Mohon tunggu...
Ahmad Aunullah
Ahmad Aunullah Mohon Tunggu... Konsultan - Pelaku Wisata

Pelaku wisata yang tidak suka berada indoor terlalu lama. Berkantor di Lombok, bertempat tinggal kebanyakaan di laut.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Pesawat yang Mengakhiri Era Jumbo

2 Juni 2021   12:20 Diperbarui: 2 Juni 2021   12:26 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah berita mengejutkan datang dari seorang pemimpin maskapai Qatar Airways, Akbar Al Baker baru-baru ini yang mengatakan bahwa pembelian pesawat Airbus A-380 adalah kesalahan terbesar,beritanya disini.

Memang bukan yang pertama kali kita mendengar berita yang kuramg menyenangkan mengenai kehadiran sang Superjumbo ini pada industri aviasi.

Pada umumnya terdapat dua hal yang dapat disimpulkan dari semua berita tersebut dimana ada yang mengatakan pesawat ini sebagai kegagalan dan ada yang menyebut sebagai kesalahan seperti yang diutarakan sang CEO Qatar Airways.

Kedua hal tersebut mungkin ada benarnya, paling tidak dari sisi maskapai pengguna yang menyadari betapa beratnya biaya untuk mengoperasikan sang Superjumbo ini.

Namun bila dilihat sisi pencapaian teknologi tidalah sepenuhnya benar sebagai kegagalan terutama melihat pesawat ini sebagai pencapaian karya manusia dalam teknologi yang luar biasa, sama halnya ketika sang jumbo Boeing B-747 lahir dikala itu.

Sang superjumbo lahir sebagai hasil persaingan tanpa henti antara Airbus dan Boeing.

Persaingan antara dua pabrikan pesawat terbesar didunia ini memang selalu menarik, tidak hanya dari segi jumlah pemesanan pesawat oleh para maskapai saja atau dari produk pesawat mereka saja melainkan karena kedua pabrikan ini membawa kebanggaan nasional atau National Pride negara-negara dari dua benua yaitu Amerika dan Eropa.

Kita tentu masih ingat persaingan dalam pengembangan supersonik antara dua benua ini dimana dimenangkan oleh Eropa dengan pesawat SST Concorde nya mengalahkan Boeing dengsn B-2707 nya.

Sehingga bisa jadi benar ketika ada yang mengatakan bahwa Airbus-380 ini lahir karena atas dasar kebanggaan dari negara-negara dibelakang Airbus dan bukan karena atas dasar kebutuhan atau permintaan maskapai.

Sebagai fakta, Boeing B-747 lahir karena adanya permintaan dari CEO PanAm ketika itu yang menginginkan pesawat jet dengan kapasitas dua kali lipat dari pesawat jet Boeing B-707 ketika itu.

Pesawat Airbus A-350 lahir karena desakan dari para maskapai pelanggan Airbus yang mengingkan pesawat saingan Boeing B-787 Dreamliner, walau sebelumnya Airbus menyiapkan pesawat dengan kerangka badan pesawat Airbus A-330 nya dan bukan mengembangkan dari awal.

Bagaimana dengan Airbus A-380, apakah memang lahir karena atas dasar adanya permintaan dari maskapai atau hanya berdasarkan untuk sebuah kebanggaan atau lainnya?

Jawabannya mungkin terletak pada perspektif kedua pabrikan ini dalam melihat perkembangan penerbangan sipil komersial di masa datang ketika itu.

Airbus melihat lonjakan jumlah pengguna transportasi udara di berbagai belahan dunia sehingga dunia (bukan maskapai ? ) membutuhkan pesawat dengan kapasitas besar dalam sekali penerbangan sehingga maskapai tidak perlu menambah frekwensi penerbangan di jalur yang padat dan tanpa menambah biaya landing slot yang cukup tinggi di bandara tujuan.

Sedangkan Boeing melihat dari preferensi pengguna transportasi udara yang ingin adanya penerbangan langsung tanpa harus transit di bandara pengumpul atau hub.

Lahirlah dua pesawat dari dua perspektif yang berbeda yaitu Airbus A-380 dan Boeing B-787 Dreamliner.

Sang superjumbo memang sudah menghiasi angkasa namun kehadirannya kini menjadi sebuah beban yang memiliki berat yang sama dengan badan pesawat sang superjumbo.

Pernyataan dari CEO Qatar Airways merupakan pernyataan yang berdasar kuat dan bukan untuk menjatuhkan martabat sang superjumbo.

Maskapai Qantas pernah mengatakan bahwa  untuk sekali penerbangan selama 14 jam dengan 484 penumpang Sydney ke Los Angeles dengan Airbus A-380 dibutuhkan biaya sebesar $305,735  sehingga jika dihtung per jam nya mereka mengeluarkan dana sebesar $21,838.

Bila mereka mengoperasikan pesawat Boeing B-777 dengan rute yang sama dan mengangkut 361 penumpang dibutuhkan biaya $190,422 sehingga per jam nya sebesar $13,601, lebih rendah dari mengoperasikan sang superjumbo.

Pertanyaan kepada maskapai yang muncul adalah pada latar belakang mereka memutuskan membeli sang superjumbo, apakah memang sesuai dengan kebutuhan atau hanya lebih sekedar pelengkap armada mereka.

Kebutuhan disini adalah ketika pesawat yang mereka gunakan pada sebuah jalur penerbangan mereka sudah tidak bisa menampung permintaan yang melebihi kapasitas dan untuk menambah slot penerbangan di bandara tujuan akan berbiaya tinggi dalam jangka panjang.

Apabila demikian, sang superjumbo memang pilihan yang tepat untuk menjawab itu namun ada konsekwensi dalam hal biaya pengoperasiannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Maskapai adalah pelanggan pabrikan pesawat sehingga apa yang dibuat oleh pabrikan memang akan selalu juga berdasaekan kebutuhan maskapai dalam melayani mobilitas penggunanya yaitu air traveler baik itu jarak dekat, sedang dan jauh.

Pertanyaan demi pertanyaan bergulir namun dengan pernyataan-pernyataan dari para maskapai sebagai pengguna Airbus A-380 justru mengisyaratkan kebenaran akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Era pesawat jumbo memang sudah usai dan waktu juga yang menjawab bahwa sang superjumbo hadir di waktu yang salah walau dengan teknologi terkini.

Apabila memang sebuah kegagalan, hal ini bukanlah pintu pembuka malapetaka bagi Airbus dengan melihat kesuksesan produk mereka yang lain terutama Airbus A-350 nya yang bersaing dengan Boeing B-787 Dreamliner.

Hal yang sama bisa dikatakan di pihak Boeing pada produk mereka yaitu Boeing B-767 yang hadir di waktu yang salah pula ketika industri aviasi sedang lesu dan bersaing dengan pesawat Airbus A-310 yang juga diluncurkan oleh Airbus saat itu namun Boeing meraih sukses besar di Boeing B-737 dan B-747 nya.

Namun satu hal yang pasti adalah kehadiran sang superjumbo membuat berjuta-juta pasang mata terkesima dan ingin merasakan sensasi istana di Angkasa tersebut.

Perspektif memang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan namun berdasarksn dengan data dan studi yang dilakukan, disaat yang sama ego bisa muncul dan membelokan jalan menuju hasil akhir yang sesuai dengan yang berkembang.

Pesawat Boeing B-747 mengawali era Jumbo akan tetapi Airbus A-380 lah yang mengakhiri era jumbo namun dengan kemeriahan dan antusiasme yang tinggi tidak hanya dikalangan industri aviasi saja namun seluruh dunia.

Keluarnya kedua pesawat jumbo nanti menyisakan persaingan antara kedua pabrikan dimana salah satunya  pada pesawat berbadan lebar yang menarik untuk dicermati yaitu antara Airbus dengan A-350 nya dan Boeing dengan B-787 nya serta Boeing B-777 generasi ketiga (walau banyak masalah dalam mendapatkan sertifikasi).


Tetaplah Hiasi Angkasa dan Penuhi Bandara wahai Airbus dan Boeing.


Salam Aviasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun