Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Vihara Budi Asih Purwakarta

19 Juli 2022   10:10 Diperbarui: 28 Juli 2022   19:51 3776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewa Dapur (Zao Zhen). Foto: Ahmad Said Widodo

Pendahuluan

Kelenteng atau klenteng (bahasa Hokkian: bio) adalah sebutan untuk rumah ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Kong Hu Cu, maka kelenteng dengan sendirinya sering dianggap sama dengan rumah ibadah umat Kong Hu Cu. Di beberapa daerah, kelenteng juga disebut dengan istilah tokong. Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara.

Kelenteng adalah istilah generik untuk rumah ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa saja, tidak dikenal di wilayah lain atau di provinsi lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatra Utara mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur (Riau) mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan Barat orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai pakkung, pakkung miau atau shin miau. 

Tapi dengan seiring waktu, istilah kelenteng menjadi sangat umum dan mulai meluas penggunaannya. Kelenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai rumah ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), kelenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa pada masa lampau.

Kelenteng dibangun pertama kalinya pada tahun 1650 oleh Luitenant der Chinezen Kwee Hoen di Batavia dan dinamakan Kwan Im Teng. Kelenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im atau Dewi Pewelas Asih atau Avalokitesvara Bodhisatva. 

Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata kelenteng daripada vihara, wihara atau biara, yang kemudian melafalkannya sebagai kelenteng hingga saat ini. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao), ini adalah sebutan umum bagi kelenteng di Republik Rakyat China.

Pada hari Jumat tanggal 01 Juli 2020 pukul 09.00-11.45 WIB, sesuai perjanjian Penulis bertemu dengan 2 orang pengurus dan sesepuh Vihara Budi Asih (dahulu Shen Tee Bio), Purwakarta. Penulis disambut dengan sangat ramah-tamah dan sopan-santun oleh Bapak Nata Prasaja (Koh Anyih) yang berusia 67 tahun dan Bapak Rahmat Senjaya (Koh Anyan atau Koh Senyan) yang berusia 80 tahun. Kedua-duanya seperti sebaya, sama-sama 67 tahun, dengan kulit yang tetap kencang dan segar, namun nyatanya terpaut usia 13 tahun. Penulis diterima di serambi samping yang cukup luas tempat pemujaan kepada Sang Buddha (Siddharta Gautama).

Penulis bersama Bapak Nata Prasaja di kiri dan Bapak Rahmat Senjaya di kanan. Foto: Ahmad Said Widodo
Penulis bersama Bapak Nata Prasaja di kiri dan Bapak Rahmat Senjaya di kanan. Foto: Ahmad Said Widodo
Latar Belakang Sejarah

Pada menjelang dan sesudah tahun 1900-an, baik masyarakat Arab, maupun masyarakat Tionghoa dari berbagai sukubangsa di Purwakarta yang pada saat itu menjadi ibukota Kabupaten Karawang sudah cukup banyak. Masyarakat Arab yang kebanyakan berasal dari Handramaut, Yaman menempati wilayah yang oleh orang Belanda sering disebut sebagai Kampong der Arabieschen, sementara masyarakat Tionghoa menempati wilayah yang oleh orang Belanda sering disebut sebagai Kampong der Chinezen, sedangkan sebagai batas kedua wilayah dipisahkan oleh sebuah sungai kecil, yaitu Sungai Cigalugur yang berada tepat di belakang halaman rumahku, yang mempunyai panjang 4 km yang bermuara di Sungai Cikao dan kemudian berakhir di Sungai Citarum.

Memang pada dasarnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sangat tidak menginginkan suku-suku bangsa Nusantara dan etnis-etnis keturunan asing lain untuk bergaul atau bersosialisasi satu dengan yang lain karena dikhawatirkan adanya rasa persatuan dan kesatuan yang berujung pada pemberontakan.

Dahulu di Kabupaten Karawang yang beribukota di Purwakarta pernah ada pemimpin masyarakat (wijkmeester) Tionghoa yang disebut sebagai Luitenant der Chienezen dan pemimpin masyarakat (wijkmeester) Arab yang disebut sebagai Luitenant der Arabieschen. Biasanya mereka yang terpilih adalah mereka yang paling kaya-raya, berwibawa dan berpengaruh dalam masyarakatnya, terkadang juga alim ulama yang sangat mumpuni.

Di wilayah Purwakarta (Kabupaten Karawang), yang pernah menjabat, misalnya:

  • Pada tahun 1827 ada Umar Thalib, Luitenant der Arabieschen dan Ko Thian Cong, Luitenant der Chienezen.
  • Pada tahun 1835 ada Ouw Kong Hang, Luitenant der Chinezen.
  • Pada tahun 1925--1942 ada Syeh Ali Hasan bin Ali Bajri, Luitenant der Arabieschen.

Pemerintah Belanda kemudian mengembangkan pusat perniagaan di kedua wilayah yang sebelumnya sudah lama ada secara tradisional. Masyarakat Arab diberikan pusat perniagaan berupa Pasar Rebo yang berada di Desa Nagrikidul (sekarang Kelurahan Nagrikidul). Masyarakat Tionghoa diberikan pusat perniagaan berupa Pasar Jumat yang berada di Desa Nagrikaler (sekarang Kelurahan Nagrikaler). Orang Belanda dalam hal menulis kata "nagri" sering juga ditulis sebagai "negorij".

Jika pada masa itu masyakat pribumi, khususnya masyarakat keturunan Sunda dan Jawa yang beragama Islam telah memiliki bangunan rumah ibadah berupa masjid dan mushala (tajug atau langgar) di seantero wilayah Purwakarta, maka masyarakat Tionghoa juga menganggap perlu dibangun sebuah rumah ibadah berupa biara (vihara, wihara, kelenteng atau bio). Pada akhirnya masyarakat Tionghoa mulai mempunyai rumah ibadah untuk umat pemeluk agama  Buddha, Kong Hu Cu dan Tao yang disebut Tridharma, walaupun bangunannya belum semegah sekarang. 

Kemudian masyarakat Tionghoa berhasil mempunyai rumah ibadah yang megah dengan ciri khas warna merah dengan tulisan berwarna emas dan dengan segala perlangkapan peribadatan lainnya dan diresmikan pada tahun 1917 dan diberi nama Shen Tee Bio yang sekarang berganti nama menjadi Vihara Budi Asih yang dapat dibuktikan dengan keberadaan ciam si atau tiam si (tabung nasehat atau ramalan) yang beraksara Mandarin, yang terbuat dari seruas bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea).

Vihara Shen Tee Bio kadang-kadang disebut juga dengan Kuan Tek Kun Bio dan Kwan Kong Bio, sesui dengan rupang utama vihara Nama sebutan untuk Kuan Kong sendiri itu cukup banyak, di antaranya:

  • Kwan Kong
  • Kwan Shen Tee Kun
  • Kwan Yu
  • Kwan Yun Chang
  • Kwan Tek Kun

Ciam Si asli Shen Tee Bio, 1917 yang masih tersimpan di ruangan belakang Vihara Budi Asih Purwakarta. Foto: Ahmad Said Widodo
Ciam Si asli Shen Tee Bio, 1917 yang masih tersimpan di ruangan belakang Vihara Budi Asih Purwakarta. Foto: Ahmad Said Widodo

Vihara Budi Asih pada saat ini masih berada tetap di tempat yang sama sejak dahulu hingga sekarang yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 6A, Lingkungan Kamboja, Kelurahan Nagritengah, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat 41114. Bangunan ini letaknya bersebelahan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Nagritengah Purwakarta. 

Jika kita hendak menuju ke vihara ini, maka dari arah Patung Jenderal Sudirman di perempatan jalan antara Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Surawinata dan Jalan Jenderal Ahmad Yani Purwakarta, kita dapat berbelok ke arah Barat pada Jalan Jenderal Ahmad Yani sekitar 75 meter atau 1 menit berjalan kaki. Jadi cukup dekat saja.

Sementara masyarakat suku Sunda, biasanya dari Kota (Gemeente) Bandung, Sukabumi, Bogor dan Kabupaten (Regentschap) Kuningan serta dari suku Jawa dan suku-suku bangsa lain yang beragama Kristen Protestan juga mempunyai rumah ibadah berupa Gereja Kristen Pasundan di Purwakarta. 

Sejarah kehadiran jemaatnya berawal dari tahun 1916. Zendeling A. Vermer yang berkedudukan di Batavia datang untuk membaptis beberapa anak keturunan Tionghoa di Sekolah Zending. Kemudian pada tanggal 25 Juli 1917 Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV) menempatkan A. Ardja sebagai guru di sana. Pada tanggal 14 November 1934 gedung Sekolah Zending diresmikan menjadi gedung gereja dengan pendeta Maat Rikin.

Gereja Kristen Pasundan Purwakarta pada saat ini masih berada tetap di tempat yang sama sejak dahulu hingga sekarang yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 226, Kelurahan Nagrikaler, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat 41115.

Sedangkan masyarakat Arab baru mempunyai rumah ibadah berupa Masjid Ar-Raudhoh yang didirikan pada tahun 1926. Pada saat ini masjid itu masih berada tetap di tempat yang sama sejak dahulu hingga sekarang yang terletak di Jalan Kapten Halim Gang Banteng 4 RT 45 RW 01, Kelurahan Nagrikidul, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat 41111. Pada kurun tahun 1925-1942 pada masyarakat Arab juga ada Syeh Ali Hasan bin Ali Bajri sebagai Luitenant der Arabieschen.

Pada kurun waktu yang tidak terlalu lama, maka masyarakat Tionghoa juga memandang perlu mendirikan sebuah sekolah swasta yang didirikan dan dibangun oleh masyarakat Tionghoa secara iuran dan bergotong-royong. Sekolah ini disebut sebagai Sekolah Tiong Hoa yang pada awalnya dahulu terdiri dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak  1 kelas dan tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 6 kelas yang dilengkapi dengan asrama guru sebanyak 5 ruangan, masing-masing 1 ruangan untuk kepala sekolah dan 4 ruangan untuk guru-guru.

Para guru dan murid Sekolah Tiong Hoa berfoto bersama. Foto: Rahmat Senjaya
Para guru dan murid Sekolah Tiong Hoa berfoto bersama. Foto: Rahmat Senjaya

Nama Penggagas, Pendiri, Pembina, Pengawas dan Pengurus 

Sayang sekali belum diketahui dengan pasti siapa nama penggagas dan nama pendiri Vihara Budi Asih Purwakarta ini, kecuali kemudian diketahui nama pembina, pengawas dan pengurus berdasarkan dokumen-dokumen resmi berupa Akta-akta Notaris.

Yayasan Budi Asih Purwakarta (dahulu bernama Yayasan Budi Asih) adalah sebuah organisasi keagamaan, kemanusiaan dan sosial (kemasyarakatan). Yayasan pertama kali didirikan berdasarkan Risalah Rapat pada tanggal 14 Januari 1971 di hadapan Tuan Raden Kosasih Ateng Sachri, Wakil Notaris Sementara di Purwakarta. Akta Risalah Rapat ini Nomor 5 tanggal 14 Januari 1971 dan telah didaftarkan dalam buku pendaftaran di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Purwakarta di bawah Nomor 8/1971 dengan susunan pengurus sebagai berikut:

  • Ketua                 : Tuan Thie Soen Keng
  • Sekretaris          : Tuan Rudi
  • Bendahara         : Tuan Afen Purwady

 

Pengurus Yayasan Budi Asih Purwakarta membuat Akta Berita Acara Nomor 1 tanggal 08 Januari 2002 di hadapan Notaris Rahayu Benny Sofian, S.H. Isi Akta Berita Acara ini adalah merubah beberapa pasal pada Anggaran Dasar, yaitu mengenai Kekayaan Yayasan dan Badan Pengurus Yayasan. Pengurus yang lama diberhentikan dengan hormat dan mengangkat pengurus yang baru dengan susunan pengurus sebagai berikut:

  • Ketua                 : Tuan Lie Nay Sien
  • Wakil Ketua       : Tuan Hendra Lukito, S.H.
  • Sekretaris          : Tuan Charlie
  • Bendahara I       : Tuan Martin Panduwinata
  • Bendahara II      : Tuan Nata Prasaja
  • Penasehat          : Tuan Sugito, S.H., M.H.

 

Pengurus Yayasan Budi Asih Purwakarta membuat Berita Acara Rapat Nomor 3 tanggal 03 Agustus 2006 di hadapan Notaris Ahmad Bangsali, S.H. Isi Akta Berita Acara Rapat ini adalah:

  • Menyetujui untuk mengubah nama yayasan yang semula bernama Yayasan Budi Asih menjadi Yayasan Budi Asih Purwakarta.
  • Mengubah Susunan Pengurus Yayasan Budi Asih Purwakarta dengan susunan pengurus sebagai berikut:
  • Ketua                 : Tuan Sena Nelsen Ruslie atau Lie Nay Sien
  • Sekretaris          : Tuan Charlie
  • Bendahara I       : Tuan Martin Panduwinata
  • Bendahara II      : Tuan Nata Prasaja
  • Menyesuaikan dengan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001.

Pengurus Yayasan Budi Asih Purwakarta mengadakan rapat gabungan dan membuat Akta Berita Acara Rapat Gabungan Pembina, Pengawas dan Pengurus Nomor 28 tanggal 27 Maret 2018 di hadapan Notaris Ahmad Bangsali, S.H. Isi keputusan rapat gabungan adalah sebagai berikut:

  • Menyetujui penggantian Ketua Pembina Yayasan Almarhum Tuan Go Harta Sanjaya yang telah meninggal dunia untuk digantikan oleh Tuan Rahmat Senjaya.
  • Mengubah Susunan Organ Yayasan, seperti Pembina, Pengawas dan Pengurus. Susunan pengurus sebagai berikut:
  • Ketua                 : Tuan Sena Nelsen Ruslie atau Lie Nay Sien
  • Wakil Ketua       : Tuan Suki Dharma
  • Sekretaris          : Tuan Charlie
  • Bendahara         : Tuan Nata Prasaja
  •  
  • Menyatakan Inventarisasi Aset dan menentukan Nilai Transaksi Aset-aset Yayasan hingga saat ini.

 

Keputusan Rapat Gabungan ini juga menyatakan kembali, bahwa:

  • Yayasan ini bernama Yayasan Budi Asih Purwakarta, berkantor pusat di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 6A, Kelurahan Nagritengah, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta.
  • Yayasan berasaskan Pancasila,
  • Maksud dan tujuan yayasan ialah:
  • Di Bidang Keagamaan: Menyelenggarakan dan mendirikan sarana ibadah, meningkatkan pemahaman keagamaan, membantu Sangha Agung Indonesia dalam penyebaran agama Buddha, membina umat Buddha Indonesia agar menjadi manusia yang berpikir dan bertindak sesuai dengan Buddha Dharma serta tidak sektesentris, melaksanakan kegiatan pembinaan dan pelayanan umat;
  • Di Bidang Kemanusiaan: Memberi bantuan kepada korban bencana alam, pengungsi akibat perang, tuna wisma, fakir miskin dan gelandangan;
  • Di Bidang Sosial (Kemasyarakatan): Lembaga formal dan non-formal, panti asuhan, panti jompo, panti wreda, rumah sakit, poliklinik dan laboratorium, pembinaan olahraga, penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan studi banding

Yayasan Budi Asih Purwakarta telah memperoleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Budi Asih Purwakarta pada tanggal 27 Maret 208 Nomor: AHU-0004357.AH.01.04 Tahun 2018. Yayasan Budi Asih Purwakarta telah terdaftar di Bimbingan Masyarakat Nuddha Kementerian Agama Republik Indonesia dan berada di bawah naungan dan pembinaan dari Majelis Buddhayana Indonesia Provinsi Jawa Barat.

Biasanya di dalam sebuah vihara akan dipimpin oleh seorang Biksu (Sanskerta: Bhiku) atau Bhikkhu dalam mazhab Theravada (yang dieja dengan bahasa Pali) yang merupakan kata terapan yang diberikan kepada seorang pria, maupun kepada seorang wanita (Biksuni atau Bhikkhuni) yang telah ditahbiskan dalam lingkungan biara Buddhis.

Secara praktik, umat Buddha di Indonesia membedakan antara Biksu dengan Bhikkhu karena perbedaan mazhab yang mereka anut. Sapaan lain yang lebih akrab adalah Bhante. Biksu merupakan rohaniawan Buddhis untuk mazhab Mahayana yang berkembang di Tiongkok, Jepang, Korea dan Vietnam. 

Sedangkan Bhikku digunakan untuk rohaniawan Buddhis mazhab Theravada yang berkembang di Thailand, Sri Lanka, Myanmar, Kamboja dan Vietnam. Perbedaan penampilan di antara mereka terlihat dari warna dan bentuk jubah yang dikenakan. Sesungguhnya istilah Biksu atau Bhikkhu boleh digunakan tanpa memandang mahzab karena dua istilah itu memang netral.

Di Indonesia terdapat beberapa mazhab, seperti: Theravada, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya dan Nichiren. 

Kepemimpinan dan Pemilihan Locu

Pada saat ini Pengurus Vihara Budi Asih berjumlah 3 orang, yaitu:

  • Ketua                    : Suki Dharma
  • Sekretaris             : Charlie
  • Bendahara           : Nata Prasaja

Dikarenakan belum adanya pemuka agama Kong Hu Cu yang menetap, seperti: pendeta (xue shi), guru agama (wen shi), penebar agama (jiao sheng) dan tokoh sesepuh (zhang lao). 

Juga belum adanya pendeta Buddha (Biksu) serta belum adanya pendata Tao (Sekong), maka masyarakat Tionghoa di Purwakarta berdasarkan pemilihan yang dilakukan di dalam vihara akan menentukan 2-3 orang sebagai bakal calon atau calon pelayan peribadatan yang disebut sebagai Locu dan Wakil Locu. Locu merupakan sebutan bagi orang yang mengabdikan hidupnya untuk melakukan pelayanan merawat Altar Para Dewa di tempat ibadah vihara.

Pemilihan Locu untuk 9 buah altar para dewa. Pengabdian sebagai Locu, ternyata tidak dilakukan dengan jalan mudah, namun penentuannya melalui proses sembahyang dan melakukan komunikasi dengan para dewa yang akan diberikan pelayanan. Sebelum proses penentuan Locu selama 1 tahun ke depan, dipimpin sesepuh vihara, para Locu periode sebelumnya melakukan ibadah, yakni pamit kepada para dewa. 

Di vihara-vihara yang lain setelah itu secara simbolis mereka melepas selempang (shases) warna merah tua serta baju seragam warna tertentu yang merupakan baju kebesaran jabatan Locu yang diserahkan kepada pimpinan vihara. Setelah umat yang menjabat sebagai Locu dinyatakan habis masa jabatannya. Upacara dilanjutkan dengan pemilihan Locu yang baru yang akan menjabat selama 1 tahun berkutnya. 

Pemilihan dimulai dengan sembahyang bersama bagi para calon Locu. Penentuan calon tidak dibatasi, artinya bagi umat yang sebelumnya sudah menjabat tetap diperbolehkan mencalonkan diri. Jabatan Locu merupakan jabatan pengabdian. Pada prosesnya setiap umat boleh mencalonkan diri, tidak membedakan laki-laki maupun perempuan. Setiap umat mempunyai hak yang sama menjadi Locu. Tinggal seberapa besar dia diterima oleh dewa yang akan dirawat

Proses pemilihan Locu tergolong unik, tidak didasarkan pemilihan umum oleh para umat Tri Dharma. Namun pemilihan calon Locu dengan menggunakan 2 buah pak pwee sebuah benda terbuat dari kayu berukuran kecil 10 cm-20 cm warna merah atau uang koin kepeng. Pak Pwee tersebut diangkat dalam sembahyang oleh calon Locu, kemudian dijatuhkan. 

Apabila 2 buah pak pwee itu jatuh tertelungkup, maka artinya mo pwee alias tidak diterima dewa. Apabila 2 buah pak pwee jatuh terbuka itu artinya belum tentu diterima dewa. Biasanya pak pwee yang dinyatakan sah, apabila 2 buah pak pwee yang dikocok salah satu terbuka dan salah satu menelungkup, maka artinya diterima oleh dewa atau sio pwee, maka semakin banyak sio pwee, semakin tinggi peluang menjadi Locu. Penentuan urutan jabatan pengabdian ini berdasarkan seberapa banyak seseorang tersebut diterima dewa saat melempar pak pwee.

Untuk periode sekarang (2021-2022) yang menjabat sebagai Locu Vihara Budi Asih adalah:

  • Locu                      : Bapak Tjong Tet Hiang 
  • Wakil Locu 1         : Bapak Arbi
  • Wakil Locu 2         : Bapak Suki Dharma. 

Di vihara-vihara yang lain yang jumlah umatnya lebih banyak dan ukuran vihara lebih besar dengan lahan tanah lebih luas, maka jumlah Locu pada setiap altar bisa lebih banyak, dengan sebutan, seperti:

  • Ketua 1 (Cia Locu),            
  • Ketua 2 (Jie Locu),           
  • Ketua 3 (Sa Locu) dan seterusnya.

Pada setiap periode tak jarang Locu dan Wakil Locu menjabat 2-3 periode berturut-turut ataupun secara bergantian melalui pemilihan yang langsung, umum, bebas, jujur, adil dan demokratis yang biasanya dilakukan setiap 1 tahun 1 kali setiap bulan 7-8 (Cit Gwee-Pik Gwee) dalam Kalender China atau kira-kira sama dengan bulan Juli-Agustus.

Kalender China ini satu keluarga dengan Kalender Yahudi, yaitu kalender luni-solar (surya-chandra). Maksudnya perhitungan tahunnya mengikuti siklus matahari, sedangkan perhitungan bulannya mengikuti fase bulan. Karena satu keluarga dengan kalender Yahudi, maka akan memudahkan kita bila mempelajari kalender China dengan membandingkan dengan kalender Yahudi. Kalender China mempunyai 12 penanda (titen, mark, zhongqi) yang dikaitkan dengan cuaca atau kegiatan pertanian.

 

Sejarah Pertumbuhan, Perkembangan dan Dinamika Politik

Kehidupan masyarakat Tionghoa pada masa sesudah berdirinya vihara dapat dikatakan aman dan damai sampai dengan pasca meletusnya Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 30 September 1965, yang biasa disebut sebagai Peristiwa G-30-S/PKI.

Dan dikarenakan adanya kecurigaan, yaitu adanya dugaan, bahwa peristiwa G-30-S/PKI ada hubungan erat dengan semakin mesranya hubungan antara Indonesia, khususnya Partai Komunis Indonesia dengan negara-negara blok Timur (Komunis), seperti Republik Sosialis Uni Sovyet, Republik Rakyat China, Republik Demokratik Vietnam Utara dan Republik Demokratik Korea Utara, terutama sekali hubungan erat antara Partai Komunis Indonesia dengan Partai Komunis China (Republik Rakyat China).

Yang kemudian terbukti ada bantuan berupa 100.000 pucuk senjata api laras panjang Chung Type56 dari Republik Rakyat China kepada Partai Komunis Indonesia, khususnya untuk pembentukan Angkatan Ke-5 (buruh dan tani yang dipersenjatai untuk dengan dalih membantu Operasi Dwikora, yaitu adanya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia).

Senjata Chung Type56 ini mengikuti desain aslinya Simonov SKS yang dirancang oleh Sergei Gavrilovich Simonov pada tahun 1943. Kemudian Uni Soviet sendiri mulai menggunakan Simonov SKS pada tahun 1945. Lantas China memproduksi SKS atas dasar lisensi serta asistensi langsung dari tim Soviet. Yang kemudian senapan ini diberi label Type56, menyiratkan produksi senapan mulai di produksi pada tahun 1956.

Pasca peristiwa G-30-S/PKI ini, maka terjadilah demonstrasi besar-besaran oleh massa rakyat, terutama dari kalangan mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh,  sarjana, wanita, guru dan lain-lain, seperti para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI) dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) serta didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya TNI Angkatan Darat.

Oleh karena gerakan demonstrasi yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif, maka tak pelak apapun yang berbau komunis, Tiongkok atau China disikat habis, salah satu yang menjadi korbannya adalah Vihara Shen Tee Bio (sebelum berganti nama menjadi Vihara Budi Asih) yang sempat disegel untuk selama beberapa waktu dan senantiasa diawasi oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan itu terjadi pada tanggal 10 November 1965.

Salah satu pelaku sejarah penyegelan ini adalah Bapak A. Tajuddin, S.H., seorang pengacara yang pernah bergabung dengan Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum di Purwakarta, yang secara kebetulan pernah menjadi tetangga sebelah rumah orangtua Penulis di Jalan Kamboja Nomor 07 Purwakarta.

Setelah adanya Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu 3 tuntutan kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa, pelajar dan pemuda. Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi sosial, ekonomi maupun politik. 

Harga barang naik sangat tinggi terutama bahan bakar minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura.

Isi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) itu adalah sebagai berikut:

  • Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya.
  • Perombakan kabinet Dwikora.
  • Turunkan harga pangan.

Tuntutan 1 dan 2 sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan 3 baru diserukan saat itu yang sangat menyentuh kepentingan orang banyak. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yaitu surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan, ketertiban dan kestabilan pemerintahan yang buruk pada masa pembersihan setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965.

Sebagai akibat dari berlakunya, Supersemar justru menjadi penanda peralihan kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Pada perkembangan selanjutnya, Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto justru memberangus segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Tiongkok, China atau istilah lainnya, apalagi yang berbau komunisme.

Misalnya saja ada himbauan atau paksaan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, baik bernuansa Jawa, Sunda atau Sansekerta dan lain-lain. Seni, budaya, bahasa dan sastra sangat dilarang keras. Seni semacam barongsai, liang liong dan wayang potehi dilarang, perayaan Imlek dan Cap Go Meh juga dilarang dan lain-lain. Catatan lainnya, misalnya sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember 1966. Kemudian koran- koran berbahasa Tionghoa di Indonesia ditutup oleh pemerintah tahun 1967.

Salah satu akibat dari peristiwa-peristiwa ini adalah dilarang beroperasinya Sekolah Tionghoa yang berbahasa pengantar Mandarin. Sebagai gantinya didirikanlah sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ampera 1 dan 2 Purwakarta. Setelah sekian tahun berlalu, maka Vihara Shen Tee Bio bernaung di bawah badan hukum Yayasan Budi Asih, dahulu bernama Yayasan Hok Tik Tong dan berganti nama menjadi Vihara Budi Asih sejak 1971.

Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru yang militeristik, Bupati Purwakarta pada masa itu dijabat oleh Kolonel TNI-AD R. Muchtar Periode 1969-1979, dilanjutkan oleh Letkol TNI-AU Mukdas Dasuki (1980-1982) yang memerintahkan dan mengharuskan sekeliling Vihara Budi Asih dipagari dengan pagar tembok setinggi 3 meter lebih sebagai tembok pembatas antara Vihara Budi Asih dengan SDN Ampera 1 dan 2 Purwakarta. Nama sekolah ini pun berganti seiring perjalanan waktu, yaitu menjadi SDN Jenderal Ahmad Yani 10 dan 11, kemudian SDN 1 dan 2 Nagritengah.

Dahulu sebelum vihara dipagari tembok, pada masa Penulis masih bersekolah SD di sana, Penulis sering duduk-duduk di beranda depan vihara di bawah papan nama vihara di depan Dewa Pintu sambil jajan es serut buatan Mang Oman yang dibantu isterinya yang berjualan di luar tembok di bawah kerindangan daun-daun pohon kelengkeng, kadang Penulis  jajan cireng dan gorengan lainnya.

Perbedaan antara kelenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G-30-S/PKI. Imbas dari peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang mengubah nama sebagai vihara atau wihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan kelenteng dengan vihara.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD).

Status Kepemilikan

Semula tanah Vihara Budi Asih adalah seluas 1.919 meter, dimana 1.574 meter telah digunakan oleh sekolah dasar tersebut di atas, sehingga luas tanah yang digunakan hanya tinggal 345 meter. Selama ini Vihara Budi Asih sebagai rumah ibadah dibebaskan dari Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan. Asal-usul tanah ex Eigendom Verponding Nomor 696, Surat Ukur tanggal 30 Oktober 1900  Nomor 10. Eigendom, artinya hak milik mutlak, sedangkan verponding artinya sebagai harta tetap.

Informasi status tanah Vihara Budi Asih sebagai berikut:

  • Kepemilikan Tanah: Yayasan Budi Asih Purwakarta
  • Asal Hak: Pemberian Hak.
  • Hak Tanah: Hak Pakai
  • Nomor Sertifikat: Hak Pakai 00034 Kelurahan Nagritengah.
  • Luas Tanah: 345 m²
  • Nomor Identifikasi Bidang Tanah: 10.07.06.04.00071.
  • Dasar Pendaftaran Surat Keputusan: Nomor 19.530.2.32.07.2000 tanggal 26 Januari 2000
  • Surat Ukur: Nomor 01/Nagritengah/2001 tanggal 10 Januari 2001. Luas Tanah 345 m².
  • Tanah Negara berasal dari Buku Tanah Hak Pakai Nomor 6 Kelurahan Nagritengah DI.301 tanggal 09 Januari 2001 Nomor 08/2001.
  • Luas Bangunan Vihara: 208,25 m²
  • Nomor dan Tanggal Ijin Mendirikan Bangunan Vihara: 503/IMB.495-BPMPTSP/2016 tanggal 18 Agustus 2016

Fasilitas-fasilitas yang dimiliki Vihara Budi Asih adalah:

  • 2 ruang Bhaktisala
  • 1 tempat pembakaran kertas sembahyang
  • 1 ruang dapur
  • 1 ruang gudang
  • 1 kamar mandi/WC
  • 2 WC

 

Peribadatan dan Persembahyangan

Pada setiap bagian vihara sesungguhnya menyimpan keunikan tersediri karena selalu ada sisi filosofi dan agama yang menarik untuk diulik. Misalnya saja, pada bagian depan vihara tercantum tulisan berhuruf Tionghoa atau Hanzi, pada bagian pintu masuk ada lukisan Dewa Pintu, pada bagian serambi (samping) ada area untuk peribadatan umat Buddha, pada bagian bangsal utama ada area untuk peribabadatan umat Kong Hu Cu, dengan altar utama untuk Tuhan Yang Maha Esa (Tian atau Shang Ti) dan altar utama untuk Dewa Kwan Kong dan seterusnya.

Adapun urut-urutan peribadatan adalah sebagai berikut:

  • Dewa Langit atau Tuhan Yang Maha Esa (Tian atau Shang Ti).
  • Dewa Pintu (Men Shen).
  • Dewa Dharma Phala Bodhisattva (Kwan Kong, Kuan Kung atau Kwan Shen Tee Kun)
  • Dewi Kwan Im (Kuan Yin atau AvalokiteÅ›hvara Boddhisattva).
  • Dewa Amurwabhumi (Hok Tek Ceng Sin atau Fu Te Zheng Shen).
  • Dewa Bumi (Tu Shen).
  • Kong Hu Cu (Kong Fu Zi).
  • Buddha Siddharta Gautama (Fo).
  • Dewa Dapur (Zao Zhen).

Lukisan Dewa Pintu (Men Shen) di kanan dan kiri. Foto: Ahmad Said Widodo
Lukisan Dewa Pintu (Men Shen) di kanan dan kiri. Foto: Ahmad Said Widodo

Dewa Dharma Phala Bodhisattva (Kwan Kong, Kuan Kung atau Kwan Shen Tee Kun). Foto: Ahmad Said Widodo
Dewa Dharma Phala Bodhisattva (Kwan Kong, Kuan Kung atau Kwan Shen Tee Kun). Foto: Ahmad Said Widodo

Dewi Kwan Im (Kuan Yin atau Avalokiteśhvara Boddhisattva). Foto: Ahmad Said Widodo
Dewi Kwan Im (Kuan Yin atau Avalokiteśhvara Boddhisattva). Foto: Ahmad Said Widodo

Dewa Amurwabhumi (Hok Tek Ceng Sin atau Fu Te Zheng Shen). Foto: Ahmad Said Widodo
Dewa Amurwabhumi (Hok Tek Ceng Sin atau Fu Te Zheng Shen). Foto: Ahmad Said Widodo

Dewa Bumi (Tu Shen). Foto: Ahmad Said Widodo
Dewa Bumi (Tu Shen). Foto: Ahmad Said Widodo

Kong Hu Cu atau Kong Fu Zi. Foto: Ahmad Said Widodo
Kong Hu Cu atau Kong Fu Zi. Foto: Ahmad Said Widodo

Buddha Siddharta Gautama (Fo). Foto: Ahmad Said Widodo
Buddha Siddharta Gautama (Fo). Foto: Ahmad Said Widodo

Dewa Dapur (Zao Zhen). Foto: Ahmad Said Widodo
Dewa Dapur (Zao Zhen). Foto: Ahmad Said Widodo

Setiap orang yang datang beribadah sembahyang diwajibkan berdoa dengan menggunakan 3 (tiga) batang dupa wangi atau hio yang terbuat dari bahan baku utama serbuk halus kayu panglong ditambah dengan berbagai ramuan rempah-rempah yang beraroma harum, seperti cendana (Santalum album), gaharu (Aquilaria malaccensis), kayu manis (Cinnamomum burmannii), kamper/kapur barus (Dryobalanops aromatica), kemenyan (Styrax sp.) dan lain-lain serta dibubuhi aromaterapi.

"Ada sedikit perbedaan jelas antara obat-obatan, rempah-rempah, parfum dan dupa, yakni, di antara zat-zat yang menyehatkan tubuh dan yang menyehatkan jiwa, yang menarik kekasih dan yang menarik perhatian seorang dewata." The Golden Peaches of Samarkand, a Study of T'ang Exotics, Edward H. Schafer (Sinolog dan Sejarawan).

Persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tian atau Shang Ti)

Tuhan Yang Maha Esa (Tian atau Shang Ti) tentu saja tidak boleh digambarkan dengan cara, media atau bentuk apapun juga. Hampir sama dengan ajaran agama Islam, Allah Subhanahu Wa Taala; dengan agama Kristen Katholik dan Protestan, Allah Bapa; dengan ajaran agama Hindu Dharma, Sang Hyang Widhi Wasa dan dengan ajaran agama Buddha Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang atau juga Sang Hyang Adi Buddha. Oleh karena itu persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah dengan cara menempatkan tubuh dan wajah pemeluknya menghadap ke arah sebelah Barat dan dengan berdoa serta mengangkat 3 batang hio yang telah dibakar.

Persembahyangan kepada Dewa Kwan Kong (Kuan Kung)

Guan Yu  (Guan Yunchang, Kwan Yintiang, Kwan Kong, Guan Gong atau Kwan Ie) (160/164-219/220) adalah seorang jenderal terkenal dari Zaman Tiga Negara. Ia dilahirkan di kabupaten Jie, wilayah Hedong (sekarang kota Yuncheng, provinsi Shanxi). Guan Yu merupakan jenderal utama Negara Shu Han, ia bersumpah setia mengangkat saudara dengan Liu Bei (kakak tertua) dan Zhang Fei (adik terkecil). Dalam konteks populer, Guan Yu sering digambarkan sebagai tokoh yang berwajah merah. Guan Yu ini adalah salah seorang yang berkepribadian amat luhur, ramah, sopan, jujur, adil dan bertanggungjawab sehingga menjadi suri tauladan bagi generasi berikutnya dan ia disamakan dengan seorang dewa. Ia juga menjadi rupang utama Vihara Budi Asih.

Persembahyangan kepada Buddha

Tiga batang hio itu bagi umat Buddha adalah sebagai simbol dari Tiga Mestika atau Tiga Permata berasal dari bahasa Pali Tiratana (Ti: tiga dan Ratana: mestika atau permata) dan bahasa Sanskerta Tri Ratna (dengan arti yang sama dengan Tiratana dalam bahasa Pali). Tiga Mestika mempunya makna yang sangat berarti bagi umat Buddha.

Tiga Mestika yang dimaksud dalam agama Buddha itu adalah sebagai berikut:

  • Buddha, yang juga dapat diartikan sebagai Buddha Gautama sebagai guru dan juga dapat diartikan sebagai sifat kebuddhaan yang dimiliki oleh setiap manusia.
  • Dhamma, yang merupakan ajaran Buddha, yang merupakan kebenaran mutlak.
  • Sangha, yang sering kali dikaitkan sebagai pengawal dan pelindung Dhamma. Sangha juga adalah suatu persaudaraan suci orang-orang yang telah mencapai tingkatan kesucian (Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat).

Buddha sendiri digambarkan terdiri dari Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. Sementara Dhamma sendiri digambarkan terdiri dari Pariyati Dhamma, Patipatti Dhamma dan Pativedha Dhamma. Sedangkan Sangha sendiri digambarkan terdiri dari Sammuti Sangha dan Ariya Sangha.

Persembahyangan kepada Kong Hu Cu

Ada ritual ibadah yang biasanya dilakukan oleh umat Kong Hu Cu, yaitu membakar hio sambil berdoa kepada patung-patung yang dipercayai ada 'nyawa-nya'. Sehingga apa-apa yang mereka doa akan tersampaikan kepada dewa yang dimaksud.

Di dalam vihara-vihara lainnya, umat Kong Hu Cu biasanya melakukan ibadah di Ruang Ibadah atau Litang. Litang adalah nama tempat ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia biasanya dilakukan pada setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan hari lain, hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Tiga batang hio itu bagi umat Konghucu adalah sebagai simbol dari Tian, Kong Co dan Pribadi. Peralatan untuk ibadah juga tidak repot, hanya sejumlah hio yang sudah disediakan oleh pengurus vihara. Setiap satu tempat colokan hio digunakan 3 batang hio, jadi kalau di dalam vihara itu ada 8 buah colokan, berarti jumlah hio yang diambil adalah 24 batang hio.

Kemudian, ada kertas uang yang menurut kepercayaan kertas uang ini nantinya saat dibakar akan berwujud uang untuk di dunia lain. Kertas uang bakar inipun ada nominalnya, mulai dari Rp 1.000,00 dan seterusnya. Selanjutnya ada sepasang lilin berwarna merah, gula-gula atau permen dan minyak sayur yang digunakan apabila ingin menambah minyak di lampu lentera. Penambahan minyak sayur ini diyakini sebagai penambahan rejeki atau keberuntungan bagi si pemberi.

Selesai melakukan pembakaran hio kepada masing-masing patung dewa, ada satu lagi ritual bagi orang yang ingin bertanya langsung kepada 'dewa'. Cara ini dinamakan ciam si atau tiam si, yaitu mengocok sumpit atau batang bambu yang telah diberi nomor pada salah satu permukaannya. Jumlah batang bambu bisa mencapai 100 bilah. Selain itu, ada dua bilah kayu berbentuk bulan setengah dan berwarna merah yang disebut siao poe. Ucapkan nama lengkap, umur, alamat dan apa yang akan ditanyakan.

Nantinya, si pengocok ini terlebih dahulu menanyakan apa yang ingin ia ketahui, mulai dari jodoh, rezeki, keuangan, cita-cita sampai masa depan. Setelah memohon, batang bambu (siao poe) boleh dikocok hingga terlontar 2 siao poe yang bertuliskan nomor. Ambil siao poe, tanyakan kembali apakah betul nomor tersebut adalah jawaban dari permohonan atau pertanyaan yang diajukan.

Kemudian lempar 2 bilah siao poe tersebut, jika keduanya tertelungkup, berarti kocokan bambu harus diulang. Jika keduanya terlentang, artinya bisa benar bisa tidak. Jika yang satu tertelungkup dan yang satu terbuka, artinya jawaban tersebut sah. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mencari lembaran kartu dengan nomor yang tertera pada batang bambu.

Ketika hasil kocokan keluar, maka ia tinggal mencari arti dari siao poe tersebut pada lembaran kartu yang terbuat dari kertas karton berwarna putih yang cukup tebal dengan syair, uraian nasehat atau ramalan yang berbahasa Mandarin pada salah satu sisinya dan yang berbahasa Indonesia pada salah satu sisi lainnya. Kartu tersebut berisi syair yang menggambarkan jawaban atas pertanyaan yang diucapkan saat mengocok bambu. Artinya bisa ditanyakan kepada tetua yang ada di vihara. Kartu-kartu ini disimpan dalam lemari kaca, yang terdiri dari 10 baris rak bertingkat dan masing-masing terdiri dari 10 kolom yang berisi masing-masing syair, nasehat atau ramalan tersebut.

Terakhir, jika semuanya sudah beres, maka sekarang melakukan pembakaran uang kertas di tempat yang telah disediakan. Tempat ini seperti pagoda. Ada suatu kepercayaan juga sewaktu membakar uang kertas ini, yaitu logo yang ada di uang kertas jangan dibalik saat sedang dibakar lalu uang kertas itu dibiarkan dibakar secara alami, tidak boleh ditusuk atau dirusak karena diyakini nantinya di dunia lain uang tersebut akan rusak atau sobek.

Uang kertas atau jinzhi (Hokkien = kimcoa),  juga dikenal sebagai uang arwah (uang orang mati) merupakan lembaran-lembaran kertas yang dijadikan persembahan bakaran dalam agama tradisional China, juga penghormatan kepada leluhur yang dilakukan saat libur atau waktu tertentu. Jinzhi dan persembahan berupa kerajinan kertas lainnya juga dibakar pada saat ritual pemakaman supaya roh orang yang meninggal tidak berkekurangan di akhirat.

Uang kertas arwah yang diberi cap perak disebut yinsizhi, zhiqian atau ming bi. Perbedaan penggunaan uang emas dan uang perak adalah: uang emas digunakan sebagai persembahan untuk para dewa, sementara uang perak digunakan sebagai persembahan untuk arwah leluhur.

Vihara biasanya menjadi pilihan bagi umat Kong Hu Cu untuk mengadakan pesta pernikahan. Seperti agama lain, mereka juga melakukan doa atau sembahyang terlebih dahulu di dalam vihara. Kemudian, pesta makan di halaman luar vihara. Biasanya perjamuan di vihara adalah perjamuan Tjiak Tok dan tentu saja makanan yang disajikan adalah makanan yang mengandung babi.

Diperkirakan masyarakat Tionghoa yang menganut agama Buddha, Kong Hu Cu dan Tao di Purwakarta pada awalnya diperkirakan ada sekitar 300–400 orang, namun data terkahir terdapat 252 orang. Umat Buddha termasuk yang paling banyak, umat Kong Hu Cu sedikit dan umat Tao sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, sudah barang tentu jumlah penganut sebanyak itu tidak datang pada saat bersamaan, melainkan secara bergantian karena ruang geraknya sangat terbatas. 

Hanya pada saat acara hari-hari raya besar keagamaan semisal Hari Raya Tahun Baru Imlek, Hari Raya Tri Suci Waisak, Ulang Tahun Kwan Kong dan sembahyang Cit Gwee (Cioko, Ulambana), maupun sembahyang setiap tanggal 1 (bulan sabit) dan setiap tanggal 1 Imlek (bulan sabit, Ce It) dan setiap tanggal 15 Imlek (bulan purnama, Cap Go), diperbolehkan menggunakan araea lapangan dan beranda kelas sekolah dasar setelah pihak pengurus yayasan meminta ijin terlebih dahulu dan memang pada hari-hari besar tersebut, siswa sekolah dasar sedang libur atau diliburkan, khususnya pada saat Hari Raya Tahun Baru Imlek dan Hari Raya Tri Suci Waisak. Upacara sembahyang setiap tanggal 1 dan 15 hampir mirip dengan upacara sembahyang umat Hindu Dharma, yang mengenal bulan tilem dan bulan purnama juga.

Persembahyangan kepada Lao

Sayangnya sampai saat ini belum ada umat penganut agama Tao atau Dao Jiao di Purwakarta yang didirikan oleh Zhang Dao Ling (34-156). Selain menggunakan kitab Daodejing, Zhang Dao Ling juga menggunakan kitab Tai Ping Jing atau kitab kedamaian agung. Agama Tao mengenal 3 tokoh yang mendirikan dan membangun ajaran Tao. Pertama adalah Lao Tze, Zhang Jiao atau Zhang Jue, kedua adalah Zhang Bao dan ketiga adalah Zhang Dao Ling atau Zhang Liang.

Lemari baris rak dan kolom Ciam Si (kartu syair, nasehat atau ramalan nasib). Foto: Ahmad Said Widodo
Lemari baris rak dan kolom Ciam Si (kartu syair, nasehat atau ramalan nasib). Foto: Ahmad Said Widodo

Pagoda di sudut Vihara Budi Asih tempat pembakaran kertas uang. Foto: Ahmad Said Widodo
Pagoda di sudut Vihara Budi Asih tempat pembakaran kertas uang. Foto: Ahmad Said Widodo

Persembahan, Perjamuan dan Perayaan

Pada dasarnya semua jenis buah-buahan, baik yang musiman maupun yang bukan bisa menjadi buah-buahan persembahan, perjamuan dan perayaan, baik buah-buahan asli negeri tropis seperti Indonesia maupun buah-buahan asli negeri sub tropis seperti China, Korea, Jepang, Amerika Serikat dan lain-lain. Misalnya buah-buahan: anggur, apel, buah naga, duku, jeruk Mandarin, jeruk lemon, jeruk orange, kelengkeng, nanas, pisang Ambon, pisang  raja serai dan lain-lain. Yang masing-masing mengandung makna filosofisnya sendiri dan tidak boleh asal menggunakan sembarang buah-buahan, misalnya buah pir dan semangka yang biasannya digunakan dalam acara kematian.

Kue keranjang (ada yang menyebutnya kue bakul atau dodol Tionghoa atau dodol Cina) yang disebut juga sebagai nin go dalam bahasa Mandarin atau ti-ke dalam bahasa Hokkien, yang mendapat nama dari wadah cetaknya yang berbentuk keranjang, adalah merupakan kue yang terbuat dari tepung ketan putih dan gula pasir serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket, dengan dilapisi kertas kaca dan plastik atau daun pisang. Kue ini merupakan salah satu kue khas atau wajib perayaan Hari Raya Tahun Baru Imlek, biasanya jatuh pada bulan Januari atau Februari setiap tahun. Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, tujuh hari menjelang Hari Raya Tahun Baru Imlek Ji Si Sang Ang dan puncaknya pada malam menjelang Hari Raya Tahun Baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek).

Kue bulan atau moon cake adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Pertengahan Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal menurut namanya dalam Bahasa Hokkian, yaitu gwee pia atau tiong chiu pia. Kue bulan sendiri dalam bahasa Mandarin dikenal dengan tiong ciu pia, tiong berarti tengah, ciu berarti musim gugur dan pia merujuk pada nama jenis kue yang berbentuk bulan dengan isi di dalamnya. Dalam bahasa Hakka atau Khek, kue bulan disebut ngiet-ping. Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.

Festival Pertengahan Musim Gugur, Festival Kue Bulan atau Hari Raya Kue Bulan, merupakan perayaan terbesar kedua bagi masyarakat Tionghoa, setelah Hari Raya Tahun Baru Imlek. Festival ini jatuh setiap tanggal 15 bulan ke-8 pada Kalender Tradisional China. Biasanya, momen perayaan ini digunakan sebagai momen untuk berkumpul bersama keluarga dan menikmati kue bulan bersama.

Upacara-upacara hari raya keagamaan lainnya, seperti peringatan Hari Lahir Kong Hu Cu (tanggal 27 bulan 8 Imlek), Hari Wafat Kong Hu Cu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Hari Tangcik atau Genta Rohani dan Tahun Baru Imlek dan lain sebagainya biasanya juga dilakukan di Litang.

Kegiatan keagamaan Vihara Budi Asih:

  • Vihara Budi Asih terbuka untuk umum dan umat yang ingin bersembahyang, setiap hari dari pukul 08.00-16.00 WIB.
  • Kegiatan sembahyang Ce It dan Cap Go umat Vihara Budi Asih dari pukul 06.00-23.00 WIB.
  • Malam Ce It dan Cap Go ada kegiatan sembahyang umat Vihara Budi Asih dan baca Liam Keng dari pukul 19.00-20.30 WIB.

Foto: Ahmad Said Widodo
Foto: Ahmad Said Widodo

Foto: Ahmad Said Widodo
Foto: Ahmad Said Widodo

Penutup

Agama atau kepercayaan adalah sesuatu yang sifatnya hakiki. Setiap orang hendaknya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran atau syariat agama masing-masing, sebagaimana diajarkan dalam kitab sucinya. Keimanan itu adalah dasar dari semuanya, baik yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan amal perbuatan dan dengan sikap perilaku, termasuk ibadah dan amalan sehari-hari, sedangkan ketaqwaan adalah puncak dari keimanan yang tertinggi.

Meskipun agama-agama yang diakui resmi dan dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat ini hanya ada 6 agama, antara lain: Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu Dharma, Buddha dan Kong Hu Cu, tetapi di luar agama resmi tersebut, seperti Tao, Sikh dan Yahudi meskipun dianggap bukan agama resmi, namun tetap dihargai dan dihormari, demikian pula para pemeluk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaan setiap rumah ibadah yang sudah berusia 50 tahun atau lebih langsung atau tidak langsung dilindungi oleh  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagara Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 5168). Vihara Budi Asih Purwakarta menjadi salah satu calon tambahan Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat karena usia bangunan dan perlengkapan di dalamnya telah berusia 105 tahun sejak diresmikan pada tahun 1917.

Naskah ditulis berdasarkan wawancara dengan para narasumber yang tak lain adalah para sesepuh Vihara Budi Asih sebagai sumber-sumber primer ditambah dengan berbagai sumber referensi, baik sumber-sumber sekunder, maupun sumber-sumber tersier lainnya sebagai bahan pembanding dan pelengkap yang dapat saling melengkapi serta dari apa yang dilihat, didengar dan dialami serta oleh Penulis

Purwakarta, 17 Juli 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun