Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masa Jabatan Pengurus RT dan RW Menurut Peraturan Perundang-Undangan

26 November 2021   09:15 Diperbarui: 26 November 2021   21:42 27553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.simpeldesa.com/
https://www.simpeldesa.com/

Kepengurusan Jabatan Ketua RT dan Ketua RW sesungguhnya bukan hal baru atau barang baru. Sejarah keberadaan kelembagaan RT/RW itu bukan karena warisan penjajah Kolonial Hindia Belanda, melainkan warisan penjajah Jepang. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 1944 Masehi (2604 Showa).

Sumber: Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia
Sumber: Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia

Sumber: Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia
Sumber: Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia

Sebelum saya memaparkan lebih lanjut Kepengurusan Jabatan Ketua RT dan Ketua RW, ada baiknya, saya ambilkan saja studi kasus di kampung halaman saya, yaitu di Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Hal ini saya ambil sebagai contoh karena sesuai dengan apa yang saya lihat, saya dengar dan saya alami. Studi kasus ini perlu saya sampaikan untuk menjadi bahan perenungan dan pemikiran kita semua. Studi kasus itu saya ambil 3 (tiga) kasus.

  1. Kasus Pertama, di Lingkungan RW saya sendiri di Kelurahan Nagritengah, ada (dan pernah ada) seorang Ketua RT yang telah dan sedang menjabat untuk jangka waktu yang cukup lama, entah berapa tahun. Demikian juga dengan Ketua RW yang telah menjabat selama 14 tahun, bahkan Ketua RW yang sebelumnya menjabat untuk jangka waktu yang lebih lama lagi, bahkan hingga usianya sudah tua.
  2. Kasus Kedua, di Lingkungan RW dimana keluarga pihak isteri saya sendiri tinggal di Kelurahan Sindangkasih, ada seorang Ketua RT  yang pernah  menjabat sampai Beliau meninggal dunia beberapa minggu yang lalu. 
  3. Kasus Ketiga, di Lingkungan RW paman saya sendiri tinggal di Kelurahan Munjuljaya, Beliau pernah menjabat sebagai Ketua RT dalam jangka waktu yang sangat lama, entah berapa tahun, demikian pula ketika Beliau menjabat sebagai Ketua RW dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan sampai Beliau meningal dunia lebih dari setahun yang lalu.

Mungkin terlintas dalam pikiran kita masing-masing, mengapa hal demikian sampai terjadi? Ada beberapa faktor yang membuat hal itu sampai terjadi dan itu  sepertinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Lalu, pertanyaannya, apakah faktor-faktor penyebabnya? Saya sedkit banyak menuliskan ini berdasarkan pengalaman saya sendiri yang pernah bekerja, tinggal dan menatap di beberapa wilayah tanah air. Faktor-faktor penyebabya adalah kurang lebih sebagai berikut:

  1. Faktor kebiasaan atau kealpaan, karena biasanya seorang Ketua RT/Ketua RW yang sudah menjabat, lupa bahwa dia juga harus mau berhenti apabila akhir masa jabatannya tiba. Ibarat kata. "Kalau sudah duduk, lupa berdiri," kata seorang pelawak senior dalam sebuah tayangan iklan furniture beberapa puluh tahun yang lalu pada sebuah stasiun televisi pemerintah. Contoh kasus sebagaimana Kasus Pertama di atas.
  2. Faktor kekeluargaan atau keturunan, misalnya: suami yang menjabat sebagai Ketua RT/Ketua RW, ketika merasa sudah bosan, lelah, kesibukan pekerjaan dan lain-lain, maka ada yang secara otomatis diestafetkan pada isterinya. Jika sang ayah dan sang ibu sama-sama mengalami rasa bosan, lelah, kesibukan pelerjaan dan lain-lain, maka giliran sang anak atau menantu yang menggantikannya. Contoh kasus sebagaimana Kasus Pertama di atas.
  3. Faktor keengganan dan kemalasan di antara sesama warga masyrakat untuk menjabat sebagai Ketua RT/Ketua RW karena kesibukan pekerjaan masing-masing dan karena merasa pekerjaan sebagai Ketua RT/Ketua RW adalah pekerjaan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka tidak mungkin mengharapkan mendapatkan gaji, honorarium atau sumber pendapat yang lain. Meskipun mereka tahu ada honorarium bagi Ketua RT/Ketua RW yang besarnya pada kisaran Rp 600.000,00 (enam ratus ribu Rupiah) hingga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu Rupiah) atau tergantung kepada kemampuan kabupaten/kota masing-masing dalam hal memberikan honorarium untuk mereka. Namun rata-rata mengatakan pekerjaan sebagai Ketua RT/Ketua RW itu sangat berat di dunia dan berat di akhirat, sementara honorarium dirasa jauh panggang dari api, tidak sesuai dengan standar upah minimum (UMP, UMR atau UMK). Contoh kasus sebagaimana Kasus Kedua dan Kasus Ketiga di atas.
  4. Faktor ketidaktahuan atau ketidaktaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Banyak Ketua RT/Ketua RW yang sadar, bahwa masa akhir jabatan dirinya sudah hampir habis, sudah habis dan bahkan terlewatkan begitu saja. Sementara banyak oknum Ketua RT/Ketua RW yang melakukan pembiaraan, karena dianggapnya tidak ada satu warga masyarakatpun yang peduli atau minimal tahu sedikit banyak tentang hukum dan peraturan perundang-undangan, khususnya menyangkut Kepengurusan Jabatan Ketua RT/Ketua RW. Lebih parahnya lagi hal ini sering dimanfaatkan oleh oknum Ketua RT/Ketua RW untuk mengundang warga masyarakat untuk rapat warga dan sementara dia sendiri memanfaatkan seseorang atau beberapa orang yang sudah jelas mendukung dirinya. Sehingga ketika rapat warga, mereka akan menggiring opini publik untuk secara aklamasi memilih Ketua RT/Ketua RW petahana (incumbent). Dan itu bisa dilakukan berulangkali. Yang paling mendasar adalah biasanya karena tidak adanya pembagian tugas, kewajiban, kewenangan dan seterusnya dari seorang Ketua/RT/Ketua RW kepada warga masyarakat yang lain, misalnya untuk jabatan sebagai Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, maupun Seksi-seksi.

Padahal perlu diketahui, bahwa Jabatan Ketua RT/Ketua RW itu gampang-gampang susah dan susah-susah gampang, tergantung niat, minat, bakat, kemampuan manajerial, tekad dan semangat (yang bulat). Sebagai contoh, misalnya Administrasi RW yang minimal harus ada dan sengaja diadakan di setiap RW, antara lain:

  1. Buku Data Pengurus Rukun Tetangga
  2. Buku Daftar Keputusan
  3. Buku Register Surat Masuk
  4. Buku Register Surat Keluar
  5. Buku Ekspedisi Surat
  6. Buku Notulen Rapat
  7. Buku Presensi Rapat
  8. Buku Tamu Umum
  9. Buku Tamu Khusus
  10. Buku Surat Pengantar
  11. Buku Kas
  12. Buku Data Induk Penduduk Rukun Warga
  13. Buku Data Mutasi Penduduk
  14. Buku Data Rekapitulasi Penduduk Akhir Bulan
  15. Buku Data Penduduk Tinggal Sementara/ Musiman
  16. Buku Data Register Kartu Tanda Penduduk
  17. Buku Rencana Pembangunan
  18. Buku Kegiatan Pembangunan
  19. Buku Inventaris Proyek Pembangunan
  20. Buku Catatan Kejadian
  21. Buku Daftar Hadir Ronda Malam
  22. Buku Tamu Menginap

Jadi sekarang pertanyaannya adalah sesungguhnya berapa lama masa jabatan seorang Ketua RT/Ketua RW? Saya ambil studi kasus di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat:

  1. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 12 Tahun 2008 tentang Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan   Pemerintah Kabupaten Purwakarta dan Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Penataan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) pada Kelurahan dan Desa di Kabupaten Purwakarta: masa jabatan selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat  paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
  2. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasayarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa dan Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 206 Tahun 2021 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan di Kabupaten Purwakarta: masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan dan dapat menjabat  paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Kasus ini, misalnya, terjadi dengan salah seorang Ketua RW yang terpilih melalui Pemilihan Calon Ketua RW pada tahun 2007 yang lalu hingga tahun 2021. Jika menggunakan peraturan perundang-udangan yang lama, berarti masa jabatannya selama 3 tahun. Jika dihitung lamanya menjabat berarti (2021-2007  = 14 tahun; 14 tahun : 3 tahun = 4 periode + 2 tahun. Jika pun dipaksakan menggunakan peraturan perundang-udangan yang baru, berarti masa jabatannya selama 5 tahun. Jika dihitung lamanya  menjabat berarti (2021 - 2007 = 14 tahun, 14 tahun : 5 tahun = 2 periode + 4 tahun. Jadi jelas jika dia dan orang-orang pendukungnya masih punya keinginan untuk menjabat ini harus batal demi hukum dan artinya peluang bagi yang bersangkutan otomatis pupus oleh aturan.

Jangan sampai terjadi perdebatan keras antara pihak yang bersangkutan dengan warga masyarakat yang lain dan/atau dengan pihak Kantor Kelurahan dikarenakan tetap ingin memaksakan kehendak, padahal secara de jure sudah sangat jelas dan secara de facto, sebagian besar warga juga ingin adanya refreshing dan regenerasi, agar ada estafet kepemimpinan dari yang lebh tua kepada yang lebih muda dan agar sama-sama mengalami dan merasakan tanggungawab.

Sayangnya yang terjadi di Kabupaten Purwakarta, meskipun Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasayarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa sudah lebih dari 3 (tiga) tahun, sayangnya sampai dengan akhir masa jabatan Ketua RW di kabupaten saya, belum ada Peraturan Daerah, bahkan Peraturan Bupati. Padahal rapat warga dilaksanakan pada tanggal 08 Oktober 2021, sementara masa akhir jabatan Ketua RW jatuh pada tanggal 10 Oktober 2021, sedangkan Peraturan Bupati baru diterbitkan pada tanggal 11 Oktober 2021. Ini tentu saja dilematis, karena tidak mungkin ada status quo, baik bagi Ketua RW yang bekerja sendirian, maupun bekerja secara kolektif kolegial, bersama pengurus RW yang lain.

Beruntung jika pada akhirnya semua pihak, warga masyarakat bisa dan mau mengerti, maka segala sesuatunya bisa selesai diatasi. Nah, yang menjadi persoalan baru adalah bagaimana acara Pemilihan Calon Ketua RW, baik tata cara, tahapan, program, kegiatan, jadwal dan anggaran. Untuk itu ada baiknya seseorang diminta menjadi Penasehat dan kemudian atas nasehatnya diminta agar setiap Ketua RT dan para Ketua Lembaga Kemasyarakatan, misalnya;

  1. Seksi Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial (Pemkessos), 
  2. Seksi Keamanan dan Lingkungan Hidup (Kam-LH), 
  3. Seksi Pemberdayaan Perempuan, Tata Laksana Rumah Tangga, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga & Pos Pelayanan Terpadu (PPTLRT, PKK & Posyandu) dan
  4. Seksi Pemuda, Olah Raga dan Seni Budaya (Mudorasenibud).

Mereka semua diminta untuk menjadi Tim Formatur dan kemudian memilih 7 (tujuh) orang diantaranya menjadi Ketua dan Anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) dan 2 (dua) orang menjadi Anggota Perlindungan Masyarakat sekaligus Pengamanan TPS (Pam TPS) serta 2 (dua) orang atau lebih sebagai Tim Pencari dan Pengumpul Dana, untuk menjalankan tanggungjawab masing-masing. 

Dengan catatan semua warga yang berdomisili pada RT/RW setempat, telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah pernah menikah dibuktikan dengan kepemilihan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau Kartu Keluarga (KK), memiliki hak memlih dan memiliki hak untuk diudang pada pemilihan. Maka semua mekanisme ditempuh dengan pekerjaan berat dan rapat marathon setiap malam hingga dini hari.

Sesungguhnya ada 4 (empat) cara yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu: 

  1. Musyawarah Mufakat. Dalam Pemilihan Calon Ketua RW biasanya warga masyarakat menggunakan cara musyawarah mufakat ini.
  2. Aklamasi. Dalam Pemilihan Calon Ketua RW aklamasi juga  dikenal dengan sebutan "pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya." (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan dikenal juga dengan sebutan "pertemuan maupun pemilihan umum dan/atau mengakui hasil pemilihan umum dalam bentuk penegasan yang dengannya seseorang dengan tepuk tangan, sorak sorai atapun pekikan penghargaan lain dinyatakan terpilih." (Wikipedia).
  3. Voting. Dalam Pemilihan Calon Ketua RW voting juga dikenal dengan sebutan pemungutan suara, baik bagi setiap mereka yang mempunyi hak memilih, maupun hanya kepala keluarga (KK) dari setiap RT yang mempunyai hak memilih.
  4. Perwakilan. Dalam Pemilihan Calon Ketua RW biasanya dilakukan perwakilan warga masyarakat dari setiap RT, misalnya sebanyak 5 (lima) orang dari jumlah RT yang ada di sebuah RW, kemudian dari perwakilan setiap RT dipersilakan memilih 1 (satu) sampai 5 (lima) orang yang akan mengikuti pemilihan umum secara terbatas. Perolehan suara mereka akan diperingkat berdasarkan jumlah suara yang terbanyak. Tentu saja yang terbanyaklah yang menang.

Pemilihan dengan cara-cara di atas, terutama pemungutan suara akan berdampak sangat positif untuk bahan pembelajaran dan pengalaman bagi generasi muda. Karena barangkali, baik Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota) Tahun 2018, maupun Pemilihan Umum Anggota Legislatif (DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, mereka belum memiliki hak pilih, sedangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Secara Serentak Nasional Tahun 2024, masih 3 (tiga) tahun lagi.

Demikian sedikit banyak pemaparan saya sekedar untuk bahan pemilkiran kita bersama. Terimakasih banyak.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun