Mohon tunggu...
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Mahasiswa pegiat kajian filsafat dan isu keuangan -a Stoic

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Konflik India-Pakistan dalam Sengketa Kawasan Kashmir melalui Pendekatan Realisme

6 Juli 2024   18:26 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:19 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pegunungan Kashmir , Jammu Kashmir Wallpaper HD | Pxfuel 

Semenjak terbaginya India dan Pakistan pada 1947, kawasan Kashmir merupakan akar perselisihan antara kedua negara tersebut. Sebelumnya, kawasan ini merupakan kerajaan dengan mayoritas penduduk muslim yang dipimpin oleh seorang Maharaja Hindu Hari Singh. Saat kemerdekaan India dan Pakistan, Maharaja Hari Singh memiliki setidaknya tiga opsi, yaitu bergabung dengan India, bergabung dengan Pakistan, atau tetap independen dengan tidak bergabung dengan salah satu negara. Pada awalnya Maharaja Hari Singh memilih opsi yang ketiga, yaitu tetap independen dan tidak bergabung dengan salah satu negara.

Sampai pada Oktober 1947, adalah sekelompok dari Suku Pashtun yang mendapatkan dukungan oleh pemerintah Pakistan melakukan invasi ke wilayah Kashmir. Hal ini memicu ketegangan di wilayah tersebut (Schofield, 2010). Situasi genting ini, membuat Maharaja Hari Singh meminta bantuan dengan militer India. Hal ini disetujui pemerintah India dengan syarat bahwa Kashmir harus berkenan bergabung dengan India. Sehingga dibuat dokumen Instrument of Accession yang diresmikan pada 26 Oktober 1947. Dokumen ini menyatakan bahwa India memiliki hak penuh untuk mengontrol persoalan pertahanan dan hubungan luar negeri Kashmir (Lamb, 1997).

Menanggapi hal tersebut, pemerintah Pakistan menolak klaim india atas wilayah Kashmir dan menyatakan bahwa bergabungnya Kashmir dengan India merupakan hasil pemaksaan Pemerintah India terhadap Maharaja Hari Singh, maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Hal ini yang memicu meletusnya perang pertama antara India dan Pakistan pada 1947-1948. Perang ini berakhir dengan resolusi yang ditengahi oleh PBB. Resolusi ini menghasilkan keputusan Line of Control (LoC), yang membagi kekuasaan wilayah Kashmir bagi India dan Pakistan. Wilayah yang berhak dikuasai India adalah Ladakh, Jammu, dan Kashmir Valley. Sementara wilayah yang berhak dikuasai Pakistan adalah Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan.

Perseteruan ini masih terus berlanjut dan telah menjadi akar masalah terkait ketegangan antara India dan Pakistan. Pelbagai usaha diplomasi dan intervensi internasional telah dilakukan, namun tidak ada satu pun resolusi yang memuaskan bagi kedua negara. Hal ini menunjukkan bahwa konflik ini merupakan konflik kepentingan yang sangat kompleks, di mana kedua negara bersitegang dan melibatkan identitas nasional, kedaulatan nasional, dan juga kepentingan nasional (Ganguly, 1997).

Jika ditilik melalui asumsi Realisme dalam HI, bahwa negara sebagai aktor utama akan bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka untuk mempertahankan kekuasaan, kekuatan, dan keamanan dalam kondisi sistem internasional yang anarki. Dalam kasus konflik Kashmir, kedua negara berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka di wilayah Kashmir sebagai bagian daripada self-help. Pakistan memandang bahwa pembebasan Kashmir dari pengaruh India merupakan isisiasi untuk melindungi hak-hak rakyat Kashmir yang mayoritas beragama islam (Ganguly, 1997). Hal ini memperkokoh posisi Pakistan dalam menghadapi India dan secara eksplisit hal ini menunjukkan bahwa konflik ini tidak hanya berkutat soal geopolitik, tetapi juga identitas nasional dan juga tentunya legitimasi Internasional. Sementara itu, India sebagai negara dengan populasi manusia terbanyak di dunia membuat klaim bahwa integrasi wilayah Kashmir bertujuan untuk melindungi keamanan nasionalnya dan juga untuk menjamin kedaulatannya dalam menghadapi ancaman internal maupun eksternal.

Dalam persoalan ini, dapat dipahami bahwa kedua negara menerapkan teori Realisme dalam pengelolaan konflik eksternal mereka, terkhusus konflik Kashmir. Sistem internasional yang anarki memicu kedua negara untuk mengambil tindakan unilateral (sepihak). Hal ini terkadang memicu ketidaksetujuan pihak lain dan juga memicu perselisihan yang semakin beramplifikasi.

Kesimpulan

Studi HI mengenai konflik India-Pakistan dalam sengketa wilayah Kashmir melibatkan turbulensi yang kompleks terkait tindakan dari kedua negara. Konfrontasi ini bukan hanya berakar pada persaingan geopolitik dan keamanan domestik, tetapi juga terkait oleh identitas nasional dan legitimasi Internasional yang dalam hal ini bertolak belakang satu sama lain. Teori Realisme memetakan terkait bagaimana negara-negara membuat suatu Langkah dalam sistem Internasional yang anarki, di mana kapabilitas militer dan konsep self-help sering kali menjadi senjata utama untuk memastikan stabilitas dan keamanan domestik.

Pemerintah India, menggunakan klaim atas wilayah Kashmir sebagai suatu bagian fundamental dari kedaulatan teritorinya, mengambil tindakan untuk mengkonsolidasi wilayah ini sebagai usaha untuk mengamankan perbatasan dan juga tentunya melindungi kedaulatannya dari ancaman internal maupun eksternal. Sedangkan Pakistan memandang bahwa dukungan penduduk sipil di Kashmir untuk bergabung bersama Pakistan sebagai tanggapan terhadap dominasi India yang dalam hal ini mereka anggap tidak sah. Hal ini juga sebagai bagian dari skema mereka untuk meningkatkan posisi keamanan nasional mereka di Asia Selatan.

Kurangnya peranan pihak ketiga atau otoritas pusat yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak, memperparah krisis antara kedua negara di wilayah Kashmir. Keputusan unilateral yang dilakukan oleh India maupun Pakistan sering kali berakhir dengan peningkatan eskalasi konflik dan menciptakan ketegangan regional yang semakin beramplifikasi. Alhasil, konfrontasi ini tidak sesederhana konflik mengenai wilayah, tetapi juga merupakan bagian daripada tantangan dinamika sistem Internasional yang anarki.

Oleh karena itu, untuk merealisasi cita-cita berupa perdamaian di wilayah Kashmir, dibutuhkan ikhtiar dari kedua negara yaitu melalui diplomasi. Hal ini tentunya akan lebih efektif untuk mencapai resolusi atas konflik ini. Selain itu, ikhtiar ini juga akan lebih efisien dalam hal pengeluaran anggaran negara terkait persenjataan misalnya alutsista dan juga tentunya menghemat pengeluaran anggaran logistik untuk berperang. Dapat dipahami bahwa dalam konteks ini, peran PBB sebagai penengah antara India dan Pakistan sangat penting untuk meredam konflik dan tentunya juga menciptakan perdamaian di wilayah Kashmir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun