Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asura: Makhluk Sakti Penuh Kontradiksi dalam Mitologi Hindu dan Buddha

15 Juni 2024   11:37 Diperbarui: 15 Juni 2024   12:01 2093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/jae703927 

Asura merupakan salah satu entitas dalam mitologi Hindu dan Buddha yang memiliki makna yang mendalam dan sering kali membingungkan. Secara etimologi, kata "asura" berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat diartikan dalam berbagai konteks yang bertentangan. Dalam bahasa Sanskerta, kata "asura" dapat bermakna "tidak sura", yakni bukan dewa, atau juga dapat dihubungkan dengan kata lain yang mengindikasikan kekuatan atau kekuasaan.

 Secara mitologis, Asura digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan besar dan sering kali bersifat rakus atau memiliki nafsu yang berlebihan. Mereka dikontraskan dengan para Dewa, yang sering kali mewakili kebaikan, kecerdasan spiritual, dan harmoni kosmos. Asura sering dianggap sebagai musuh para Dewa dalam berbagai cerita epik, seperti dalam mitologi Hindu dan Buddha, di mana mereka berperan sebagai lawan utama dalam konflik yang mendasar antara kekuatan yang berbeda.

Namun, gambaran Asura tidaklah sepenuhnya negatif. Dalam beberapa cerita, mereka juga dapat berperan sebagai sekutu atau bahkan sahabat para Dewa. Dalam konteks spiritual, Asura sering dianggap mewakili kekuatan atau nafsu yang harus dikuasai atau diperdamaikan oleh individu dalam perjalanan menuju pencerahan atau kebijaksanaan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peran mereka dalam mitologi sangat kompleks dan bervariasi, mencerminkan kontradiksi dalam sifat manusia dan alam semesta.

Asura juga sering dikaitkan dengan keinginan duniawi dan perang melawan kebenaran atau harmoni yang diwakili oleh Dewa. Dalam beberapa kisah, mereka mencoba untuk merebut kuasa atau kekekalan yang dimiliki oleh para Dewa, mencerminkan aspirasi yang mendalam akan kekuasaan atau pencerahan yang salah diarahkan.

Secara keseluruhan, Asura merupakan salah satu elemen sentral dalam mitologi Hindu dan Buddha yang mencerminkan konflik internal antara keinginan materi dan pencarian spiritual, serta kompleksitas hubungan antara kekuatan yang berbeda dalam alam semesta. Penafsiran mereka memperkaya pemahaman tentang dualitas dan dinamika dalam sejarah dan filsafat tradisi-tradisi spiritual India kuno.

Akar Kata dan Makna Awal 

Asura adalah salah satu konsep sentral dalam mitologi Hindu yang memiliki makna dan interpretasi yang sangat luas. Etimologi kata "Asura" berasal dari akar kata "Asu" dalam bahasa Sanskerta, yang secara harfiah berarti "kehidupan" atau "roh". Dalam konteks kuno Weda, Asura digambarkan sebagai makhluk gaib yang memiliki sifat-sifat yang bervariasi, bisa baik maupun jahat, dan memiliki peran kompleks dalam alam semesta.

Dalam Samhita bagian Weda, Asura digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kekuatan besar, sering kali diposisikan sebagai penjaga atau pemelihara alam semesta. Mereka juga dianggap sebagai pemberi pengetahuan dan kekuatan spiritual yang mempengaruhi dunia manusia dan dewa-dewa. Namun demikian, Asura juga dikenal sebagai musuh para dewa, yang sering kali terlibat dalam konflik yang mendalam dengan mereka.

Menurut Monier-Williams, seorang ahli bahasa Sanskerta terkemuka, Asura sering diidentifikasi sebagai "roh jahat, raksasa, dan musuh para dewa". Dalam mitologi Hindu dan Persia kuno, mereka sering kali disandingkan dengan kekuatan yang mengacaukan atau menciptakan bencana. Kontras ini mencerminkan dualitas dalam sifat alam semesta, di mana kebaikan dan kejahatan berinteraksi dalam perjalanan kehidupan dan eksistensi.

Secara filosofis, Asura juga dapat diinterpretasikan sebagai simbol nafsu manusia yang tidak terkendali atau keinginan yang melampaui batas spiritual. Dalam konteks ini, peran mereka menunjukkan tantangan dan rintangan yang harus diatasi dalam perjalanan rohani seseorang menuju pencerahan atau kesempurnaan.

Secara keseluruhan, Asura mencerminkan kompleksitas dalam mitologi Hindu, menggambarkan konflik internal dan eksternal antara kekuatan yang berbeda dalam alam semesta. Penafsiran tentang Asura memberikan wawasan mendalam tentang cara pandang kuno terhadap dualitas, kekuatan spiritual, dan dinamika hubungan antara manusia, dewa-dewa, dan kekuatan kosmis lainnya.

Pergeseran Makna dan Identifikasi 

Dalam tradisi Hindu, konsep Dewa (daiwi-sampad) dan Asura (asuri-sampad) memiliki makna yang sangat penting dalam konteks moral dan spiritual. Menurut kitab-kitab yang disusun setelah Weda, seperti Purana dan Itihasa, serta khususnya Bhagawadgita, perbedaan antara Dewa dan Asura tidak hanya terbatas pada karakteristik fisik atau kekuatan, tetapi lebih pada sifat-sifat moral dan spiritual yang mendasari perilaku mereka.

Dewa dalam konteks ini sering kali merujuk pada sifat-sifat yang dianggap baik, seperti kedermawanan, belas kasihan, kebijaksanaan, kesucian, dan dedikasi pada kebenaran dan keadilan. Mereka mewakili kekuatan positif dalam alam semesta yang membantu menjaga harmoni dan keseimbangan.

Di sisi lain, Asura dikaitkan dengan sifat-sifat yang dianggap negatif atau jahat, seperti keangkuhan, keserakahan, kemarahan, kedengkian, ketamakan, dan kesombongan. Mereka cenderung mengikuti keinginan duniawi dan nafsu tanpa batas, yang mengarah pada tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bhagawadgita, khususnya dalam Bab ke-16, menggambarkan bahwa sebagian besar manusia memiliki campuran dari kedua sifat ini dalam berbagai tingkat, meskipun ada juga yang cenderung mendominasi satu sifat tertentu.

Sifat-sifat Asura dalam Bhagawadgita dijelaskan sebagai sifat-sifat yang "keraksasaan" (asuri-sampad), yang muncul ketika sifat alami manusia seperti hasrat, keserakahan, kemarahan, dan lainnya berubah menjadi bentuk-bentuk negatif yang ekstrem dan merusak. Ini menyoroti dualitas dalam manusia antara keinginan spiritual dan materi, serta pentingnya mengendalikan nafsu dan emosi untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

Secara filosofis, Bhagawadgita mengajarkan bahwa penting bagi manusia untuk mengembangkan sifat-sifat Dewa (daiwi-sampad) seperti belas kasihan, kebijaksanaan, dan kesucian, sambil mengurangi atau mengatasi sifat-sifat Asura (asuri-sampad) yang dapat menghalangi evolusi spiritual mereka. Hal ini mencerminkan ajaran tentang pentingnya mengendalikan pikiran dan emosi dalam pencapaian pencerahan atau kesempurnaan spiritual.

Dengan demikian, konsep Dewa dan Asura dalam Bhagawadgita bukan hanya menggambarkan entitas kosmis yang berlawanan, tetapi juga mengajarkan manusia untuk mengenali dan mengatasi sifat-sifat negatif dalam diri mereka untuk mencapai kedamaian dalam pikiran dan kesempurnaan spiritual.

Asura dalam Mitos Hindu 

Dalam mitologi Hindu, konsep Asura mencerminkan kompleksitas yang mendalam dalam karakter dan peran mereka dalam alam semesta. Secara etimologis, kata "Asura" berasal dari akar kata "Asu" yang berarti kehidupan atau roh dalam bahasa Sanskerta. Dalam susastra Hindu yang terhimpun setelah Periode Weda, terutama dalam kitab-kitab Purana, Asura sering digambarkan dalam dua kategori utama: sebagai musuh para Dewa atau sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat negatif dan sering kali berlawanan dengan kebaikan yang diwakili oleh Dewa.

Dalam konteks mitologis, Asura seperti Vritra, pemimpin Asura, sering dikisahkan sebagai musuh utama para Dewa, seperti Indra. Vritra digambarkan sebagai raksasa yang menguasai air, yang mengancam kehidupan dan kemakmuran. Pertempuran antara Indra dan Vritra melambangkan perebutan sumber kehidupan dan keabadian, seperti amrita, dalam mitologi Hindu.

Namun, tidak semua Asura dianggap jahat atau musuh Dewa. Beberapa seperti Prahlada dan Bali, meskipun berasal dari kelompok Asura, terkenal karena kesetiaan dan pemujaan mereka terhadap Dewa Wisnu. Mereka dianggap memiliki kebijaksanaan yang tinggi dan kebaikan hati, menunjukkan bahwa dalam mitologi Hindu, Asura tidak selalu berarti kejahatan mutlak, tetapi lebih merupakan tentang pilihan dan karakter individual.

Dalam penafsiran Hindu setelah Periode Weda, terdapat pembagian antara Asura yang "baik" dan "jahat". Asura yang baik sering disebut Aditya, yang merupakan keturunan Aditi, dan dipimpin oleh Baruna. Mereka sering kali dilihat sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat positif dan kadang-kadang membantu para Dewa dalam melawan musuh-musuh lainnya. Di sisi lain, Asura yang jahat sering disebut Danawa, keturunan Danu, dan dipimpin oleh Wretra. Mereka sering kali merupakan musuh utama para Dewa dan diidentifikasi dengan sifat-sifat negatif seperti keangkuhan, kedengkian, dan ketamakan.

Secara keseluruhan, Asura dalam mitologi Hindu mencerminkan dualitas dalam karakter dan sifat manusia, serta kompleksitas dalam dinamika antara kekuatan kosmis yang berbeda. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan spiritual, penting untuk mengenali dan mengatasi sifat-sifat yang menghalangi pencapaian kesempurnaan dan kedamaian dalam pikiran dan tindakan.

 Asura dalam Mitos Buddha 

Dalam mitologi Buddha, Asura merupakan salah satu dari enam alam dalam siklus reinkarnasi yang disebut Samsara. Mereka adalah makhluk gaib yang mendiami alam yang berada di bawah gunung Sumeru, pusat alam semesta dalam kosmologi Buddha. Asura sering kali digambarkan sebagai makhluk yang kuat dan memiliki kekuatan magis, namun juga terikat pada kenikmatan duniawi dan cenderung iri hati terhadap para dewa.

Asura dalam agama Buddha tidak dianggap sebagai hantu, tetapi sebagai makhluk gaib yang memiliki kehidupan yang panjang dan beragam. Mereka dikatakan memiliki sifat-sifat seperti kemarahan, kesombongan, dan ketamakan, yang sering kali menjadi penyebab ketidakbahagiaan dan konflik dalam kehidupan mereka. Mereka cenderung berseteru dengan para dewa karena iri terhadap kebahagiaan dan keberlimpahan yang mereka nikmati.

Menurut ajaran Buddha, kehidupan sebagai Asura atau dalam alam apa pun di Samsara dipengaruhi oleh karma yang mereka hasilkan dari tindakan mereka di kehidupan sebelumnya. Karma ini menentukan kondisi dan lingkungan di mana mereka akan terlahir kembali, baik sebagai manusia, dewa, atau makhluk lainnya. Asura yang terperangkap dalam siklus ini diharapkan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang penderitaan dan cara mengatasi sifat-sifat negatif mereka untuk mencapai pencerahan.

Dalam konteks perjalanan agama Buddha ke Asia Timur, konsep Asura mengalami pengembangan lebih lanjut dan sering kali disesuaikan dengan kepercayaan setempat. Mereka kadang-kadang diidentifikasi dengan dewa-dewi lokal atau makhluk gaib lainnya yang ada sebelum kedatangan Buddhisme, dan dimasukkan ke dalam panteon Buddhis di wilayah tersebut.

Secara keseluruhan, konsep Asura dalam mitologi Buddha memberikan gambaran tentang kompleksitas alam semesta dan peran karma dalam menentukan nasib makhluk-makhluk ini. Mereka mengilustrasikan bagaimana sifat-sifat negatif seperti iri hati dan ketamakan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang di berbagai alam kehidupan, menekankan pentingnya mengembangkan kebijaksanaan dan keseimbangan dalam perjalanan spiritual menuju pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian (Samsara).

Kesimpulan 

Asura dalam mitologi Hindu dan Buddha memainkan peran yang kompleks dan beragam, mencerminkan berbagai sifat manusia dari kekuatan dan kebijaksanaan hingga nafsu dan keserakahan. Dalam mitologi Hindu, mereka sering digambarkan sebagai musuh para Dewa, mewakili tantangan terhadap kebaikan dan harmoni kosmos. Namun, tidak semua Asura dianggap jahat; beberapa memiliki kebijaksanaan yang tinggi dan bahkan menjadi pemuja setia para Dewa.

Dalam mitologi Buddha, Asura mendiami alam bawah Sumeru dan terikat pada kenikmatan duniawi, sering kali iri hati dengan para dewa. Mereka mencerminkan konflik internal manusia antara nafsu dan pencarian spiritual, mengajarkan pentingnya mengendalikan emosi dan menjauhi godaan materi.

Kisah-kisah tentang Asura memberikan pelajaran moral yang mendalam, mengingatkan akan bahaya kesombongan, keangkuhan, dan ketamakan, serta pentingnya mencari keseimbangan antara kekuatan fisik dan kebijaksanaan spiritual. Mereka menunjukkan bahwa setiap individu, seperti Asura, memiliki potensi baik dan buruk, dan perjalanan spiritualnya tergantung pada pilihan dan karma yang dibuatnya.

Dengan demikian, konsep Asura dalam mitologi Hindu dan Buddha bukan hanya tentang peran mereka sebagai antagonis atau makhluk gaib, tetapi juga sebagai cerminan mendalam tentang kompleksitas manusia dan tantangan dalam mencapai pencerahan dan kedamaian batin. Mereka mengajarkan bahwa memahami dan mengendalikan sifat-sifat ini adalah langkah pertama dalam perjalanan menuju kesempurnaan spiritual dan pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian (Samsara).

Referensi

  • Wash Edward Hale (1999), sura in Early Vedic Religion, Motilal Barnarsidass, ISBN 978-8120800618, pages 2-6
  •  Don Handelman (2013), One God, Two Goddesses, Three Studies of South Indian Cosmology, Brill Academic, ISBN 978-9004256156, pages 23-29
  • Wendy Doniger (1988), Textual Sources for the Study of Hinduism, Manchester University Press, ISBN 978-0719018664, page 67
  • Monier Monier-Williams, A Sanskrit-English Dictionary" Etymologically and Philologically Arranged to cognate Indo-European Languages, Motilal Banarsidass, page 121
  • Mandala 1, Hymn 35 Ralph T Griffith, Wikisource
  • Nicholas Gier (2000), Spiritual Titanism: Indian, Chinese, and Western Perspectives, State University of New York Press, ISBN 978-0791445280, pages 59-76
  • Jeaneane D Fowler (2012), The Bhagavad Gita, Sussex Academic Press, ISBN 978-1845193461, pages 253-262
  • Christopher K Chapple (2010), The Bhagavad Gita: Twenty-fifth--Anniversary Edition, State University of New York Press, ISBN 978-1438428420, pages 610-629
  • Wash Edward Hale (1999), sura in Early Vedic Religion, Motilal Barnarsidass, ISBN 978-8120800618, pages 5-11, 22, 99-102
  • Wash Edward Hale (1999), sura in Early Vedic Religion, Motilal Barnarsidass, ISBN 978-8120800618, page 4
  • Norman C. McClelland (2010). Encyclopedia of Reincarnation and Karma. McFarland. hlm. 32--34, 136. ISBN 978-0-7864-5675-8.
  • Lompat ke:a b Robert E. Buswell Jr.; Donald S. Lopez Jr. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. Princeton University Press. hlm. 76. ISBN 978-1-4008-4805-8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun