Dimas coba kembali rilekskan otot. Ia lakukan gerakan pendinginan. Sinar pedang mulai meredup. Tidak jauh dari arah belakang terdengar suara kertakan pohon bambu dan tepukan tangan.
"Wah, hebat sekali, Dimas!"
Dimas terkejut mendengar suara itu. Ia segera menoleh ke belakang. Sebatang pohon bambu menunduk hingga daunnya menyentuh tanah. Di atas batangnya berdiri seorang wanita muda dengan mata sipit dan kulit cokelat. Wanita itu melompat turun. Seketika pohon bambu tersebut melecut berdiri seperti cambukan cemeti.
"Inani, kau sudah lama di sini?" tanya Dimas keheranan.
"Ya, cukup lama. Aku melihatmu bersiap-siap hingga kau keluarkan tebasan kuat seperti tadi."
Inani lalu memujinya karena kemampuan yang luar biasa. Merah muka Dimas. Jarang-jarang ia mendapatkan pujian dari wanita cantik macam Inani. Walau di Banyuates dahulu ia juga mendapatkan pujian dari gadis desa, tetapi itu semua karena sosok sang ayah semata. Pelindung sekakigus pemimpin desa.
Inani mendekat lalu memandangi pedangnya. Wanita itu garuk-garuk kepala lalu berkata,"Pedangmu unik. Senjata semacam ini pasti dibuat oleh orang tertentu, kan?"
"Mu-mungkin saja, Inani."
"Eh, apa maksudmu? Kau yang punya pedang ini, kan?"
"Itu... a-anu."
Dimas bingung menjawab apa. Ia tidak mau mengecewakan Inani dan juga kawan-kawan laskar yang lain perihal pedangnya.