Pembukaan
Konfrontasi antara India dan Pakistan terkait perebutan kawasan Kashmir merupakan salah satu konflik terpanjang dan paling rumit dalam sejarah modern. Kedua negara ini telah terlibat dalam pelbagai perang dan ketegangan militer yang berkepanjangan di wilayah ini sejak India dan Pakistan memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1947. Konflik ini telah memberikan impresi yang signifikan tidak hanya pada hubungan antara kedua negara tetapi juga pada stabilitas regional dan tentunya keamanan global.
Konflik bermula pada 1947 ketika era British Raj atau kekuasaan Britania runtuh. Hal ini ditandai dengan kemerdekaan dan pembagian wilayah berdasarkan mayoritas agama di kawasan tersebut yaitu Negara Pakistan untuk mayoritas penduduk beragama Islam dan Negara India untuk mayoritas penduduk beragama Hindu. Sengketa terjadi ketika kedua negara saling mengklaim wilayah Kerajaan Kashmir yang berpenduduk 97% beragama islam dipimpin oleh seorang raja bernama Maharaja Hari Singh yang beragama Hindu.
Setelah kemerdekaannya pada 14 Agustus 1947, Pakistan mengklaim bahwa Kerajaan Kashmir adalah bagian daripada wilayahnya. Sebab mayoritas penduduk di Kashmir adalah orang muslim. Sementara India juga mengklaim bahwa Kerajaan Kashmir adalah bagian daripada wilayah negara kedaulatan India. Sebab pada saat itu Kerajaan Kashmir menggunakan sistem pemerintahan Monarki Absolut yang dipimpin dinasti raja hindu yang telah turun temurun. Dalam konteks ini kawasan Kashmir mempunyai nilai strategis bagi India maupun Pakistan. Bagi India, wilayah Kashmir merupakan bagian penting dari kedaulatannya dan juga sebagai representasi heterogenitas negara sekuler tersebut. Sementara itu bagi Pakistan, wilayah Kashmir yang berpenduduk mayoritas muslim adalah bagian integral daripada identitas nasional mereka sebagai negara islam. Kepentingan yang bertentangan ini yang membuat kedua negara tersebut saling berseteru. Sehingga pada puncaknya, meletus perang sebanyak tiga kali yaitu pada 1947, 1965, dan 1971.
Kerangka Teoritis
Teori Realisme merupakan teori yang paling kuat dalam studi politik internasional (Dugis, 2019). Teori ini berfokus pada pentingnya kekuasaan negara untuk meraih kepentingan nasionalnya. Asumsi dasar Teori Realisme adalah bahwa negara merupakan aktor utama dalam sistem internasional yang bersifat anarki, yaitu di mana tidak ada entitas yang lebih tinggi daripada negara (Dugis, 2019). Dalam konteks ini realisme menekankan bahwa dalam kondisi sistem internasional yang anarki, negara-negara berupaya dan bertindak secara rasional untuk terus memaksimalkan kekuasaan dan juga keamanan mereka tentunya demi kelangsungan hidup.
Bagi realisme, sifat yang paling esensial dari diri manusia adalah egois dan juga individualistik. Realisme memandang bahwa tindakan negara sering kali berorientasi pada sifat dasar manusia ini. Morgenthau (1948) menyatakan bahwa politik internasional merupakan bagian dari perjuangan kekuasaan di mana negara terus-menerus berupaya untuk meningkatkan posisi mereka dalam sistem internasional. Argumen ini juga menitikberatkan bahwa dalam dinamika sistem internasional ada satu hal yang paling dominan yaitu konflik kepentingan yang bersifat zero-sum, di mana keuntungan dari satu entitas (negara) secara implisit adalah kerugian bagi entitas yang lain.
Perselisihan antara India dan Pakistan dalam memperebutkan wilayah Kashmir ini merupakan salah satu contoh riil dari konflik kepentingan. Kedua belah pihak berikhtiar untuk meraih kepentingan nasional yaitu dengan memperluas pengaruh mereka di kawasan yang dipersengketakan. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa setiap langkah yang diambil oleh salah satu pihak dianggap sebagai ancaman bagi pihak lain. Hal ini memicu keadaan yang dinamakan Security Dilemma (Dilema Keamanan).
Security Dilemma dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana tindakan protektif sebuah negara, misalnya peningkatan kualitas pertahanan (militer) ataupun pembentukan aliansi strategis , dinilai sebagai tindakan agresif oleh negara lain, sehingga negara tersebut merasa harus melakukan peningkatan kualitas militer pula (Jervis, 1978). Dalam konteks konflik Kashmir, setiap tindakan yang dilakukan oleh India di wilayah tersebut, misalnya pembangunan infrastruktur militer, dipandang oleh Pakistan sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasionalnya. Demikian juga sebaliknya, langkah Pakistan untuk memperkuat kapabilitas militer di Kashmir dianggap oleh India sebagai suatu ancaman yang harus disambut dengan kekuatan yang setara ataupun lebih kuat.
Lebih lanjut, Realisme menguraikan bahwa dalam sistem internasional yang anarki, negara-negara bertindak berdasarkan konsep self-help, yaitu untuk memastikan keamanan dan kelangsungan hidup, mereka harus mengandalkan kekuatan mereka sendiri (Waltz, 1979). Dalam konteks ini, tidak ada pihak ketiga atau otoritas tertinggi yang dapat menengahi kedua belah pihak secara efektif. Kondisi anarki ini juga memperparah Security Dilemma antara India dan Pakistan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya penengah yang dapat meyakinkan kedua belah pihak untuk menjamin bahwa tindakan protektif yang dilakukan satu pihak bukan berarti selalu dipahami sebagai ancaman bagi pihak lain.
Pembahasan Kasus
Semenjak terbaginya India dan Pakistan pada 1947, kawasan Kashmir merupakan akar perselisihan antara kedua negara tersebut. Sebelumnya, kawasan ini merupakan kerajaan dengan mayoritas penduduk muslim yang dipimpin oleh seorang Maharaja Hindu Hari Singh. Saat kemerdekaan India dan Pakistan, Maharaja Hari Singh memiliki setidaknya tiga opsi, yaitu bergabung dengan India, bergabung dengan Pakistan, atau tetap independen dengan tidak bergabung dengan salah satu negara. Pada awalnya Maharaja Hari Singh memilih opsi yang ketiga, yaitu tetap independen dan tidak bergabung dengan salah satu negara.
Sampai pada Oktober 1947, adalah sekelompok dari Suku Pashtun yang mendapatkan dukungan oleh pemerintah Pakistan melakukan invasi ke wilayah Kashmir. Hal ini memicu ketegangan di wilayah tersebut (Schofield, 2010). Situasi genting ini, membuat Maharaja Hari Singh meminta bantuan dengan militer India. Hal ini disetujui pemerintah India dengan syarat bahwa Kashmir harus berkenan bergabung dengan India. Sehingga dibuat dokumen Instrument of Accession yang diresmikan pada 26 Oktober 1947. Dokumen ini menyatakan bahwa India memiliki hak penuh untuk mengontrol persoalan pertahanan dan hubungan luar negeri Kashmir (Lamb, 1997).
Menanggapi hal tersebut, pemerintah Pakistan menolak klaim india atas wilayah Kashmir dan menyatakan bahwa bergabungnya Kashmir dengan India merupakan hasil pemaksaan Pemerintah India terhadap Maharaja Hari Singh, maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Hal ini yang memicu meletusnya perang pertama antara India dan Pakistan pada 1947-1948. Perang ini berakhir dengan resolusi yang ditengahi oleh PBB. Resolusi ini menghasilkan keputusan Line of Control (LoC), yang membagi kekuasaan wilayah Kashmir bagi India dan Pakistan. Wilayah yang berhak dikuasai India adalah Ladakh, Jammu, dan Kashmir Valley. Sementara wilayah yang berhak dikuasai Pakistan adalah Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan.
Perseteruan ini masih terus berlanjut dan telah menjadi akar masalah terkait ketegangan antara India dan Pakistan. Pelbagai usaha diplomasi dan intervensi internasional telah dilakukan, namun tidak ada satu pun resolusi yang memuaskan bagi kedua negara. Hal ini menunjukkan bahwa konflik ini merupakan konflik kepentingan yang sangat kompleks, di mana kedua negara bersitegang dan melibatkan identitas nasional, kedaulatan nasional, dan juga kepentingan nasional (Ganguly, 1997).
Jika ditilik melalui asumsi Realisme dalam HI, bahwa negara sebagai aktor utama akan bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka untuk mempertahankan kekuasaan, kekuatan, dan keamanan dalam kondisi sistem internasional yang anarki. Dalam kasus konflik Kashmir, kedua negara berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka di wilayah Kashmir sebagai bagian daripada self-help. Pakistan memandang bahwa pembebasan Kashmir dari pengaruh India merupakan isisiasi untuk melindungi hak-hak rakyat Kashmir yang mayoritas beragama islam (Ganguly, 1997). Hal ini memperkokoh posisi Pakistan dalam menghadapi India dan secara eksplisit hal ini menunjukkan bahwa konflik ini tidak hanya berkutat soal geopolitik, tetapi juga identitas nasional dan juga tentunya legitimasi Internasional. Sementara itu, India sebagai negara dengan populasi manusia terbanyak di dunia membuat klaim bahwa integrasi wilayah Kashmir bertujuan untuk melindungi keamanan nasionalnya dan juga untuk menjamin kedaulatannya dalam menghadapi ancaman internal maupun eksternal.
Dalam persoalan ini, dapat dipahami bahwa kedua negara menerapkan teori Realisme dalam pengelolaan konflik eksternal mereka, terkhusus konflik Kashmir. Sistem internasional yang anarki memicu kedua negara untuk mengambil tindakan unilateral (sepihak). Hal ini terkadang memicu ketidaksetujuan pihak lain dan juga memicu perselisihan yang semakin beramplifikasi.
Kesimpulan
Studi HI mengenai konflik India-Pakistan dalam sengketa wilayah Kashmir melibatkan turbulensi yang kompleks terkait tindakan dari kedua negara. Konfrontasi ini bukan hanya berakar pada persaingan geopolitik dan keamanan domestik, tetapi juga terkait oleh identitas nasional dan legitimasi Internasional yang dalam hal ini bertolak belakang satu sama lain. Teori Realisme memetakan terkait bagaimana negara-negara membuat suatu Langkah dalam sistem Internasional yang anarki, di mana kapabilitas militer dan konsep self-help sering kali menjadi senjata utama untuk memastikan stabilitas dan keamanan domestik.
Pemerintah India, menggunakan klaim atas wilayah Kashmir sebagai suatu bagian fundamental dari kedaulatan teritorinya, mengambil tindakan untuk mengkonsolidasi wilayah ini sebagai usaha untuk mengamankan perbatasan dan juga tentunya melindungi kedaulatannya dari ancaman internal maupun eksternal. Sedangkan Pakistan memandang bahwa dukungan penduduk sipil di Kashmir untuk bergabung bersama Pakistan sebagai tanggapan terhadap dominasi India yang dalam hal ini mereka anggap tidak sah. Hal ini juga sebagai bagian dari skema mereka untuk meningkatkan posisi keamanan nasional mereka di Asia Selatan.
Kurangnya peranan pihak ketiga atau otoritas pusat yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak, memperparah krisis antara kedua negara di wilayah Kashmir. Keputusan unilateral yang dilakukan oleh India maupun Pakistan sering kali berakhir dengan peningkatan eskalasi konflik dan menciptakan ketegangan regional yang semakin beramplifikasi. Alhasil, konfrontasi ini tidak sesederhana konflik mengenai wilayah, tetapi juga merupakan bagian daripada tantangan dinamika sistem Internasional yang anarki.
Oleh karena itu, untuk merealisasi cita-cita berupa perdamaian di wilayah Kashmir, dibutuhkan ikhtiar dari kedua negara yaitu melalui diplomasi. Hal ini tentunya akan lebih efektif untuk mencapai resolusi atas konflik ini. Selain itu, ikhtiar ini juga akan lebih efisien dalam hal pengeluaran anggaran negara terkait persenjataan misalnya alutsista dan juga tentunya menghemat pengeluaran anggaran logistik untuk berperang. Dapat dipahami bahwa dalam konteks ini, peran PBB sebagai penengah antara India dan Pakistan sangat penting untuk meredam konflik dan tentunya juga menciptakan perdamaian di wilayah Kashmir.
Referensi:
Ganguly, S. (1997). The Crisis in Kashmir: Portents of War, Hopes of Peace. Cambridge University Press.
Ganguly, S. (2001). Conflict Unending: India-Pakistan Tensions since 1947. New York: Columbia University Press.
Jervis, R. (1978). Cooperation under the Security Dilemma. World Politics, 30(2), 167-214.
Lamb, A. (1997). Kashmir: A Disputed Legacy, 1846-1990. Karachi, Pakistan: Oxford University Press.
Morgenthau, H. J. (1948). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knopf.
Schofield, V. (2010). Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War. London: I.B. Tauris.
Waltz, K. N. (1979). Theory of International Politics. Addison-Wesley.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H