Mohon tunggu...
Ahmad Haryono
Ahmad Haryono Mohon Tunggu... Penulis - Bermanfaat bagi orang lain

Untuk kehidupan yg lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendampingan Kelompok Marginal (Bagian Pertama)

31 Agustus 2021   17:09 Diperbarui: 31 Agustus 2021   17:16 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : koleksi pribadi.

Menjadi pendamping masyarakat biasanya fase pertama seseorang mulai menjadi aktivis. Seseorang yg telah tercerahkan baik melalui pelatihan, diskusi, atau mantan aktivis ekstra kampus biasanya ketika melihat rakyat kecil tertindas, baik terhegemoni oleh sistem ataupun terhimpit oleh kemiskinan kultural, hatinya akan terpanggil. Ikut merasakan (empati) melihat orang tertindas. 

Seorang pendamping harus memposisikan diri sebagai "teman ngobrol" orang yg tertindas itu dari hati ke hati tanpa ada kesan menggurui, apalagi berusaha menolong mencarikan jalan keluar. Posisi "teman" itu adalah ungkapan yang paling pas buat seorang pendamping. Teman adalah tempat curhat, tempat untuk saling berbagi, saling memberi dan menerima "tanpa ada rasa sungkan".

Seorang pendamping itu bukanlah seorang guru, yang akan mentransfer pengatahuan dari dirinya kepada orang lain. Seorang pendamping juga bukan seorang penyuluh yang akan menyuruh orang untuk melakukan sesuatu. Seorang pendamping itu bukan atasan yang biasa memerintah dan memaksa orang lain sesuai kehendaknya. 

Hakekat pendampingan adalah seperti yg dikatakan Lao Tse,  seorang filosof yang hidup di daratan Cina pada abad 7 sebelum masehi :

"Datanglah kepada Rakyat, hiduplah bersama mereka, mulailah dengan apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punya, tetapi Pendamping yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, Rakyat berkata,"Kami sendirilah yang mengerjakannya."

Dengan demikian pendamping itu adalah seseorang yng memiliki jiwa peduli, memiliki rasa empati melihat persolan yg dihadapi oleh rakyat kecil dan/atau kelompok marginal dan berusaha untuk menemani orang tertindas atau komunitas marginal itu melalui "dialog". Sebab jika seorang pendamping salah masuk atau salah memilih entre point maka rakyat itu bukan berdaya tapi malah akan tergantung dg pendamping tersebut. Penulispun mememukan banyak contoh kesalahan ini di masyarakat. Dan itu akan berakibat fatal. 

Tujuan akhir dari proses pendampingan adalah "kemadirian" rakyat. Rakyat yg mandiri adalah rakyat yg telah berdaya.  Bahkan pada saat akhir proses pendampingan seorang pendamping harus rela terusir dari komunitas marginal itu sendiri. Bukan karena berbuat tercela atau negatif lainnya, tetapi merasa bahwa rakyat yg terdampingi sudah mampu mandiri.

Dialog dan musyawarah sebagai strategi

Seorang pendamping akan mulai pekerjaannya dengan cara mengamati dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang berbagai hal pada kelompok atau komunitas yg akan didampingi. Mulai mengenali tradisi, adat budayanya, tokoh-tokoh yg berpengaruh baik formal maupun non formal, sampai pada masalah-masalah yg kebanyakan orang mengeluhkanya. Hal ini akan berguna bagi pendamping dalam menemukan pintu masuk yg tepat, terutama jika pendamping tersebut datang dari luar daerah itu (outsider). Dalam konteks ini seorang pendamping harus sangat berhati-hati. Intinya adalah bagaimana seorang pendamping dari luar daerah tersebut bisa diterima oleh masyarakat disitu dan menjadi teman semua orang dalam komunitas itu. 

Untuk mendapat semua informasi diatas, maka seorang pendamping harus piawai melakukan "dialog" dengan masyarakat marginal. Dialog adalah percakapan timbal balik antara dua orang atau lebih baik melalui ucapan verbal maupun menggunakan isyarat. Dialog berasal dari bahasa Yunani "dia" dan "logos" yang artinya cara manusia dalam menggunakan kata. Dialog adalah percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Meski definisi dialog telah begitu jelas,  namun prakteknya seorang pendamping masih sering keliru dan terjebak dalam dialog yg menggurui bahkan kadang provokatif. Padahal semestinya dialog hanyalah hanyalah proses memancing orang untuk "mau" bicara mengungkapkan isi hati (uneg-uneg) yg selama ini tidak pernah mereka ungkapkan. Ketika seseorang atau anggota kelompok marginal sudah mulai berani mengungkapkan pendapatnya, seorang pendamping harus banyak diam dan mendengarkan seluruh pembicaraan kaum marginal tersebut, serta sedikit mencatat kata kunci yg disampaikan oleh kaum marginal tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun