Purwanti terhenyak ketika gadis itu merebahkan tubuhnya dengan pelukan hangat. Jantungnya berdebar kencang. Dengan sedikit gemetar ia coba merangkul tubuh gadis kecil itu. Getaran semakin hebat ketika Purwanti hampir memeluknya.
"Ka- kau tidak takut padaku?" tanya Purwanti ragu.
Gadis ini menengadahkan wajahnya. Ia pun melempar senyum manis ke arah Purwanti.
"Tidak," jawab si gadis, "kenapa aku harus takut denganmu? Kau sudah menyelamatkan aku dari serangan robot itu, kan? Jadi kau sekarang pahlawanku?"
Hati Purwanti pun luluh. Ia kemudian memeluk gadis itu erat. Air matanya berlinang. Meluncur dari pipinya yang berduri.
Rasa getir yang semula memenuhi lidah mulai lenyap. Manis madu mulai tercecap. Begitu juga kehangatan dan kenyamanan. Semua berpadu menjadi satu saat kedua insan itu saling menerima.
Rasa ini sudah kembali. Namun ini jauh lebih baik. Kenyamanan ini ketika orang lain mau menerimanya. Kehangatan ini ketika orang lain tidak perlu takut pada dirinya. Semua berpadu menjadi satu rasa. Rasa yang di lidah itu mamis dan hangat di hati. Itu adalah rasa kemanusiaan.
Pria bertopi hitam mendekat. Ia lalu dengan sembrononya menarik paksa gadis kecilnya dari pelukan Purwanti. Gadis itu meronta namun segera pria itu meminta rekannya untuk menggendongnya pergi menjauh.
"Jangan coba-coba kau bawa anakku pergi!" ujar pria tersebut sambil menodongkan senapan.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H