Semua itu kompleks. Bayangkan ketegangan petugas KPPS di TPS yang barangkali dimarahi, dibentak-bentak dan dicaci-maki oleh para saksi partai politik atau para simpatisan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Maka berguguranlah para penyelenggara Pemilu, seperti KPPS. Yang meninggal jumlahnya fantastis 456 orang, belum lagi yang sakit dan dirawat di rumah sakit 4.310 orang. Sebuah Pemilu yang berbiaya mahal sekaligus harus dibayar dengan nyawa para penyelenggara seperti KPPS. Belum lagi meninggalnya Petugas Pengawa Pemilu sebanyak 92 orang dan Anggota Kepolisian Republik Indonesia sebanyak 25 orang.
Anda bayangkan saja, bagaimana bisa pekerjaan penyelenggara Pemilu seperti KPPS diberikan honorarium yang begitu kecil, bagi Ketua diberikan honorarium sebesar Rp 550.000 dan bagi Anggota diberikan honorarium sebesar Rp 500 ribu. Jumlah ini sedikit lebih jika dibandingkan Pemilu sebelumnya.Â
Akan tetapi pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014 mereka bisa menerima honorarium yang hampir sama akan tetapi karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presidennya dipisah, maka otomatis mereka menerima 2 kali honorarium. Sekarang Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatifnya disatukan, kan tetapi sangat disayangkan honorariumnya hanya satu saja.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Korban sudah berjatuhan. Aku dengar katanya Pemerintah akan memberikan santunan bagi keluarga korban yang meninggal dan yang cacat permanen. Entah berapa besarannya. Tetapi bagaimana dengan penyelenggara Pemilu seperti KPPS yang dirawat di rumah sakit. Siapa gerangan yang akan membayar biaya perawatan dan pengobatannya?
Untuk ke depan sepertinya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 harus dijudicial review, bahkan diubah saja karena memang produk hukum itu hanya untuk kepentingan sesaat yang dianggap menguntungkan partai-partai politik tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H