restu dari kedua orang tuanya dulu.

Hubungan kami berkali-berkali mendapat penolakan, kedua calon mertuaku khawatir anak gadisnya dipoligami olehku.

Kedua calon mertuaku pada saat itu meyakini bahwa poligami memiliki sifat turunan. Aku akui memang ayah dan kakekku adalah pelaku poligami.

Tapi kami berdua tetap teguh memperjuangkan hubungan kami. Hingga suatu saat jalan restu itu tiba, melalui jalan yang tak diduga.

Seorang besan calon mertuaku berhasil meyakinkan sebuah persepsi baru tentangku.

"Saya tahu dia, dulu pernah mondok dengan keponakan saya, nikahkan saja besan, saya jamin dia gak akan macam-macam."
Begitu kira-kira pesan beliau kepada kedua calon mertuaku saat itu.

Sebuah jaminan dari orang yang tak kukenal saat itu.
Cerita ini baru kudengar setelah kami menikah enam tahun lamanya. Aku sangat berhutang budi pada beliau.

Aku ingat saat itu, beberapa hari sebelum aku melangsungkan pernikahan, ibu memanggilku ke dalam kamar.

"Nak, berjanjilah pada ibu, kamu akan setia pada satu istri, seberat apa pun tantanganmu kelak, jangan kamu sakiti istrimu, karena itu akan melukai ibu."

Ibu tak melanjutkan lagi pesannya saat itu, bulir airmata mulai menetes di pipinya yang lembut. Aku bisa merasakan luka ibu yang dalam. Sebuah perceraian yang bermula dari poligami yang dilakukan ayah.

Aku memeluk ibu dengan erat seraya berjanji,
"Aku janji akan setia, Bu. Cukup sampai di sini luka ibu, aku akan jadi suami yang setia, aku janji."

Aku teringat saat sebelum itu, dalam usiaku yang masih belasan, aku kerap terlibat debat sengit dengan ayah. tak jarang perdebatan kami berakhir keributan, aku kerap kali melempar benda apa pun di depan ayah.
Tapi ayah tak pernah sekalipun membalas kelakuanku.

Hingga suatu waktu, dalam sebuah perdebatan ayah pernah berkata padaku.

"Nak, tentu saja ayah punya alasan kenapa berpoligami, entah  kelak kau akan terima atau tidak alasan ayah, yang pasti ayah tidak bisa utarakan itu sekarang, kau sendiri akan tahu alasannya nanti setelah kau menikah, maafkan ayah nak, bukan saat ini waktunya." Ucap ayahku dengan lirih, sambil menitikkan airmata, gerak tubuhnya berusaha memberi pelukan. Sebuah pelukan yang kutolak saat itu.

Setelah aku menikah dan dikaruniai dua anak, ayahku telah menikah lagi dan memiliki anak dari pernikahannya. Ayah mulai sakit-sakitan. 

Pada saat itu aku sudah mulai berdamai dengannya, sehingga ayah memilih untuk tinggal bersamaku, aku merawat ayah hingga meninggal dipangkuanku.

Aku masih ingat percakapan kami pada suatu malam, dengan suaranya yang merintih menahan sakit, di ruang keluarga disinari lampu temaram, aku menemani ayah ngobrol berdua.

"Ayah, aku ingat pesan ayah dulu soal alasan poligami yang belum terjawab. Sekarang aku telah berkeluarga, sebagai seorang suami, aku bisa memahami alasan ayah poligami dulu, atau juga alasan kakek berpoligami. karena waktu dan keadaan yang berbeda. maafkan aku ayah atas kebodohanku dulu." Ucapku dengan lirih sambil memeluk ayah dengan erat.

"Nak, maafkan atas semua kesalahan ayah dulu, jadilah suami yang setia, jangan seperti ayah sekarang, sedih rasanya saat di usia senja, punya anak tercerai-berai, dengan istri yang berbeda-beda, jangan kau ikuti kesalahan ayah." Ayahku berkata sambil mendekapku erat. 

Sebuah pelukan bernada penyesalan.

Malam itu, kami berdua menangis dalam kalbu, tangis dua pria dengan kisah hidup yang berbeda, dengan bumbu kehidupan yang penuh aroma, dimasak dengan api kesabaran, sebelum dihidangkan dalam makanan bernama hikmah yang berharga.

Ah betapa rapuh aku saat mengingat kisah itu.
Paprika dalam bumbu kehidupanku. Menikmati sajian masakan kehidupan, mengajarkanku tentang penerimaan sebagai awal mula bahagia.

Aku rindu mendiang ayah, aku berjanji menepati ikrar setia seperti yang telah ku ucapkan pada ibu.

Terima kasih paprika atas filosofimu hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun