Pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia mengakibatkan terjadinya perubahan budaya di masyarakat, terutama dalam sistem pembelajaran. Berawal dari sistem lockdown dan social distancing menjadikan pembelajaran dilaksanakan secara daring pada awal tahun 2020 sampai dengan sekarang. Selain itu, penggunaan platform online semakin canggih karena harus menyesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi. Komunikasi melalui media sosial menjadi sarana bagi para pelajar dan mahasiswa untuk belajar, mengerjakan tugas, dan berdiskusi bersama temannya. Sering terjadi di dalam kelompok yang bekerja secara online melakukan just read atau tidak merespon apa-apa ketika berdiskusi di grup Whatsapp yang membuat anggota lainnya bahkan ketuanya merasa jengkel atas fenomena tersebut. Fenomena itu disebut dengan social loafing (kemalasan sosial).
Sejarah dan Latar Belakang Social Loafing
Social loafing merupakan keadaan yang terjadi dalam keadaan kolektif yang menyebabkan seseorang diantara satu kelompok mengalami sebuah degradasi kinerja, sehingga menyebabkan pembobotan pekerjaan yang tidak seimbang. Adapun menurut Karau dan William (dalam Saminta dan Mustika, 2019), social loafing merupakan kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dilakukan ketika bekerja secara kelompok, dibandingkan dengan bekerja secara mandiri. Pada mulanya istilah social loafing diperkenalkan pada tahun 1979 oleh Latane, Williams, & Harkins dengan definisi serupa. Namun, penelitian yang mereka lakukan merupakan adopsi dari pencetus pertama dari fenomena tersebut, yaitu Max Ringelmann yang sudah meneliti fenomena tersebut pada tahun 1913 dengan nama Ringelmann Effect.
Fenomena social loafing masih banyak terjadi di sekitar kita, tidak hanya di lingkungan kerja atau kelompok, tetapi terjadi juga di setiap lingkungan kolektif yang melibatkan banyak orang, termasuk lingkungan pendidikan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, banyak penemuan yang ternyata dapat meminimalisir tindakan social loafing. Oleh sebab itu, kami memilih social loafing sebagai tema yang diambil dengan harapan dapat memberikan kontribusi terhadap edukasi kepada masyarakat luas, khususnya orang-orang secara kolektif dalam suatu kelompok atau organisasi.
Eksperimen
Eksperimen terkait social loafing pertama kali ditemukan oleh seorang ahli teknik pertanian, Max Ringelmann pada tahun 1913. Dalam penelitiannya, Ringelmann meminta partisipan untuk menarik tali secara kelompok maupun sendirian. Hasilnya, ketika berada dalam kelompok seseorang tidak terlalu mengeluarkan tenaga yang maksimal dibanding dengan menarik tali seorang diri. Bersambung dari eksperimen Max Ringelmann, pada tahun 1974 terdapat sekelompok peneliti yang melakukan hal serupa. Perbedaannya, di eksperimen kali ini, dalam kelompok hanya ada satu orang saja yang benar-benar di tes, sisanya hanya orang yang diminta pura-pura menarik tali. Dari eksperimen ini juga diperoleh hasil bahwa ketika dalam kelompok, terjadi penurunan motivasi sehingga tali pun tidak benar-benar ditarik.
Pengertian Social Loafing
- Menurut Bahasa
Social loafing dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan kemalasan sosial atau penyandaran sosial. Selain itu, social loafing sendiri dapat dikenal sebagai fenomena hilangnya produktivitas. Social loafing adalah kecenderungan penurunan usaha atau kinerja seseorang yang disebabkan oleh kehadiran orang lain atau saat di dalam kelompok dibanding ketika bekerja secara individu, independen, atau seorang diri. Istilah social loafing dikenalkan pertama kali pada tahun 1979 oleh Latane, Williams & Harkins dalam jurnal psikology berjudul Many hands make light the work: The causes and consequences of social loafing.
- Menurut Para Ahli
Menurut para ahli, social loafing merupakan kecenderungan individu untuk mengurangi motivasi dan usahanya saat bekerja dalam kelompok atau secara kolektif dibandingkan saat bekerja sendiri. Mereka menurunkan usaha mereka karena yakin tugas tersebut juga dikerjakan oleh orang lain (Karau dan Williams, 1993). Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2004), social loafing adalah membiarkan orang lain melakukan pekerjaan saat menjadi bagian dari kelompok.  Social loafing cukup umum terjadi dalam berbagai tugas, baik yang bersifat kognitif maupun yang melibatkan usaha fisik. Social loafing memiliki dampak negatif, terutama bagi organisasi maupun kelompok. Salah satu dampak negatif dari social loafing adalah berkurangnya performa kelompok (group performance).
Dimensi Social Loafing
Menurut Chidambaram dan Tung (2005) social loafing memiliki dua dimensi, yaitu
1. Dillution effect
Individu akan mengurangi usahanya dalam suatu kelompok karena merasa kontribusinya kecil dalam kelompok atau merasa pencapaian atau apresiasi untuk kelompok bukan hasil dari pekerjaan mereka.
2. Immediacy gap
Kondisi di mana individu merasakan keasingan dalam suatu kelompok atau kurangnya kedekatan dengan anggota kelompok lainnya sehingga individu tersebut melakukan social loafing.
Dampak dan Perawatan Social Loafing
Social loafing merupakan keadaan yang terjadi dalam keadaan kolektif yang menyebabkan seseorang diantara satu kelompok mengalami sebuah degradasi kinerja sehingga menyebabkan pembobotan pekerjaan yang tidak seimbang. Adapun menurut Karau dan William (dalam Saminta dan Mustika, 2019), social loafing merupakan kecenderungan untuk mengurangi upaya yang dilakukan ketika bekerja secara kelompok, dibandingkan dengan bekerja secara mandiri. Menurut beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya (dalam Oktrivia & Maryam, 2021), adapun beberapa dampak yang terjadi akibat social loafing, diantaranya:
1. Menurunkan motivasi rekan organisasi atau kelompok
2. Memunculkan sikap tak acuh/tidak peduli
3. Menghambat produktivitas
4. Kemunduran organisasi atau kelompok
5. Membatasi pengetahuan
6. Timbulnya ketidakpercayaan dalam organisasi atau kelompok
Selain kelima hal yang dijelaskan tadi, terdapat indikasi individu melakukan social loafing, di antaranya: loafer's apathy (sikap apatis), loafer's destructive an disruptive behavior (perilaku menghambat dan merusak dalam kelompok), loafer's disconnectedness (hubungan interpersonal yang lemah), loafer's poor work quality (kualitas kerja dan hasil kerja yang buruk), team members do more to pick up the slack (pendompengan tugas), poor overall team performance (kinerja tim yang buruk secara keseluruhan).Â
Upaya penanganan setiap fenomena sosial senantiasa terus dilakukan, tidak terkecuali dengan fenomena social loafing. Julian B. Rotter (dalam Sumantri & Pratiwi, 2020) mengembangkan teori Locus of Control yang pada akhirnya diterapkan dalam penelitian-penelitian terkait social loafing. Teori tersebut mengemukakan bahwasannya manusia memiliki tiga faktor besar yang mempengaruhi tindakan individu, di antaranya internal (keyakinan akan kemampuan dirinya sendiri), sosial (keyakinan akan orang lain yang memberikan pengaruh), serta eksternal (keyakinan akan kontrol dari sesuatu yang tidak dapat dikendalikan).