Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Vihara Budi Asih Purwakarta

19 Juli 2022   10:10 Diperbarui: 28 Juli 2022   19:51 3776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para guru dan murid Sekolah Tiong Hoa berfoto bersama. Foto: Rahmat Senjaya

Pendahuluan

Kelenteng atau klenteng (bahasa Hokkian: bio) adalah sebutan untuk rumah ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Kong Hu Cu, maka kelenteng dengan sendirinya sering dianggap sama dengan rumah ibadah umat Kong Hu Cu. Di beberapa daerah, kelenteng juga disebut dengan istilah tokong. Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara.

Kelenteng adalah istilah generik untuk rumah ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa saja, tidak dikenal di wilayah lain atau di provinsi lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatra Utara mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur (Riau) mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan Barat orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai pakkung, pakkung miau atau shin miau. 

Tapi dengan seiring waktu, istilah kelenteng menjadi sangat umum dan mulai meluas penggunaannya. Kelenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai rumah ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), kelenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa pada masa lampau.

Kelenteng dibangun pertama kalinya pada tahun 1650 oleh Luitenant der Chinezen Kwee Hoen di Batavia dan dinamakan Kwan Im Teng. Kelenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im atau Dewi Pewelas Asih atau Avalokitesvara Bodhisatva. 

Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata kelenteng daripada vihara, wihara atau biara, yang kemudian melafalkannya sebagai kelenteng hingga saat ini. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao), ini adalah sebutan umum bagi kelenteng di Republik Rakyat China.

Pada hari Jumat tanggal 01 Juli 2020 pukul 09.00-11.45 WIB, sesuai perjanjian Penulis bertemu dengan 2 orang pengurus dan sesepuh Vihara Budi Asih (dahulu Shen Tee Bio), Purwakarta. Penulis disambut dengan sangat ramah-tamah dan sopan-santun oleh Bapak Nata Prasaja (Koh Anyih) yang berusia 67 tahun dan Bapak Rahmat Senjaya (Koh Anyan atau Koh Senyan) yang berusia 80 tahun. Kedua-duanya seperti sebaya, sama-sama 67 tahun, dengan kulit yang tetap kencang dan segar, namun nyatanya terpaut usia 13 tahun. Penulis diterima di serambi samping yang cukup luas tempat pemujaan kepada Sang Buddha (Siddharta Gautama).

Penulis bersama Bapak Nata Prasaja di kiri dan Bapak Rahmat Senjaya di kanan. Foto: Ahmad Said Widodo
Penulis bersama Bapak Nata Prasaja di kiri dan Bapak Rahmat Senjaya di kanan. Foto: Ahmad Said Widodo
Latar Belakang Sejarah

Pada menjelang dan sesudah tahun 1900-an, baik masyarakat Arab, maupun masyarakat Tionghoa dari berbagai sukubangsa di Purwakarta yang pada saat itu menjadi ibukota Kabupaten Karawang sudah cukup banyak. Masyarakat Arab yang kebanyakan berasal dari Handramaut, Yaman menempati wilayah yang oleh orang Belanda sering disebut sebagai Kampong der Arabieschen, sementara masyarakat Tionghoa menempati wilayah yang oleh orang Belanda sering disebut sebagai Kampong der Chinezen, sedangkan sebagai batas kedua wilayah dipisahkan oleh sebuah sungai kecil, yaitu Sungai Cigalugur yang berada tepat di belakang halaman rumahku, yang mempunyai panjang 4 km yang bermuara di Sungai Cikao dan kemudian berakhir di Sungai Citarum.

Memang pada dasarnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sangat tidak menginginkan suku-suku bangsa Nusantara dan etnis-etnis keturunan asing lain untuk bergaul atau bersosialisasi satu dengan yang lain karena dikhawatirkan adanya rasa persatuan dan kesatuan yang berujung pada pemberontakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun