Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Vihara Budi Asih Purwakarta

19 Juli 2022   10:10 Diperbarui: 28 Juli 2022   19:51 3776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para guru dan murid Sekolah Tiong Hoa berfoto bersama. Foto: Rahmat Senjaya

Tuntutan 1 dan 2 sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan 3 baru diserukan saat itu yang sangat menyentuh kepentingan orang banyak. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yaitu surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan, ketertiban dan kestabilan pemerintahan yang buruk pada masa pembersihan setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965.

Sebagai akibat dari berlakunya, Supersemar justru menjadi penanda peralihan kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Pada perkembangan selanjutnya, Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto justru memberangus segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Tiongkok, China atau istilah lainnya, apalagi yang berbau komunisme.

Misalnya saja ada himbauan atau paksaan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, baik bernuansa Jawa, Sunda atau Sansekerta dan lain-lain. Seni, budaya, bahasa dan sastra sangat dilarang keras. Seni semacam barongsai, liang liong dan wayang potehi dilarang, perayaan Imlek dan Cap Go Meh juga dilarang dan lain-lain. Catatan lainnya, misalnya sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember 1966. Kemudian koran- koran berbahasa Tionghoa di Indonesia ditutup oleh pemerintah tahun 1967.

Salah satu akibat dari peristiwa-peristiwa ini adalah dilarang beroperasinya Sekolah Tionghoa yang berbahasa pengantar Mandarin. Sebagai gantinya didirikanlah sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ampera 1 dan 2 Purwakarta. Setelah sekian tahun berlalu, maka Vihara Shen Tee Bio bernaung di bawah badan hukum Yayasan Budi Asih, dahulu bernama Yayasan Hok Tik Tong dan berganti nama menjadi Vihara Budi Asih sejak 1971.

Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru yang militeristik, Bupati Purwakarta pada masa itu dijabat oleh Kolonel TNI-AD R. Muchtar Periode 1969-1979, dilanjutkan oleh Letkol TNI-AU Mukdas Dasuki (1980-1982) yang memerintahkan dan mengharuskan sekeliling Vihara Budi Asih dipagari dengan pagar tembok setinggi 3 meter lebih sebagai tembok pembatas antara Vihara Budi Asih dengan SDN Ampera 1 dan 2 Purwakarta. Nama sekolah ini pun berganti seiring perjalanan waktu, yaitu menjadi SDN Jenderal Ahmad Yani 10 dan 11, kemudian SDN 1 dan 2 Nagritengah.

Dahulu sebelum vihara dipagari tembok, pada masa Penulis masih bersekolah SD di sana, Penulis sering duduk-duduk di beranda depan vihara di bawah papan nama vihara di depan Dewa Pintu sambil jajan es serut buatan Mang Oman yang dibantu isterinya yang berjualan di luar tembok di bawah kerindangan daun-daun pohon kelengkeng, kadang Penulis  jajan cireng dan gorengan lainnya.

Perbedaan antara kelenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G-30-S/PKI. Imbas dari peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang mengubah nama sebagai vihara atau wihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan kelenteng dengan vihara.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD).

Status Kepemilikan

Semula tanah Vihara Budi Asih adalah seluas 1.919 meter, dimana 1.574 meter telah digunakan oleh sekolah dasar tersebut di atas, sehingga luas tanah yang digunakan hanya tinggal 345 meter. Selama ini Vihara Budi Asih sebagai rumah ibadah dibebaskan dari Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan. Asal-usul tanah ex Eigendom Verponding Nomor 696, Surat Ukur tanggal 30 Oktober 1900  Nomor 10. Eigendom, artinya hak milik mutlak, sedangkan verponding artinya sebagai harta tetap.

Informasi status tanah Vihara Budi Asih sebagai berikut:

  • Kepemilikan Tanah: Yayasan Budi Asih Purwakarta
  • Asal Hak: Pemberian Hak.
  • Hak Tanah: Hak Pakai
  • Nomor Sertifikat: Hak Pakai 00034 Kelurahan Nagritengah.
  • Luas Tanah: 345 m²
  • Nomor Identifikasi Bidang Tanah: 10.07.06.04.00071.
  • Dasar Pendaftaran Surat Keputusan: Nomor 19.530.2.32.07.2000 tanggal 26 Januari 2000
  • Surat Ukur: Nomor 01/Nagritengah/2001 tanggal 10 Januari 2001. Luas Tanah 345 m².
  • Tanah Negara berasal dari Buku Tanah Hak Pakai Nomor 6 Kelurahan Nagritengah DI.301 tanggal 09 Januari 2001 Nomor 08/2001.
  • Luas Bangunan Vihara: 208,25 m²
  • Nomor dan Tanggal Ijin Mendirikan Bangunan Vihara: 503/IMB.495-BPMPTSP/2016 tanggal 18 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun