Dalam rimbunan pohon Bambu, Dimas berdiri dengan pedang tergenggam.
Ia ambil napas panjang. Bau daun kering bercampur tanah masuk bersamaan dengan udara. Ia lalu pasang kuda-kuda dengan tangan kanan mengangkat pedang di atas kepala.
Pedang diayun ke kiri bersamaan embusan napas. Ia lalu serongkan tubuh ke kanan. Kaki kiri diangkat dengan kedua tangan merentang. Sekali gerakan cepat, ia tusukkan pedang ke depan. Pedang berputar di pergelangan dengan langkah kaki taktis bergerak maju.
Dimas sedang mencoba kembali gerakan yang ia pelajari dari kuil misterius. Rangkaian gerakan silat yang sifatnya taktis. Setiap gerakan diikuti tarikan dan embusan napas secara teratur dengan ritme yang berbeda. Begitu seterusnya ia lakukan dengan gerakan yang lain.
Ilmu pernapasan yang ia dapat dari sang ayah sangat membantunya untuk mengombinasikan dengan gerakan pedang dari kuil. Namun, Dimas mengakui, bahwa gerakan silat dari kuil misterius itu justru yang membuat tenaga dalamnya semakin meningkat drastis.
Gerakan yang Dimas lakukan semakin cepat. Pedang mulai bersinar. Ayunannya semakin kuat. Tubuh mulai hangat hingga peluh bercucuran dari kening.
Kaki kiri dientakkan ke depan. Mulut komat-kamit merapal mantra. Tenaga dalam mengalir deras.
Pedang berayun ke bawah dengan penuh tenaga. Seketika angin tajam dengan cahaya kuning mengempas dahsyat. Rumpun bambu di muka dibuat hancur beterbangan terkena jurus Tebasan Ekor Naga Api.
Dimas segera hentikan latihan. Ia atur napas dan merilekskan otot. Ia pandang dengan bangga bekas jalur serangan tadi. Rumpun bambu tiga lapis yang rapat bagai dinding dibuat boyak. Batang patah serta daunnya terpotong-potong.
Kepuasan terukir dalam senyum. Kekuatan yang dimiliki rasanya lebih dari cukup. Ia pandang pedang saktinya dan berkata, "Ayah, Ibu, aku pasti bisa merebut Banyuates."