Cahaya ungu itu masih terngiang di ingatan. Cahaya setan. Cahaya pembawa celaka. Sulit bagi Dimas melupakan itu setelah tiga tahun berlatih.
"Oh, kurasa saat ini kau memang perlu istirahat. Aku akan beritahu ketua kalau kau tidak bisa ikut hari ini."
"A-apa?" jawab Dimas dengan penuh kebingungan, "Apa maksudmu, Inani?"
"Oh iya, aku lupa. Sebenarnya aku ke sini hendak memberitahu kalau Ketua Wirapati mengundangmu. Beliau mengadakan suatu rapat pertemuan hari ini dengan beberapa orang. Sayangnya, kau tampak perlu istirahat."
Dimas terkejut. Ada apa gerangan Ketua Wirapati mengundangnya dalam  sebuah rapat? Mungkin ini persoalan penting.
"Baiklah, Inani, aku ikut denganmu. Istirahat bisa dipikir nanti," kata Dimas dengan tegas.
***
Balai bambu itu dipenuhi oleh lima orang, baik pria maupun wanita, yang sibuk mendengarkan arahan dari ketua. Mereka tentunya bukan anggota laskar biasa, melainkan pasukan elit. Elit dalam artian memiliki kemampuan silat dan tenaga dalam di atas rata-rata. Jelas sudah ini bukan misi biasa.
"Menurut informasi yang kita gali dari informan," jelas Ketua Wirapati, "Penjara yang kita cari ada di sini. Tepat pada bukit ini."
Ia menunjuk pada salah satu bagian peta yang terpampang pada dinding bambu. Ilustrasi bukit dilingkari tinta merah. Pertanda bahwa itulah lokasi yang dimaksud.
"Mereka sengaja menempatkan adikku di sini agar kita terkecoh menyerang penjara pusat. Maka dari itu aku inginkan kalian yang ada di sini untuk membebaskan dirinya. Sementara aku dan beberapa anggota laskar yang lain akan menyerbu markas bandit yang letaknya di utara," tutur Ketua Wirapati.