Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Merebut Desa | Bagian 2

8 September 2024   16:00 Diperbarui: 25 Oktober 2024   13:01 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah desa (Pexels.com/Natasha Lois)

Dimas berlari menembus lebatnya hutan. Bajunya basah kuyup terguyur hujan yang deras.

Pekik pecah dari balik hujan. Suara jeritan kesakitan menyeruak seisi rimba. Ini adalah jeritan kawan seperjuangannya. Laskar perlawanan dari Desa Batang yang merupakan desa sebelah dari tempat tinggalnya yaitu Banyuates. Namun, tidak sekalipun dirinya menoleh ke belakang.

 "Larilah, Dimas, selamatkan dirimu!"  Terngiang perintah terakhir dari orang bernama Tsabit itu. 

Degup jantung semakin kencang. Semakin keras pula ayunan kakinya mengentak di atas lantai hutan yang becek. Ia terus berlari. Tidak tahu ke mana arah yang dituju.

Dua minggu setelah meninggalkan desa, Dimas harus bergerilya dengan laskar ini. Namun, para Bandit Hutan Larangan itu berhasil menemukan markas persembunyian. Mereka menyerang saat pasukan perlawanan tengah beristirahat.

Pertarungan pecah. Namun karena jumlah musuh cukup banyak, maka wakil ketua Tsabit memerintahkan sebagian anggotanya yang lain untuk pergi. Namun, tidak jelas ke mana harus pergi. Para bandit pun ikut menggempur anggota laskar yang coba larikan diri.

Satu demi satu anggota laskar terpecah. Tiga orang menjadi dua. Lalu, dua orang menjadi satu. Dimas salah satunya. Ia tidak mampu melawan balik para bandit yang menemukannya dengan salah satu anggota laskar.

"Aku akan mengulur waktu, pergilah!" Dimas sempat menolak perintah itu. Ia tahu bahwa perintah itu akan menjadi perintah terakhir seperti orang yang menyelamatkannya di Desa Banyuates dulu. Pria berkumis tipis yang merupakan ketua laskar. Namun, serangan yang tiba-tiba membut Dimas kewalahan. Ia pun memilih berlari. Terus berlari tidak tentu arah.

Pohon-pohon menjelma jadi tiang hitam yang samar menyembul dari tanah. Guyuran air hujan yang menghujam tubuhnya seperti menambah berat langkah. Matanya mulai sayu. Kedua kakinya semakin letih. Tubuhnya ingin sekali untuk roboh.

Gerakannya mulai gontai. Beberapa kali kakinya tersandung akar dan semak hutan, tapi masih dapat jaga keseimbangan. Saat itulah, tanpa disadari kaki kanannya menginjak sebuah lubang yang tertutup dengan daun dan ranting pohon. Seketika, tubuhnya terperosok masuk ke dalam bersama aliran air hujan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun