Permintaan suku Badui untuk dihapus sebagai destinasi wisata sangat dan sangat disayangkan, walaupun perwakilannya menyebutkan bahwa mereka tidak akan menolak wisatawan yang ingin berkunjung kesana untuk ber silahturahmi dan untuk mempelajari adat istiadat disana.
Setelah membaca beberapa artikel yang membahas hal ini, saya memiliki pendapat pribadi dalam beberapa hal dimana salah satunya adalah masih kurangnya pemahaman orang akan makna dari kata destinasi wisata atau objek wisata.
Selain itu juga apa yang terjadi dengan adanya permintaan Suku Badui untuk menghapus sebagai destinasi wisata dapat dikatakan sebagai dampak yang sama dari apa yang dialami oleh hampir semua destinasi wisata di dunia yaitu dampak dari kegiatan pariwisata yang mengeksploitasi dan mengusik masyarakat lokalnya dalam menjalankan kehidupan mereka sehari hari.
Destinasi Wisata bukan Objek Benda
Saya sangat setuju dengan perkataan seorang tukang photo wisata dari pameranfoto.com. yaitu Erry M Subhan yang sudah beberapa kali berkunjung kesana dimana dia mengatakan bahwa orang yang datang ke Badui masih menggangap Badui sebagai objek bukan sebuah destinasi serta kurangnya pemahaman dari wisatawan akan jenis wisata apa yang mereka akan temukan disana yaitu Wisata Budaya.
Banyak masih yang mengartikan bahwa Objek Wisata adalah sebagai objek benda sehingga bisa jadi mereka memperlakukan destinasi wisata sebagai objek benda sehingga kurang dapat menghargai dan menghormati apa yang ada pada tempat yang dikunjunginya.
Makna dari objek wisata bukanlah objek benda, ada kata wisata disana yang berarti bukan benda melainkan berupa tempat, layanan, pengalaman dan aktivitas berlibur dan bila dalam kata destinasi wisata akan mengacu pada tujuan berlibur yang bisa berupa pulau, kota, pegunungan dan sebuah desa sekalipun yang tidak bisa dilihat dari keberadaan benda atau bangunan yang terdapat disana namun lebih kepada aktivitas dan pengalaman yang ditawarkan oleh tempat tersebut.
Pengertian wisata budaya sendiri yang merupakan bagian dari pariwisata adalah sebuah aktivitas liburan untuk melihat, mendapatkan pengalaman dan mempelajari serta memahami kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang terdapat disana.
Dengan adanya kata belajar dan memahami disana dalam kita melakukan wisata budaya berarti kita akan masuk ke dalam sebuah tempat yang memiliki tradisi dan adat istiadat yang berbeda dengan kita.
Kebudayaan, tradisi dan adat istiadat dibeberapa daerah ada yang bisa berubah dan beradaptasi dengan perkembangan jaman namun ada yang masih memegang teguh pada apa yang menjadi legacy atau warisan dari para pendahulunya.
Baik keduanya adalah sesuatu yang patut kita hargai dan hormati atas dasar pemahaman akan sebuah perbedaan yang menciptakan sebuah keunikan dari sebuah daerah.
Suku Badui
Nama Badui berasal dari sebutan Bangsa Belanda yang mengacu pada suku Bedouin, suku nomaden di Jazirah Arab.
Suku Baduis sebenarnya lebih memilih menyebut diri mereka sebagai Urang Kanekes yang bermakna orang Kanekes dengan merujuk pada lokasi dimana mereka bertempat tinggal, yaitu wilayah Kanekes di kaki pegunungan Kendeng, Banten.
Secara umum suku Badui terbagi dua yaitu Badui Dalam yang menetap di desa Cikeusik, Cibeo dan Cikertawarna dan Badui Luar yang menempati wilayah diluar 3 desa tadi tersebut, tetapi masih berada dalam wilayah ulayat suku Badui.
Badui Dalam terbilang masih sangat teguh dalam memegang adat istiadat yang merupkan warisan nenek moyang mereka, dan hal ini yang membedakan Badui Dalam dengan Badui Luar yang sudah melebur dengan kehidupan dan budaya luar.
Konsep kehidupan Badui pada dasarnya adalah hidup untuk alam dimana mereka sangat menjaga dan melindungi alam sekitar mereka.
Mereka tidak menggunakan pacul untuk menanam bibit padi karena bagi mereka itu akan melukai alam, sebagai gantinya mereka akan membuat lubang dengan kayu, begitulah salah satu contoh dari cara suku Badui menunjukan perhatiannya kepada alam.
Pengrusakan lingkungan, sampah dan lainnya yang akan mengganggu alam akan menjadi hal yang selalu dihindari oleh suku Badui Dalam.
Kesan yang akan kita dapatkan bila berada di sana mungkin akan terasa seperti kita kembali ke beberapa tahun bahkan ratusan tahun yang lalu dimana tidak tersentuhnya Kawasan tersebut dari perkembangan jaman.
Dari segi wisata, ini adalah keunikan, seperti jenis lain dari keunikan yang dilakukan di 3 Gili Utara di Lombok dengan tidak bolehnya kendaraan Bermotor disana yang bertujuan untuk menghindari kepadatan dan polusi yang ditimbulkan oleh Kendaraan Bermotor itu sendiri.
Akan tetapi tradisi di Badui Dalam adalah tradisi yang sudah ada jauh sebelum menjadi destinasi wisata, sebuah tradisi yang telah menjadi tuntunan dan tata cara mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sama seperti rutinitas yang kita jalani dengan cara dan bentuk yang berbeda.
Keunikan dalam pariwisata tidak menciptakan sebuah keeksklusifan dimana hanya akan beberapa orang saja yang dapat kesana, justru dari keunikannya tersebut yang berbeda dari tempat lain membuat banyak orang akan berminat kesana dan pintu kesana tidak ditutup.
Akan tetapi dengan melihat apa yang terjadi dari beberapa destinasi wisata di dunia yang mengalami salah satu dampak dari overtourism dimana banyaknya wisatawan yang datang sudah mengusik kehidupan masyarakat lokal, pendapat pribadi saya mengatakan bahwa hal ini juga terjadi pada Suku Badui Dalam khususnya yang sudah terusik oleh dampak dari overtourism tersebut.
Overtourism disini jangan diartikan sebagai keadaan dimana sudah terlalu banyak yang mengunjungi daerah tersebut secara umum, overtourism adalah sebuah keadaan dimana terjadinya pembludakan kunjungan wisatawan dalam sebuah periode, bisa dalam satu hari, satu minggu dan lainnya.
Jika kita melakukan wisata budaya itu berarti kita ingin melihat, mempelajari memahami dan menghormati budaya, tradisi, adat istiadat yang ada pada tempat tersebut dan dalam konteks apapun itu ketika kita mengunjungi tempat lain baik itu daerah atau negara, status kita sebagai pendatang atau tamu yang sepatutnya menghormati sang tuan rumah.
Buku Panduan wisata yang seharusnya dapat memberikan informasi lengkap tentang sebuah destinasi seperti informasi tentang boleh/tidak nya ( do/donts ) justru jarang terlihat tersedia dan jika pun ada akan jarang dan bahkan tidak dibaca oleh wisatawan dan ketika sudah dibaca juga tidak ditaati.
Dan ketika ada informasi tentang daerah tersebut yang disampaikan oleh penduduk lokal barulah wisatawan tersebut mengetahui, padahal informasi tersebut sudah terdapat pada buku panduan tersebut.
Melihat Badui dari Luar
Badui adalah sebuah entity, wujud dari sebuah keberadaan tradisi adat istiadat yang sudah ada turun menurun, sebuah warisan dari nenek moyang yang mereka jaga dan teruskan pada generasi mereka selanjutnya dan sebuah warisan budaya dari negara Indonesia yang patut kita lestarikan.
Apa yang kita saksikan dan lihat dari destinasi wisata Badui ini pada dasarnya sama dengan apa yang dialami oleh destinasi wisata lain di dunia yaitu dampak dari kegiatan pariwisata dan lebih spesiknya ulah dari semua pihak yang ada pada industri ini yang mengekspolitasi dan mengusik keberadaan tradisi tersebut.
Perlakuan beberapa para insan pariwisata terhadap industri pariwisata sebagai motor penggerak perekenomian mereka, jangan sampai membuat mereka seperti layaknya mengendarai sepeda motor dan berjalan tanpa melihat rambu-rambu di depannya dan disekitarnya, semua dilanggar demi mengejar target, dan dari sisi wisatawan coba untuk memulai mengingatkan kepada diri sendiri sebelum pergi bahwa kita akan mengunjungi rumah orang lain sehingga ada rambu-rambu yang berbeda dengan lingkungan kita yang harus ditaati.
Pariwisata bukanlah objek dan juga bukan sebuah pertunjukan dan jelas bukan jalan bebas hambatan dan rambu, pariwisata adalah kegiatan manusia dalam menjelajahi dan melihat perbedaan yang ada di berbagai tempat di dunia untuk dinikmati bukan untuk di eksploitasi, untuk dilestarikan dan bukan untuk diusik, dan untuk selamanya dan generasi berikutnya dan bukan diakhiri sekarang.
Disaat yang sama pariwisata juga sebagai usaha kita dalam menjaga dan melestarikan alam, cagar budaya, tradisi dan adat istiadat yang ada dan dijalankan oleh masyarakat lokal disana sebagai tuan rumah dari tempat kita berkunjung.
Bagi suku Badui, alam adalah tempat mereka tinggal selama ini dan selamanya dan bila itu di rusak dan di usik maka akan terusik pula kehidupan mereka begitu pula dengan tradisi dan adat istiadat mereka.
Satu hal yang seharusnya juga menjadi pedoman kita dalam hidup ini dan status kita sebagai penghuni dari alam, dan iya alam yang sama dengan alam yang ditinggali Suku Badui.
Mulailah menjadi insan pariwisata yang responsible dan responsive.
Tolonglah jangan ada lagi hal serupa..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H