Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siti Rukiah Kertapati, Tetanggaku dan Pujangga Indonesia yang Terlupakan Jaman

22 Desember 2021   10:10 Diperbarui: 30 September 2023   18:51 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siti Rukiah Kertapati. 1953. Foto: Wikipedia dari H.B. Jassin. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I, Gunung Agung, Jakarta, 1953.

 

Pada saat aku duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purwakarta pada tahun 1979, aku membaca buku “Kesusasteraan Indonesia Untuk SMP” karya Drs. Abdullah Ambary, Penerbit Djatnika, Bandung, aku dibuat kaget sekaligus takjub membaca sebuah nama S. Rukiah yang dituliskan lahir di Purwakarta, pada tanggal 25 April 1927. Itu artinya sama dengan tempat kelahiranku, Purwakarta, Jawa Barat. Tulisan dalam buku itu sangat singkat sehingga tidak cukup informatif bagiku.

Kekagetan sekaligus ketakjubanku aku sampaikan pada ibuku dan ibuku berkata: “Ya anakku, benar sekali, ibu Rukiah itu adalah seorang pujangga Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan 45 dan ibumu ini sering membaca buku-buku karyanya ketika ibumu ini masih gadis sekolah di SMP Bruderan, Purworejo dan Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP) disebut juga Sekolah Kartini dan Sekolah Van Deventer, Semarang, Jawa Tengah.”

Lantas aku bertanya, “Dimanakah sekarang beliau berada? Apakah beliau masih hidup?” Ibuku menjawab, “Ya, anakku, beliau adalah sahabat ibu dan menjadi tetangga kita di sini di lingkungan kampung ini?” “Benarkah, bu?” “Benar, nak,” jawab ibuku. “Lebih tepatnya dimana, bu?” tanyaku menyelidik dan penasaran. “Beliau tetangga RT kita se-RW di sebelah Barat Laut, masih di Jalan Kamboja, Purwakarta.”

Kemudian pada beberapa hari sesudah itu, kebetulan ibuku mengajak pergi silaturahim kepada salah seorang tetangga se-RW dan kebetulan sekali, ibuku mengajakku melewati rumah dimana ibu Rukiah tinggal. “Nak, beberapa hari yang lalu, kamu pernah bertanya pada ibumu, dimana rumah ibu Rukiah. Ini adalah rumah beliau, nanti kapan-kapan ibu akan perkenalkan kamu dengannya atau kamu mau berkenalan sendiri? Bukankah kamu seorang yang hobby membaca dan sudah jadi kutu buku?” ibuku memandangku dan aku mengangguk sambil tersenyum, "Ya, bu." "Lantai rumah beliau juga tegel sama seperti lantai rumah kita dan rumah eyangmu," kata ibuku lagi.

Beberapa waktu kemudian aku sengaja naik sepeda jengkiku melewati rumahnya beberapa kali dalam sehari dan Alhamdulillah aku bisa melihatnya berada di beranda rumah, aku tersenyum padanya dan beliau tersenyum padaku. Begitu terjadi hampir setiap hari. Dan pada akhirnya kami jadi sering bertemu, menyapa dan berbincang, meskipun ada kepedihan yang aku bisa tangkap, namun beliau sangat ramah dan sopan kepada siapapun.

Ibuku berceritera, bahwa keadaan politik pada saat pasca peristiwa Pemberontakan G-30-S/PKI  itu membuat bu Rukiah dan suaminya pak Sidik Kertapati mengalami nasib buruk yang berkepanjangan karena terseret arus politik yang pedih pada masa Orde Baru. Namanya jadi “dihilangkan” dari catatan sejarah. Namun, beruntunglah aku dan ibuku bisa mengenalnya sebagai orang yang sangat baik, ramah dan sopan. Entahlah, pada saat itu apakah beliau juga masih diawasi ketat oleh aparat keamanan atau tidak, aku sama sekali tidal tahu karena aku masih remaja yang belum berurusan dengan dunia politik atau sejenisnya.

Memang nasibnya cukup pedih karena pada pasca G-30-S/PKI beliau dipenjara antara 1965/1966 hingga 24 April 1969, aku dengar katanya di Kantor Corps Polisi Militer (Sub Den POM), Purwakarta, dimana ayah mertuaku pernah berdinas di sana sampai pensiun, yang kebetulan kantornya berada di belakang rumahku sekarang. Sedangkan suaminya, pak Sidik Kertapati saat peristiwa G-30-S sedang berada di Republik Rakyat China (RRC), terpakasa menjadi eksil di RRC dan kemudian di negeri Belanda. Sementara beliau harus membiayai keenam putera-puterinya sebagai single fighter yang memang sangat berat, namun mau tidak mau harus dijalaninya karena nasib membawanya kepada takdir yang sulit.

Antara ibuku dan bu Rukiah ada banyak sekali persamaan, dari kemiripan raut wajah pada masa muda, pendidikan sekolah, profesi sebagai guru, maupun keterampilan kewanitaan, seperti menulis, memasak, membuat kue, jahit menjahit, menyulam, merenda, merajut dan lain sebagainya.

Berselang beberapa tahun kemudian aku berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung hingga aku pergi bekerja cukup jauh, yaitu ke Timor Timur. Sayangnya ketika aku baru pulang dari Timor Timur setelah melaksanakan tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak 1988 – 1995, aku baru mengetahui kabar meninggalnya bu Rukiah pada tanggal 6 Juni 1996. Padahal aku ingin sekali berbincang dengannya di usianya yang semakin tua. Ya, sayang sekali, sudah kehendak Allah demikian.

Setelah aku membaca buku “Leksikon Kesusasteraan Indonesia Modern” karya Pamusuk Eneste, Penerbit PT. Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, tahun 1982, 1983 dan 1990 juga “Buku Pintar Sastra Indonesia” karya penulis yang sama, Penerbit Kompas, Jakarta, tahun 2001 serta ketika aku mulai meneliti Sejarah Purwakarta sejak 01 September 2001, maka aku juga banyak membaca “Ensiklopedi Sunda – Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi”, karya Ajip Rosidi dan kawan-kawan, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 2000.

Pada buku-buku tersebut aku jumpai lagi nama S. Rukiah dan kekagumanku tidak pernah sirna. Ya, maklumlah kami sama-sama dilahirkan di kota yang sama, Purwakarta, jadi pantas jika aku mengaguminya. Tetapi sayangnya lagi-lagi tulisan dalam buku-buku itu cukup singkat sehingga tidak cukup informatif juga bagiku.

Dalam pekerjaanku sebagai seorang Peneliti, aku sering dimintai oleh pihak Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Purwakarta serta Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta untuk menulis tentang sejarah dan peranan kaum wanita atau kaum perempuan di Kabupaten Purwakarta, maka salah satu yang aku tulis adalah tentang Siti Rukiah Kertapati.

Bu Rukiah yang lahir di Purwakarta pada tahun 1927, pernah bersekolah di Sekolah Rendah (SR) Gadis dan Sekolah Guru (Cursus Volks-Onderwijszer, CVO) yang lamanya 2 (dua) tahun, kemudian bekerja selama 2 (dua) tahun.

Pada tahun 1945 beliau mengajar di Sekolah Gadis Purwakarta (sekolah ini dahulu biasa disebut Sekolah Rendah (SR) Gadis, yang beberapa tahun kemudian menjadi Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri (SKKP) 4 tahun, Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) 3 tahun, Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) 3 tahun dan sesudah itu menjadi SMP Negeri 4 Purwakarta. (Di sekolah-sekolah ini pula budhe-budheku, bulikku, kakak sepupuku, tetanggaku dan kakak iparku pernah bersekolah).

Sejak tahun 1946 beliau menulis di majalah Gelombang Zaman, Godam Djelata,  Mimbar Indonesia dan Indonesia. Beliau menemukan jodohnya yang bernama Sidik Kertapati.

Pada tahun 1948 beliau bekerja di majalah Pujangga Baru, Bintang Timur dan Lentera.

Pada tahun 1949 beliau mendirikan majalah Irama dan bekerja di sana.

Pada kurun 1945-1949 masing-masing, baik bu Rukiah, maupun pak Sidik mempunyai andil sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Kabupaten Karawang yang saat itu beribukota di Purwakarta. Dan nama pak Sidik Kertapati itu pernah juga aku jumpai dalam buku “Sejarah Purwakarta” karya Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera. Pak Sidik ini punya andil dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan rekan-rekan seperjuangannya, yaitu dengan jalan menculik Soekarno dan Mohammad Hatta untuk dibawa ke Rengasdengklok, Karawang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada akhirnya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sementara bu Rukiah sepengetahuanku dengan latar belakang pendidikannya kemudian beliau bergabung dengan para sukarelawan-sukarelawati sebagai Anggota Palang Merah Indonesia.

Pada tahun 1950 beliau pindah dari Purwakarta ke Jakarta. Pada tahun 1952 beliau berpindah dari Jakarta ke Bandung dan bekerja di majalah anak-anak Cedrawasih. Pada tahun 1960 beliau menulis di majalah Pustaka Jaya, membantu Balai Pustaka dan majalah anak Kutilang.

Setelah Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lekra) didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950, beberapa waktu kemudian beliau masuk menjadi Anggota Lekra, bahkan karena peranannya beliau sempat menjadi Anggota Pimpinan Pusat Lekra 1959—1965. Dan karena keterlibatannya di Lekra yang menjadi underbow Partai Komunis Indonesia, maka hidupnya berubah secara drastis, dramatis dan sekaligus tragis. Secara batin beliau sangat tersiksa karena harus berpisah atau lebih tepatnya dipisahkan dengan sang suami, pak Sidik, sementara juga harus mengasuh, mendidik dan membiayai putera-puterinya.

salah seorang kerabat (paman) dari bu Siti Rukiah dan pak Sidik Kertapati adalah Rd. Moehammad Asik yang bersama arsitek dan aanemer Lie Djien Tiong dibantu oleh Ahmad Soeta sebagai para pelaksana lapangan turut membangun Rumah Sakit Bayu Asih Purwakarta yang kemudian diresmikan oleh Gouverneur Generaal Jhr. Mr. Andries Cornelis Dirk van de Graeff pada tanggal 18 Oktober 1930. Demikian pula yang pernah aku dengar dari ibuku bu Rukiah pernah bekerja di sebuah klinik kecil, yaitu Klinik Bidan Tasriah (Bunda).

Sebagai generasi penerus bangsa yang suka terhadap sastra dan juga sejarah, aku hanya menginginkan agar nama bu Siti Rukiah Kertapati dipulihkan kembali karena sastrawan-sastrawati tentu saja tidak bekerja untuk politik, jika pun ada perbedaan pemikiran atau sudut pandang, maka siapapun tidak bisa memenjarakan pikiran dan akal sehat, apalagi dengan mengekang seseorang untuk menulis atau menyalurkan segala pikirannya. Pikiran kekanan-kananan atau kekiri-kirian itu hanya pilihan jiwa pada politik, tetapi tidak pada politik itu sendiri. Dan setiap sastrawan-sastrawati bebas menulis tanpa batas, sejauh akal dan pikirannya.

Apalagi seorang Rukiah dan setumpuk karyanya, sesunguhnya adalah sebuah khazanah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Dengan karyanya dia bekerja, dengan karyanya dia salurkan pikirannya. Dan sebagai orang Purwakarta, sebagai orang Jawa Barat dan sebagai orang Indonesia aku pantas menaruh rasa hormat kepadanya. Sebab di jaman-jaman itu, sebagian besar penulis, bahkan seluruhnya adalah sastrawan (kaum pria), bukan sastrawati (kaum wanita). 

Orang hanya tahu Raden Ayu Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904), namun 48 (empat puluh delapan) tahun setelah ibu Kartini lahir, lahirlah bayi Rukiah dengan segala nasib dan takdirnya. Sama halnya dengan Raden Ayu Lasminingrat (1843 -10 April 1948) yang hanya sedikit orang saja yang mengenalnya dan buah karyanya, tak seperti  Raden Dewi Sartika (04 Desember 1884 – 11 September 1947) yang justru banyak orang yang mengenalnya.  Biarkan orang besar dan berjasa tetap dikenang jaman, bukan dilupakan jaman.

Karya-karya Ibu Siti Rukiah Kertapatai, antara lain:

Novel:

Kejatuhan dan Hati (1950)

Kumpulan cerpen dan puisi:

Tandus (1952) memenangkan Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) 1952.

Cerita anak:

  • Si Rawun dan Kawan-Kawannya (1955)
  • Teuku Hasan Johan Pahlawan (1957)
  • Taman Sanjak Si Kecil (1959)
  • Pak Supi Kakek Pengungsi (1961)
  • Jaka Tingkir (1962)
  • Dongeng-Dongeng Kutilang (1962)
  • Kisah Perjalanan Si Apin (1962) 

Dan masih banyak tulisan lainnya, bahkan yang masih dalam bentuk naskah draft yang belum sempat dipublikasikan.

Purwakarta, 04 Oktober 2002

Selamat Hari Ibu dan terimakasih kepada para ibu bangsa:

Laksamana Keumalahayati
1550
1604Nyi Ageng Serang
1752
1828Martha Christina Tiahahu
1800
1818Raden Ayu Lasminingrat
1843
1948Cut Nyak Dhien
1850
1908Cut Nyak Meutia
1870
1910Maria Walanda Maramis
1872
1924Siti Walidah
1872
1946Raden Ayu Kartini
1879
1904Dewi Sartika
1884
1947Situ Ruhana Kuddus
1884
1972Fatmawati
1923
1980Siti Hartinah
1923
1996

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun