Platform media sosial dan pesan instan memungkinkan kita untuk berbicara dengan banyak orang dalam waktu singkat, tetapi interaksi semacam ini biasanya tidak memiliki keintiman dan kedalaman emosional yang bisa didapatkan dari percakapan tatap muka.
Interaksi online cenderung bersifat superfisial, sering kali terbatas pada pertukaran informasi singkat atau sekadar berbagi pembaruan tentang kehidupan sehari-hari. Akibatnya, hubungan yang terjalin melalui teknologi cenderung kurang memberikan ruang bagi perasaan mendalam, empati, dan perhatian penuh yang biasanya hadir dalam percakapan langsung.Â
Misalnya, dalam percakapan tatap muka, kita dapat menangkap isyarat nonverbal, seperti bahasa tubuh dan ekspresi wajah, yang memberikan konteks dan makna lebih dalam pada komunikasi. Namun, interaksi online tidak memberikan kehangatan yang sama, dan sering kali kita merasa "berbicara" tetapi tidak benar-benar "terhubung."
Selain itu, ketika kita menggunakan teknologi, kita sering merasa tertekan untuk tetap aktif di dunia maya, meskipun interaksi tersebut mungkin tidak selalu berarti. Sifat digital yang memungkinkan kita terhubung kapan saja, di mana saja, juga bisa menciptakan ilusi kehadiran sosial, padahal banyak orang merasa terasing secara emosional.
 Ketidakhadiran hubungan tatap muka ini, yang penting untuk kesejahteraan emosional, memperkuat perasaan kesepian meskipun kita dikelilingi oleh orang-orang secara virtual.
b. FOMO dan Perbandingan Sosial
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut ketinggalan sesuatu, semakin diperkuat oleh kehadiran media sosial dan teknologi digital. FOMO mendorong kita untuk terus terhubung dengan dunia maya, agar tidak merasa tertinggal dari apa yang terjadi dalam hidup orang lain.Â
Kita sering kali melihat pembaruan dari teman atau orang lain yang tampaknya menjalani kehidupan yang lebih menarik, lebih sukses, atau lebih bahagia, yang kemudian mendorong kita untuk membandingkan diri sendiri. Namun, kehidupan yang ditampilkan di media sosial seringkali merupakan versi yang disaring atau disempurnakan, yang tidak mencerminkan realitas sepenuhnya.
Perbandingan yang konstan ini menciptakan tekanan untuk mengejar kesempurnaan yang tidak realistis. Kita merasa harus memenuhi standar tinggi yang terlihat di media sosial---dalam hal pencapaian, penampilan fisik, atau gaya hidup.
 Akibatnya, kita merasa tidak cukup baik atau tidak berhasil jika tidak mampu mencapai hal-hal yang terlihat begitu mudah bagi orang lain. Ini menyebabkan perasaan ketidakpuasan diri yang mendalam, serta meningkatnya kecemasan dan stres.
Tekanan untuk terus mengikuti perkembangan dunia maya dan membandingkan diri dengan standar yang sering tidak realistis juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental kita.Â