Indonesia akan segera memasuki era bonus demografi pada tahun 2030, di mana jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya. Potensi ini dapat menjadi peluang emas untuk kemajuan bangsa jika dimanfaatkan dengan baik.Â
Namun, untuk memastikan generasi muda siap menghadapi tantangan ini, penting bagi mereka untuk berada dalam lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional mereka.Â
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah hubungan persahabatan, terutama menghindari toxic friendship yang dapat merusak semangat dan produktivitas.Â
Artikel ini akan membahas ciri pertama dari toxic friendship menurut Susan Heitler, PhD, yaitu menganggap "persaingan" sebagai ancaman, dan bagaimana hal ini bisa mempengaruhi talenta muda di Indonesia. Mari kita breakdown, satu-persatu:Â
Pertama: Persaingan yang Sehat vs. Destruktif Dalam persahabatan yang sehat, persaingan bisa menjadi motivasi positif yang mendorong individu untuk mencapai potensi maksimal mereka.Â
Persaingan semacam ini dapat meningkatkan kreativitas, inovasi, dan semangat kerja sama. Namun, dalam toxic friendship, persaingan berubah menjadi destruktif.Â
Teman yang selalu berusaha mengalahkan atau menjatuhkan Anda tidak hanya menguras energi tetapi juga mempengaruhi mental dan emosional Anda.Â
Talenta muda yang terjebak dalam hubungan seperti ini mungkin merasa tertekan dan kehilangan fokus untuk berkembang secara produktif.
Kedua: Dampak Negatif pada Pengembangan Diri Dalam konteks bonus demografi, di mana Indonesia membutuhkan generasi muda yang siap bersaing secara global, dampak negatif dari toxic friendship dapat sangat merugikan.Â
Persaingan destruktif dalam persahabatan dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama, yaitu pengembangan diri dan profesional.Â
Alih-alih berfokus pada peningkatan keterampilan dan pencapaian pribadi, talenta muda mungkin terjebak dalam siklus negatif yang menghambat kemajuan mereka.Â
Ini bisa berakibat pada kurangnya kepercayaan diri, menurunnya produktivitas, dan bahkan kesehatan mental yang terganggu.
Ketga: Strategi Menghindari Toxic Friendship Untuk mempersiapkan diri menghadapi era bonus demografi, talenta muda harus mampu mengidentifikasi dan menghindari toxic friendship.Â
Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:Â
1) Membangun Jaringan yang Positif: Cari teman yang mendukung dan mendorong Anda untuk berkembang. Lingkungan yang positif akan membantu Anda tetap termotivasi dan fokus pada tujuan.Â
2) Mengembangkan Keterampilan Emosional: Tingkatkan kemampuan untuk mengelola emosi dan situasi sosial. Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, Anda bisa lebih mudah mengenali tanda-tanda toxic friendship.Â
3) Berani Mengambil Keputusan: Jika persahabatan mulai merugikan, berani untuk mengambil langkah tegas. Memutuskan hubungan yang tidak sehat bisa menjadi langkah awal untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan produktif.
Singkatnya, memahami dan menghindari toxic friendship, terutama yang melibatkan persaingan destruktif, sangat penting bagi talenta muda Indonesia.Â
Dalam menyongsong era bonus demografi 2030, generasi muda perlu berada dalam lingkungan yang mendukung dan memotivasi untuk mencapai potensi maksimal mereka.Â
Maka, dengan membangun jaringan pertemanan yang positif dan mengembangkan keterampilan emosional, mereka dapat menghadapi tantangan dengan lebih baik dan berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan bangsa. Wallahu A'lam Bishowab.
Oleh: Ahmad Rusdiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI