Sejujurnya, aku rindu pada tanah leluhurku,
di wilayah Bagelen nun jauh di sana.
Rindu ingin ziarah ke makam para leluhurku,
para punden dan sanak saudara.
Di atas dahan pepohonan randu biasa bernyanyi riang ,
ketilang, kedasih dan kepodang.
Tak jauh dari pematang sawah di tepi ladang dan di tepi  hutan,
kerindangan pepohonan hutan di tepi Bogowonto yang mengalir Panjang.
Di sini leluhurku Kanjeng Raden Tumenggung Nilosrobo III dan
Kanjeng Tumenggung Nilosrobo IV pernah berjihad melawan penjajah
bersama Sang Pangeran Diponegoro, Pangeran Anom Diponegoro dan Tumenggung Danukusumo,
yang bertanggungjawab atas perlawanan rakyat di Bagelen.
Juga bersama Pangeran Adiwinoto dan Pangeran Mangundipuro,
yang bertanggungjawab memimpin perlawanan di daerah Kedu.
Berkelebat gagah di atas punggung kuda sang turangga,
dengan tali kekang berada di ikat pinggangnya,
berjubah dan bersorban gagah perkasa,
bersenjatakan sebilah keris di depan dadanya,
bersenjatakan sebilah pedang di tangan kanannya,
bersenjatakan sebatang tombak ditangan kirinya, Â
berderap maju memimpin tiga ribu orang tentara dan
rakyat serta alim ulama ikut serta berjuang.
Meski Sang Pangeran tertangkap kemudian dan
satu demi satu para panglima berguguran,
tertangkap dan ditawan atau dibuang,
leluhurku tetap berjuang sekuat daya ,
hingga maut harus memisahkan.
Di Palagan Bagelen ini pernah terjadi pertempuran,
sangat dahsyat, bertarung hidup atau mati,
darah deras menetes tumpah mengalir,
jiwa melayang menghadap Sang Illahi,
hidup terhormat atau mati syahid penuh arti.
Dan Tanah Bagelen ini menjadi saksi bisu dan saksi mati,
dan dari Tanah Bagelen ini selalu lahir para pahlawan bangsa,
Urip Sumohardjo, Wage Rudolf Supratman, Kasman Singodimedjo,
Ahmad Yani, Sarwo Edhie Wibowo dan masih banyak lagi yang lain.
(Dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia Ke-76)
Purwakarta, 14 Agustus 2021.