Menurut asumsi di atas bisa kita simpulkan bahwa dengan kita berada di lingkungan yang bebas saja kita dapat terpengaruhi, bisa saja ketika kita di sekolah merasa tidak mendapatkan apa-apa, tetapi di jalan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.Â
Ada sebuah kisah dimana seorang anak nakal yang bosan dengan system pembelajaran di skolah, ketika dia berjalan menuju rumah, dia mengambil jalan yang memutar karena inggin mencari suasana baru, kebetulan disana ada pertenakan sapi, lantas dia bergumam dalam hati, "Lihatlah sapi di ladang itu dia begitu subur dan sehat, makananyapun melimpah ruah." lantas dia langsung menghampiri pengembala tersebut, si anak itupun bertanya tentang cara merawat hewan ternak, dia pun lebih memahami penjelasan dari bapak tersebut karena dari ucapan beliau tidak ada keharusan dimana dia wajibkan memahami, tanpa takut di marahi ketika salah.
Lambat lauun si anak tersebutpun sangat faham diranah perternakan, tanpa dia sadaripun nilai matematikanya ikut naik, dan pelajaran-pelajarn yang lain juga, karena di perternakan tersebut dia belajar akan ekonomi, yang mengharuskan paham akan hitung-hitungan, akhirnya dia belajar dengan sebuah alasan dan bisa terfokus dengan materi yang dia pelajari, kembali lagi kedalam teori psikologis dimana sekuat apapun lingkungan sosial mempengaruhi, tetapi jika individu itu sendiri tidak tergerak dan tidak ada kemauan maka usaha yang sudah dilakukan oleh lingkunganpun akan percuma.
Kita tidak tahu kapan tuhan memberikan anugrah, bisa saja dengan kebaikan seseorang, akhirnya kita termotifasi, ada juga yang dengan ditinggalnya seseorang itu ke alam ruh (meninggal) oleh orang yang dia sayang, akhirnya dia mendapatkan pencerahan, dan mulai memiliki alasan kenapa dia harus berjuang, dia inggin berjuang karena inggin menunjukan bahwa sebenarnya dia mampu untuk meraih hal tersebut, tetapi masih malas akan meraihnya.
Bisa mendapatkan ilmu dengan apa yang dia pelajari, semua itu tergantung pada diri kita sendiri, bukan takdir juga, apakah kita benar-benar inggin merubahnya?, atau hanya bermain-main dan mendengarkan sebuah ocehan yang diberikan guru atau dosen pembimbing.
Berbicara dengan takdir, kita harus tahu dulu apa definisi tentang takdir. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah, qadar dalam bahasa diartikan sebagai takdir. Sedangkan, qada adalah hukum atau ketetapan.Â
Dari sini bisa kita ketahui bahwasanya akal, kecerdasan dan prilaku memang sudah ditetapkan oleh sang pencipta. Tetapi semua juga bisa kita rubah seiring dengan berjalanya waktu, bisa dari orang tua, teman, bahkan lingkungan pun juga bisa mempengaruhi kecerdasan manusia, kita juga harus tahu bahwa semua jalan yang bisa merubah tidak akan sanggup merubah kitajika dari dalam diri kita sendiri tidak inggin berubah menjadi yang lebih baik.
Bab 4. Bernegosiasi dengan Diri Sendiri
      Orang yang hebat adalah orang yang bisa bernegosiasi dengan hawa nafsu yang ada di dalam diri mereka sendiri, tahu apa kebutuhan yang diperlukan dirinya, dan mengerti langkah apa yang akan diambil kedepanya.Â
Di dalam islam sendiri orang yang merugi adalah orang yang tidak ada peningkatan disetiap keseharianya, kenapa bisa seperti itu ?, karena waktu yang selama ini kita habiskan dengan percuma tidak bisa kita ulangin lagi, karena yang hanya bisa kita lakukan adalah memperbiki dari sekarang juga, karena salah satu yang tidak bisa dibeli di dunia ini adalah waktu.
      Disetiap tumbuh kembang manusia, dari mereka bayi hingga mereka beranjak dewasa dan akhirnya menua, semua memiliki proses perkembanganya sendiri, ada kecerdasan yang sudah dia dapatkan sejak dia masih bayi, yaitu melalui gen dari kedua orang tuanya, menurut prespektif islam sendiri juga manusia sebelum dilahirkan ke dalam dunia, mereka sudah memiliki takdir akan menjadi apa mereka kedepanya.Â