Artikel  ini terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis sebagai aktifis yg malang melintang mendampingi kelompok-kelompok marginal baik petani maupun nelayan tradisional di daerah Lampung, Deli Serdang Sumatera Utara dan di Karang Ampel Indramayu Jawa Barat dalam kurun 1992 sampai 1999. Saat itu penulis bergabung dengan Yayasan Sekretariat Bina Desa yang berkantor dijalan Saleh Abud 89 Jakarta Timur. Sekretariat  Bina Desa merupakan salah satu NGO yg besar di Indonesia kala itu.Â
Dalam kaitan ini, Â Penulis akan menurunkannya dalam beberapa bagian tulisan, agar menjadi proses pembelajaran bagi yg meminati. Dengan demikian setidaknya kewajiban penulis untuk mengajarkan ilmu telah tertunaikan.
Bagaimana menjadi seorang aktivis?Â
Tidak gampang menjadi seorang aktivis yg sejati. Sebab ia harus rela menjadi "lilin" yg terbakar agar disekililingnya tercerahkan. Ia harus rela "bunuh diri kelas" sebab bersamanya adalah rakyat kecil yg tak pernah mendapat sentuhan akses apapun. Bahkan ia harus rela "mati" (=dalam arti yg sesungguhnya seperti halnya Cak Munir dan Wiji Thukul, maupun dalam arti terpenjara kebebasannya) demi rakyat yang diperjuangkan.Â
Seorang aktivis harus memiliki sifat peduli yg tinggi (comitment) terhadap ketidakadilan, kesewenang2an dan pelanggaran terhadap hak-hak azazi manusia. Seorang aktivis juga harus mau banyak belajar dari manapun datangnya pengetahuan itu. Tujuannya adalah agar seorang aktifis memiliki integritas yg tinggi dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai keragaman, dan nilai-nilai yg menjunjung tinggi hak azazi manusia.Â
Menjadi aktivis itu adalah pilihan untuk tetap memelihara komitmen diri menjaga nilai luhur anjuran Nabi "Sebaik-baik manusia itu adalah orang yg bisa memberi manfaat bagi orang lain".Â
Aktivis sejati itu laksana mengemban tugas ke-Nabi-an menebar dan mengajak kebaikan kepada semua manusia dan membantu memberdayakan orang-orang yg tidak berdaya. Sebab hal  itu merupakan hakekat dari eksistenasi manusia yg telah diciptakan Tuhan dimuka bumi ini, yakni menjadi khalifahNya.Â
Menjadi aktivis adalah panggilan jiwa. Aktivis sejati tak akan pernah lekang dimakan waktu dan usia. Kapanpun, dimanapun naluri keterpihakannya jelas, adalah untuk kaum marginal.Â
Menjadi aktivis gerakan sosial bukan soal prestasi, bukan pula batu loncatan untuk meraih jabatan politik tertentu. Apalagi ingin mendapatkan "uang" lebih dari jiwa keaktivisannya. Meski saat ini nilai-nilai diatas sudah banyak yg luntur, yg dimiliki oleh para aktivis seangkatan penulis. Saat inipun banyak aktivis senior yg tidak kuat menahan "cobaan kehidupan" lalu memilih mencari jalan lain. Apakah salah? Tentu tidak. Itu adalah manusiawi.
 Sekali lagi menjadi aktivis sejati adalah pilihan sebagaimana penulis telah sebutkan diatas. Banyak orang yg terdidik diantara ribuan manusia lain, tetapi sangat sedkit yg terpanggil dan menjawai sebagai aktivis sejati dalam hidupnya. Sebagaimana disisi lain,  begitu banyak orang alim diantara jutaan manusia dibumi, namun Allah hanya memilih beberapa gelintir orang yg diutus menjadi utusan dan nabiNya. Penulis tidak bermaksud menyamakan status aktivis sejati sama seperti nabi. Tidak. Tetapi pekerjaan mulia mengajak kebaikan itu adalah perintah Nabi.
Dimulai dari menjadi PendampingÂ
Menjadi pendamping masyarakat biasanya fase pertama seseorang mulai menjadi aktivis. Seseorang yg telah tercerahkan baik melalui pelatihan, diskusi, atau mantan aktivis ekstra kampus biasanya ketika melihat rakyat kecil tertindas, baik terhegemoni oleh sistem ataupun terhimpit oleh kemiskinan kultural, hatinya akan terpanggil. Ikut merasakan (empati) melihat orang tertindas.Â
Seorang pendamping harus memposisikan diri sebagai "teman ngobrol" orang yg tertindas itu dari hati ke hati tanpa ada kesan menggurui, apalagi berusaha menolong mencarikan jalan keluar. Posisi "teman" itu adalah ungkapan yang paling pas buat seorang pendamping. Teman adalah tempat curhat, tempat untuk saling berbagi, saling memberi dan menerima "tanpa ada rasa sungkan".
Seorang pendamping itu bukanlah seorang guru, yang akan mentransfer pengatahuan dari dirinya kepada orang lain. Seorang pendamping juga bukan seorang penyuluh yang akan menyuruh orang untuk melakukan sesuatu. Seorang pendamping itu bukan atasan yang biasa memerintah dan memaksa orang lain sesuai kehendaknya.Â
Hakekat pendampingan adalah seperti yg dikatakan Lao Tse, Â seorang filosof yang hidup di daratan Cina pada abad 7 sebelum masehi :
"Datanglah kepada Rakyat, hiduplah bersama mereka, mulailah dengan apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya, tetapi Pendamping yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, Rakyat berkata,"Kami sendirilah yang mengerjakannya."
Dengan demikian pendamping itu adalah seseorang yng memiliki jiwa peduli, memiliki rasa empati melihat persolan yg dihadapi oleh rakyat kecil dan/atau kelompok marginal dan berusaha untuk menemani orang tertindas atau komunitas marginal itu melalui "dialog". Sebab jika seorang pendamping salah masuk atau salah memilih entre point maka rakyat itu bukan berdaya tapi malah akan tergantung dg pendamping tersebut. Penulispun mememukan banyak contoh kesalahan ini di masyarakat. Dan itu akan berakibat fatal.Â
Tujuan akhir dari proses pendampingan adalah "kemadirian" rakyat. Rakyat yg mandiri adalah rakyat yg telah berdaya. Â Bahkan pada saat akhir proses pendampingan seorang pendamping harus rela terusir dari komunitas marginal itu sendiri. Bukan karena berbuat tercela atau negatif lainnya, tetapi merasa bahwa rakyat yg terdampingi sudah mampu mandiri.
Dialog dan musyawarah sebagai strategi
Seorang pendamping akan mulai pekerjaannya dengan cara mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang berbagai hal pada kelompok atau komunitas yg akan didampingi. Mulai mengenali tradisi, adat budayanya, tokoh-tokoh yg berpengaruh baik formal maupun non formal, sampai pada masalah-masalah yg kebanyakan orang mengeluhkanya. Hal ini akan berguna bagi pendamping dalam menemukan pintu masuk yg tepat, terutama jika pendamping tersebut datang dari luar daerah itu (outsider). Dalam konteks ini seorang pendamping harus sangat berhati-hati. Intinya adalah bagaimana seorang pendamping dari luar daerah tersebut bisa diterima oleh masyarakat disitu dan menjadi teman semua orang dalam komunitas itu.Â
Untuk mendapat semua informasi diatas, maka seorang pendamping harus piawai melakukan "dialog" dengan masyarakat marginal. Dialog adalah percakapan timbal balik antara dua orang atau lebih baik melalui ucapan verbal maupun menggunakan isyarat. Dialog berasal dari bahasa Yunani "dia" dan "logos" yang artinya cara manusia dalam menggunakan kata. Dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Meski definisi dialog telah begitu jelas, Â namun prakteknya seorang pendamping masih sering keliru dan terjebak dalam dialog yg menggurui bahkan kadang provokatif. Padahal semestinya dialog hanyalah hanyalah proses memancing orang untuk "mau" bicara mengungkapkan isi hati (uneg-uneg) yg selama ini tidak pernah mereka ungkapkan. Ketika seseorang atau anggota kelompok marginal sudah mulai berani mengungkapkan pendapatnya, seorang pendamping harus banyak diam dan mendengarkan seluruh pembicaraan kaum marginal tersebut, serta sedikit mencatat kata kunci yg disampaikan oleh kaum marginal tersebut.Â
Tidak gampang dalam membangun dialog ini. Sepuluh orang anggota kelompok marginal melakukan pertemuan belum tentu ada yg mau bicara, harus dipancing terlebih dahulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H