Lagu "Nenek Moyangku" karya Saridjah Niung atau yang lebih dikenal dengan nama Ibu Soed, mengisahkan relasi istimewa antara bangsa Indonesia dengan lautan, sebagaimana tertera pada lirik bait pertama yang menegaskan leluhur kita berprofesi sebagai pelaut.
Melalui lirik "Gemar mengarungi luas samudra. Menerjang ombak, tiada takut, menempuh badai, sudah biasa," menggambarkan nenek moyang bangsa Indonesia yang menjadikan laut dan segala ekosistemnya sebagai bagian integral dari kehidupan.
Puluhan tahun setelah lagu tersebut diciptakan pada 1940, peran laut dalam kehidupan masyarakat Indonesia tetap tak tergantikan. Khususnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan sumber daya alamnya yang dimanfaatkan secara umum.
Indonesia menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dengan lebih dari 3.000 spesies ikan, 500 spesies koral, 3,5 juta hektare mangrove, dan potensi sumber daya perikanan sebesar 10,5 juta ton per tahun.
Kontribusi sektor perikanan bagi ekonomi juga signifikan, mencapai 5,6 miliar dolar AS pada periode Januari-November 2023.
Namun, eksploitasi sumber daya kelautan di masa lalu kini mulai menunjukkan dampaknya. Seperti penangkapan ikan berlebihan (overfishing) yang sering menggunakan alat-alat merusak kelestarian ekosistem termasuk pukat harimau dan bahan peledak.
Fenomena overfishing ini terjadi secara global. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) pada 2020 memperlihatkan 34,2 persen stok ikan dunia diklasifikasikan sebagai hasil penangkapan ikan berlebih.
Belum lagi tekanan yang dialami oleh ekosistem perairan dan pesisir yang datang dari daratan, termasuk pencemaran plastik di laut serta berkurangnya ekosistem pesisir yang penting untuk penanganan perubahan iklim akibat pembangunan tanpa perencanaan.
Menyadari dampaknya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa Pemerintah sangat memahami pentingnya menjaga ekosistem laut dan memastikan sektor maritim dan perikanan bergerak dengan dasar berkelanjutan.
"Jadi ekonomi biru adalah kebijakan kita, ada lima kebijakan, yang paling penting adalah memperkuat posisi kawasan perlindungan laut khususnya di sektor konservasi. Karena konservasi ini penting karena di dalamnya terdapat tiga muatan utama: penyerapan karbon, produksi oksigen, dan pemijahan alami," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Trenggono dalam Dialog G20 Global Blended Finance Alliance membahas Sustainable Freshwater and Ocean Wealth di Bali.
Ekonomi biru menjadi program andalan Pemerintah Indonesia untuk mendorong keberlanjutan lautan Nusantara termasuk di dalamnya perluasan kawasan konservasi, penangkapan ikan terukur, pengembangan akuakultur yang berkelanjutan, pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil serta pembersihan laut dari sampah plastik dengan keterlibatan nelayan.
Ekonomi biru menjadi dasar pembuatan kebijakan, penelitian dan inovasi teknologi, serta pengembangan industri di Indonesia, terutama untuk mencapai kelestarian laut, menjaga kekayaan laut, dan kemakmuran lewat laut.
"Implementasi ekonomi biru harus memastikan kualitas dan kesehatan ekosistem laut, pesisir, dan pulau kecil dapat terjaga dari ancaman termasuk degradasi akibat tekanan dari sektor ekonomi," jelas Trenggono.
Pemerintah memastikan aspek konservasi perairan terus dilakukan, salah satunya terlihat dengan peningkatan luas kawasan konservasi laut konsisten terjadi sejak 2015 sampai 2022.
Pada 2015, data Kementerian Kelautan dan Perikanan memperlihatkan luas kawasan konservasi 17,3 juta hektare, yang meningkat menjadi 28,91 juta hektare pada 2022. Pemerintah menargetkan 32,5 juta hektare ditetapkan menjadi kawasan konservasi perairan pada 2030 dan lebih jauh juga ingin mencapai 30 persen lautan Indonesia menjadi area perlindungan pada 2045.
Namun, di saat bersamaan Indonesia juga mendorong pembangunan tata kelola perairan yang berkelanjutan, yang saat ini menghadapi fakta kesenjangan pendanaan.
Beberapa program saat ini tengah didorong Pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut termasuk Blue Halo S yang diluncurkan Pemerintah Indonesia bersama Green Climate Fund, Conservation International, dan Konservasi Indonesia pada 2022. Program itu menjajaki pendekatan pembiayaan berkelanjutan untuk memaksimalkan manfaat iklim, keanekaragaman hayati, ekonomi, dan penghidupan dari ekonomi laut Indonesia.
Direktur Divisi Mitigasi dan Adaptasi Green Climate Fund Dr. German Velasquez menyampaikan harapannya untuk kesuksesan model program tersebut, terutama karena dapat menjadi model yang diterapkan tidak hanya di Indonesia tapi juga belahan dunia lain.
Dia menantikan implementasi dari program tersebut di Indonesia, sebagai salah satu kontribusi mendorong ekonomi biru dan perwujudan pendanaan campuran (blended finance). Kesenjangan pendanaan menjadi salah satu isu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan yang dituangkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 14.
Pesisir Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan bertujuan mendorong kelestarian ekologi sekaligus memastikan kesejahteraan masyarakat, salah satunya perkembangan pemanfaatan rumput laut yang dapat didukung dengan pendanaan campuran.
Alternatif mata pencaharian diperlukan demi menghindari ekstraksi berlebihan sebagai bagian dari perwujudan ekonomi biru.
"Bagaimana kita melihat seaweed (rumput laut) itu menjadi salah satu fungsi penyangga untuk kawasan konservasi, keanekaragaman hayati bisa jalan terus. Jadi sebenarnya proses perjalanan kenapa kita masuk ke seaweed itu dari situ, jadi dari paradigma pelestarian alam, dan juga pemanfaatan alam dan kesempatan lapangan pekerjaan," papar Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany.
Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan Konservasi Indonesia bersama tim dari Universitas Nusa Cendana terkait industri rumput laut di Sumba Timur, NTT, pada 2023 menemukan industri pengolahan rumput laut lokal memiliki potensi keberlanjutan yang baik dengan pasokan bahan baku terjaga dan dapat dilakukan oleh pembudi daya itu sendiri.
Budi daya komoditas "emas hijau di lautan" itu tidak memerlukan siklus panen yang lama, sekitar 45 hari untuk dapat memanen hasil, memiliki masa pengembalian yang cepat.
Pada tingkat rantai pasok, budi daya rumput laut juga dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dan keluarga. Termasuk pembudidayaan yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk mendorong kesejahteraan keluarga.
Untuk mendukungnya, perlu dilakukan penelitian varietas yang cocok untuk masing-masing ekosistem pesisir di Indonesia dengan resiliensi tinggi terutama menghadapi ancaman perubahan iklim.
Saat ini, budi daya rumput laut mayoritas dilakukan oleh di tingkat akar rumput dan perlu dilakukan langkah untuk memastikan masyarakat memiliki potensi nilai tambah mengingat potensi perkembangan industri rumput laut di Indonesia.
Hal itu perlu dilakukan saat pemerintah tengah mendorong hilirisasi rumput laut, dengan tiga daerah potensi sebagai lokasi pengembangan yaitu NTB, Sulawesi, dan Maluku.
Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia Victor Nikijuluw mengatakan rumput laut memiliki potensi luar biasa untuk mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir dan mendorong mereka untuk menjaga ekosistem, mengingat pembudidayaannya memerlukan lingkungan yang baik.
Terutama, pembudidayaan dengan nilai tambah akibat produksi produk turunan dapat membantu masalah ketenagakerjaan terutama di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Dengan meningkatkan budi daya rumput laut di tingkat masyarakat maka dapat mendorong mereka tetap menjaga alam sambil memastikan peningkatan ekonomi tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H