Sebagai warga negara Indonesia aku selalu memperhatikan setiap Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan. Pemilu masa Orde Baru 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik, usiaku baru 4 tahun 9 bulan dan belum dapat mengingat dengan baik. L
Pemilu 1977 (sampai kelak Pemilu 1997) yang diikuti oleh 3 partai politik, usiaku baru 10 tahu 7 bulan dan sudah dapat mengingat dengan cukup baik, Pemilu 1982 usiaku baru 15 tahun 7 bulan dan sudah dapat mengingatnya dengan lebih baik.
Barulah pada Pemilu 1987 usiaku sudah 20 tahun 6 bulan dan sudah dapat mengingatnya dengan lebih baik lagi. Saat itulah aku baru menjadi pemilih pemula. Aku menggunakan hak pilihku dengan baik. Pada Pemilu 1992 aku sudah berada di Provinsi Timor Timur dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada sebuah departemen Pemerintah sejak tahun 1988. Pemilu di sana aku saksikan dengan mata kepala sendiri.
Setelah aku mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka Pemilu selanjutnya adalah Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir masa Orde Baru dengan diwarnai krisis moneter kemudian krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga kejatuhan rezim Orde Baru dan kemudian digantikan oleh rezim Orde Reformasi.
Adapun Pemilu pada masa Orde Reformasi, yaitu Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik yang dianggap sebagai Pemilu paling demokratis kedua setelah Pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai politik. Pemilu berikutnya adalah Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik. Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pemilu 2014 diikuti oleh 14 partai politik. Kemudian Pemilu 2019 diikuti oleh 14 partai politik.
Namun selain Pemilu untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota, maka Pemilu juga ada yang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pada Pemilu 2004, 2009, 2014 dan Pemilu 2019.Â
Demikian pula Pemilu ada yang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota) terhitung sejak tahun 2005 - 2008, 2010 - 2013. Kemudian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2015, 2017 dan 2018.
Pada Pemilu 2019 kali ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Sebelumnya Pemilu Legislatif selalu dipisahkan dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden setidaknya bertaut 3 bulan karena ada persyaratan partai politik peserta Pemilu yang dapat memenuhi ambang batas Parliamentary Threshold.Â
Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.Â
Berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsiatau DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini diterapkan pada Pemilu 2009.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Ketentuan ini diterapkan sejak Pemilu 2014.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR.Â
Pada Pemilu 2019 kali ini berbeda jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Mengapa? Pada Pemilu 2019 Pemilu Presiden digabungkan dengan Pemilu Legislatif berbeda jika dibandingkan dengan Pemilu 2004, 2009 dan 2014.
Pada akhirnya dunia pun menilai, bahwa Pemilu di Indonesia adalah Pemilu terbesar dan terumit yang pernah ada di dunia. Bayangkan saja berapa jumlah pemilih yang memiliki hak pilih, berapa jumlah Penyelenggara Pemilu ( KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten / Kota, PPK, PPS dan KPPS juga Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten / Kota, Panwascam, PPL / PPD dan PTPS). Berapa pula banyaknya logistik Pemilu dari mulai surat suara, kotak suara, bilik suara dan lain-lain. Berapa rupiah pula anggaran yang perlu disediakan.
Luar biasa. Tetapi Pemilu yang terbesar ini pula turut digaduhkan oleh kegiatan survey yang satu sama lain terkadang berbeda. Maka kita pun mengenal istilah Exit Poll, Quick Count dan Real Count.
Pemilu terbesar namun miris dengan berjatuhannya korban-korban, baik Ketua maupun Anggota KPPS karena faktor sakit, kelelahan dan stress. Mengapa hal ini terjadi, ini yang perlu kita evaluasi bersama. Apakah karena syarat-syarat menjadi KPPS yang salah? Syaratnya dibatasi tidak boleh 2 periode Pemilu, padahal meskipun sumberdaya manusia banyak dan berlimpah tetapi belum tentu ada yang mau dan mampu.Â
Meskipun ambang batas usia minimal pun sudah diturunkan menjadi 17 tahun, namun tetap saja tidak cukup mendukung, sebab usia sekian itu pada masa-masa Pemilu adalah masa-masa mereka mengikuti Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Sekolah sehingga mereka tentu banyak yang keberatan.
Ataukah yang salah sistem seleksi, terutama menyangkut kesehatan jasmani dan rohani. Hal ini tentu saja jauh berbeda jika dibandingkan dengan seleksi bagi PPK dan PPS dan sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten / Kota
Jika persyaratan dan pemeriksaan kesehatan sudah mengindikasikan, bahwa calon penyelenggara Pemilu tidak sehat karena mengidap suatu penyakit tertentu, seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, jantung, diabetes mellitus dan lain-lain, maka semestinya ditolak untuk menjadi penyelenggara Pemilu.
Bayangkan apa yang terjadi manakala pekerjaan di TPS itu dimulai dan dilaksanakan. Kita dihadapkan pada jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maksimal 300 orang per TPS. Belum lagi jika ada yang masuk dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Anggap saja masing-masing mendapatkan 5 surat suara artinya akan ada setidaknya 1500 surat suara yang akan dilihat pilihannya, sah atau tidak sah, kemudian ditulis pada kertas Form Model C1 Plano lalu dipindahtuliskan pada Form Model C1 Berita Acara serta C1 berhologram dan Form Model Sertifikat Berita Acara. Belum lagi formulir-formulir lainnya, termasuk yang nanti akan diberikan pada para saksi partai politik dan PTPS.
Rumit dan membuat stress bagi KPPS. Bayangkan pemungutan suara saja mulai pukul 07.00 sampai dengan 13.00 WIB. Kemudian penghitungan suara mulai pukul 13.00 sampai dengan selesai. Tak tentu dan tak sama waktu selesainya karena tergantung jumlah pemilih di TPS, ketersediaan surat suara, jumlah saksi di TPS, kesalahan membaca, kesalahan menulis dan kesalahan menghitung.Â
Semua itu kompleks. Bayangkan ketegangan petugas KPPS di TPS yang barangkali dimarahi, dibentak-bentak dan dicaci-maki oleh para saksi partai politik atau para simpatisan salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Maka berguguranlah para penyelenggara Pemilu, seperti KPPS. Yang meninggal jumlahnya fantastis 456 orang, belum lagi yang sakit dan dirawat di rumah sakit 4.310 orang. Sebuah Pemilu yang berbiaya mahal sekaligus harus dibayar dengan nyawa para penyelenggara seperti KPPS. Belum lagi meninggalnya Petugas Pengawa Pemilu sebanyak 92 orang dan Anggota Kepolisian Republik Indonesia sebanyak 25 orang.
Anda bayangkan saja, bagaimana bisa pekerjaan penyelenggara Pemilu seperti KPPS diberikan honorarium yang begitu kecil, bagi Ketua diberikan honorarium sebesar Rp 550.000 dan bagi Anggota diberikan honorarium sebesar Rp 500 ribu. Jumlah ini sedikit lebih jika dibandingkan Pemilu sebelumnya.Â
Akan tetapi pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014 mereka bisa menerima honorarium yang hampir sama akan tetapi karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presidennya dipisah, maka otomatis mereka menerima 2 kali honorarium. Sekarang Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatifnya disatukan, kan tetapi sangat disayangkan honorariumnya hanya satu saja.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Korban sudah berjatuhan. Aku dengar katanya Pemerintah akan memberikan santunan bagi keluarga korban yang meninggal dan yang cacat permanen. Entah berapa besarannya. Tetapi bagaimana dengan penyelenggara Pemilu seperti KPPS yang dirawat di rumah sakit. Siapa gerangan yang akan membayar biaya perawatan dan pengobatannya?
Untuk ke depan sepertinya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 harus dijudicial review, bahkan diubah saja karena memang produk hukum itu hanya untuk kepentingan sesaat yang dianggap menguntungkan partai-partai politik tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H