Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengantisipasi Putusan MK: MK Sejak Pilpres 2004 Selalu Menolak Gugatan, Apakah Gugatan di Pilpres 2024 Akan Membuat Sejarah Baru?

25 Maret 2024   09:43 Diperbarui: 25 Maret 2024   09:49 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/jawaposcom 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan pemilihan umum (pemilu) 2024. Namun gugatan dari pasangan calon (paslon) satu dan tiga pun diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan Prabowo-Gibran meraih kemenangan dalam pemilu tersebut berdasarkan hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU. Pengumuman ini mencerminkan hasil dari proses demokratis yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin mereka. 

Meskipun demikian, pasangan calon lainnya, yaitu pasangan calon satu dan tiga, merasa bahwa terdapat ketidakberesan dalam proses pemilihan tersebut. Gugatan yang mereka ajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bagian dari upaya mereka untuk menegakkan keadilan dan memastikan integritas pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa terkait pemilihan umum serta menjamin bahwa proses pemilihan tersebut berlangsung secara adil dan transparan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), pasangan calon satu dan tiga akan menyajikan bukti-bukti serta argumen-argumen mereka yang mendukung gugatan mereka terhadap hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan pemeriksaan secara seksama terhadap semua materi yang disampaikan oleh kedua belah pihak, serta mempertimbangkan berbagai aspek hukum yang relevan dalam proses pengambilan keputusan.

Keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi titik penentu akhir dalam sengketa pemilihan umum ini. Apapun hasilnya, keputusan MK diharapkan dapat menghasilkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Proses ini juga merupakan bagian penting dari perjalanan demokrasi sebuah negara, di mana keberadaan lembaga independen seperti Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi penjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Pada Rapat Pleno Terbuka Penetapan Hasil Pemilu Tahun 2024 yang diselenggarakan di gedung KPU RI, Jakarta Pusat, pada hari Rabu, tanggal 20 Maret 2024, Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, secara resmi mengumumkan pasangan nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang Pilpres 2024. Pengumuman ini didasarkan pada Berita Acara KPU Nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024. 

Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyatakan pasangan tersebut sebagai pemenang, tidak semua pihak merasa puas dengan hasil tersebut. Salah satu pasangan calon, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), telah mengajukan gugatan terhadap keputusan KPU. Tim Hukum Nasional (THN) AMIN, yang dipimpin oleh Ari Yusuf Amir, telah secara resmi mendaftarkan gugatan mereka ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Kamis, tanggal 21 Maret 2024.

Dalam gugatan yang diajukan ke MK, Tim Hukum Nasional AMIN menyatakan bahwa mereka telah menyiapkan sejumlah saksi dan ahli yang telah diverifikasi untuk memberikan kesaksian dan penjelasan di persidangan. Selain itu, tim pengacara AMIN terdiri dari 190 pengacara yang siap memperjuangkan gugatan tersebut. 

Gugatan yang diajukan oleh Tim Hukum Nasional Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar berdasarkan Keputusan KPU Nomor 360/2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilu 2024, dan telah diterima oleh MK dengan nomor 01-01/AP3-PRES/Pan.MK/03/2024 pada tanggal 21 Maret 2024 pukul 09.02 WIB. 

Dalam penjelasan yang disampaikan oleh Ketua Tim Hukum AMIN, Ari Yusuf Amir, pihaknya mengajukan gugatan ke MK karena merasa bahwa banyak keputusan yang diambil oleh KPU merugikan pasangan calon mereka. Contohnya, pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) serta penggunaan alat atau fasilitas negara yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilihan umum.

Pasangan calon nomor tiga, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, telah secara resmi mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi. Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tersebut telah diterima oleh MK pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2024. Gugatan ini mengusulkan beberapa pokok permasalahan terkait dengan proses pemilihan umum yang dianggap kontroversial. 

Pertama, dalam gugatan tersebut, pihak Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, yang diwakili oleh Todung Mulya Lubis, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendiskualifikasi partisipasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, dari Pemilu 2024. Mereka menyatakan bahwa keikutsertaan Prabowo-Gibran dinilai telah melanggar ketentuan hukum dan etika yang berlaku dalam konteks pemilihan umum.

Kedua, gugatan tersebut juga memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyetujui pemungutan suara ulang di semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di Indonesia. Todung Lubis menyampaikan bahwa mereka meminta MK untuk membatalkan keputusan KPU yang telah diumumkan beberapa hari sebelumnya. Permintaan ini didasarkan pada dugaan ketidakberesan dalam proses pemilihan umum yang menurut mereka mempengaruhi integritas dan keadilan pemilu. 

Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menggarisbawahi beberapa permasalahan krusial yang dianggap mempengaruhi hasil Pemilihan Presiden 2024. Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi akan menjadi arena di mana argumen-argumen dari kedua belah pihak akan dikaji secara mendalam, serta akan menjadi titik fokus penentuan keadilan dan kesahihan proses pemilihan umum di Indonesia.

Sidang MK

Pinterest.com/jawaposcom 
Pinterest.com/jawaposcom 

Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang perdana untuk menangani sengketa perselisihan hasil pemilu pada hari Rabu, tanggal 27 Maret 2024. Informasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2024, yang mengatur tentang tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilu presiden dan wakil presiden.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut, pada tanggal tersebut MK akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang diajukan. Selain itu, MK juga akan memeriksa dan mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh pemohon dalam sidang tersebut.

Sidang perdana ini akan menjadi awal dari proses penanganan sengketa perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Di dalamnya, MK akan memastikan bahwa permohonan yang diajukan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, serta akan melakukan verifikasi terhadap alat bukti yang disampaikan oleh pihak pemohon. 

Dengan demikian, sidang perdana ini akan menjadi titik awal dari proses penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, yang akan melibatkan pengujian terhadap argumen dan bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.

"Ya, PMK 1 tahun 2024 sudah disesuaikan dan sudah bisa diakses," kata juru bicara MK, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Pada Sabtu, tanggal 23 Maret 2023, Mahkamah Konstitusi resmi menutup pendaftaran permohonan perkara sengketa hasil pemilihan presiden. Pasangan calon dalam Pilpres 2024, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md, telah mengajukan gugatan. Penutupan pendaftaran ini dilakukan pada pukul 24.00 WIB. Proses pendaftaran telah dibuka sejak Rabu, tanggal 20 Maret 2024, malam setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan presiden.

Dalam konteks ini, terdapat beberapa gugatan yang masuk, yang pertama adalah gugatan terkait Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres). Tim nasional capres-cawapres nomor urut 01, yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, telah mendaftarkan permohonan pada hari Kamis, tanggal 21 Maret 2024, pada pukul 00.58 WIB. Permohonan tersebut terdaftar dengan nomor registrasi: 01-01 /AP3PRES/Pan.MK/03/2024. Dalam permohonan mereka, pasangan AMIN menyatakan keinginan untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) tanpa keterlibatan Gibran Rakabuming Raka.

"Kita meminta supaya ada pemungutan suara ulang. Tapi, biang masalah calon wakil presiden [Gibran] itu jangan diikutkan lagi supaya tidak ada cawe-cawe dari presiden lagi,"kata Ketua Tim Hukum Nasional AMIN Ari Yusuf Amir.

Gugatan ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat yang signifikan terkait dengan proses pemilihan presiden dan wakil presiden, yang menuntut penanganan hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang-sidang berikutnya, MK akan melakukan pemeriksaan terhadap berbagai argumen dan bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam gugatan ini, dengan tujuan untuk mencapai keputusan yang adil dan berdasarkan hukum. Proses ini akan menjadi bagian integral dari upaya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden secara transparan dan akuntabel.

Sementara itu, tim nasional capres-cawapres nomor urut 03, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, telah mendaftarkan permohonan pada Sabtu, tanggal 23 Maret 2024, pada pukul 16.53 WIB. Permohonan tersebut terdaftar dengan nomor registrasi: 02-03 /AP3PRES/Pan.MK/03/2024. 

Dalam permohonan mereka, Ganjar-Mahfud meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menjelaskan bahwa permohonan ini diajukan oleh pihaknya karena keikutsertaan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 dinilai telah melanggar ketentuan hukum dan etika yang berlaku. 

Permohonan ini menunjukkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan dan upaya untuk menegakkan keadilan melalui proses hukum yang berlaku. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh tim nasional capres-cawapres nomor urut 03 ini menjadi bagian dari upaya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Proses ini akan melibatkan pemeriksaan terhadap argumen dan bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat, dengan tujuan untuk mencapai keputusan yang adil dan berdasarkan hukum.

Menurut Zainal Arifin Mochtar, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang akrab disapa Uceng, kemungkinan untuk memenangkan gugatan sengketa pemilihan presiden atau Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) hampir tidak mungkin. Beliau menegaskan bahwa sejak tahun 2004, pihak yang kalah dalam pilpres selalu gagal saat mengajukan gugatan ke MK. Uceng menjelaskan bahwa ada tiga alasan utama yang membuat gugatan sengketa pemilihan presiden di MK sulit untuk menang. Pertama, terkait dengan proses pembuktian yang sulit dilakukan karena batasan waktu yang ketat. Beliau menggunakan perumpamaan "kayak Bandung Bondowoso" untuk menggambarkan kesulitan pembuktian yang seolah-olah harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.

Kedua, Uceng menyoroti logika Hakim MK yang cenderung menekankan pada perhitungan angka dalam menilai kecurangan pilpres. Menurutnya, jika kecurangan hanya dilihat dari sisi angka, kemungkinan besar gugatan sengketa pemilu tidak akan berhasil mengubah hasil pemilihan. Ketiga, Uceng mengacu pada adanya upaya untuk menghadirkan argumen tentang kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam pemilihan umum. Namun, dia meragukan bahwa MK akan mempertimbangkan argumen tersebut dengan serius, mengingat Bawaslu telah diberi kewenangan untuk menangani TSM.

Meskipun demikian, Uceng mempertimbangkan bahwa gugatan sengketa pemilihan presiden mungkin dapat dimenangkan jika para Hakim MK mampu berpikir lebih luas, tidak hanya terpaku pada angka dan hasil perolehan suara. Namun, dia menyatakan keraguan atas kemungkinan itu dengan konfigurasi MK saat ini. Penjelasan dari Uceng ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan dan peluang dalam menangani sengketa hasil pemilihan presiden di Indonesia, serta menggambarkan kompleksitas proses hukum yang terlibat dalam konteks tersebut.

Gugatan Pilpres 2004 

Dilansir dari detik.com, pada tahun 2004, pasangan calon presiden dan wakil presiden Wiranto-Wahid mendaftarkan gugatan sengketa hasil pemilihan umum pilpres 5 Juli 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pendaftaran gugatan tersebut, pasangan capres-cawapres Wiranto-Wahid mengajukan dua tuntutan utama, yakni pertama, membatalkan Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 79 Tahun 2004 tentang penetapan hasil perhitungan suara capres-cawapres; kedua, menuntut perhitungan ulang hasil pemilu. Namun, hasil dari proses persidangan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim MK menolak seluruh permohonan sengketa hasil pilpres yang diajukan oleh pasangan Wiranto-Wahid. 

Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemohon untuk membuktikan dalil hilangnya suara sebanyak 5.438.660 di 26 provinsi, yang menjadi dasar dari tuntutan mereka. Keputusan tersebut menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam proses persidangan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. Hakim MK menilai bahwa bukti yang diajukan tidak cukup kuat atau tidak memadai untuk mendukung klaim hilangnya suara dalam jumlah yang signifikan. Hal ini menegaskan pentingnya bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks persidangan yang melibatkan isu-isu seputar pemilihan umum.

Gugatan Pilpres 2009 

Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) tahun 2009, pasangan calon Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto merasa tidak puas dengan hasil pemilihan yang menunjukkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai petahana berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang cukup besar. Terlepas dari ketidakpuasan mereka, sidang sengketa hasil pilpres 2009 akhirnya mencapai tahap akhir dengan pembacaan putusan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Mahfud MD.

 Dalam putusan tersebut, majelis hakim konstitusi secara aklamasi menolak gugatan yang diajukan oleh pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo. Alasan penolakan gugatan dari kedua pasangan calon ini didasarkan pada fakta bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon untuk membuktikan adanya kecurangan secara massif dan terstruktur tidak terbukti. Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum.

Selain itu, hal-hal lain yang terkait dengan aspek teknis yang dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan juga tidak dapat dibuktikan sebagai pelanggaran secara massif dan sistematis. 

Dengan demikian, putusan MK menegaskan bahwa klaim-klaim yang diajukan oleh pasangan calon yang kalah tersebut tidak dapat dipertimbangkan karena kurangnya bukti yang mendukung. Putusan ini mencerminkan proses hukum yang transparan dan berdasarkan pada prinsip keadilan, di mana keputusan MK didasarkan pada evaluasi bukti dan argumen yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Meskipun terdapat ketidakpuasan dari pihak yang kalah, namun keputusan MK harus dihormati sebagai hasil dari proses hukum yang berlaku.

Gugatan Pilpres 2014 

Pada Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa dan mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuduh adanya sejumlah ketidaknormalan dalam proses pemilihan umum di 52.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS). 

Saat itu, pasangan Prabowo-Hatta bersaing dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Pada tanggal 21 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh gugatan PHPU yang diajukan oleh kubu Prabowo karena tidak dapat dibuktikan adanya kecurangan dalam skala massif, sistematis, dan terstruktur dalam Pilpres 2014. 

Majelis hakim MK pada saat itu dipimpin oleh Hamdan Zoelva. Keputusan MK ini menunjukkan pentingnya bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum. Meskipun terdapat klaim dari pihak yang kalah tentang adanya kejanggalan dalam proses pemilihan, namun MK memutuskan berdasarkan evaluasi bukti dan argumen yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, putusan MK harus dihormati sebagai hasil dari proses hukum yang berlaku, yang menegaskan keberlangsungan demokrasi dan keadilan dalam negara hukum.

Gugatan Pilpres 2019 

Badan Pemenangan Nasional (BPN) dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara resmi mengajukan gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada malam Jumat, tanggal 24 Mei 2019. Setelah melalui rangkaian persidangan yang intensif, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengambil keputusan pada hari Kamis, tanggal 27 Juni 2019. Dalam putusannya, MK memutuskan untuk menolak seluruh gugatan perselisihan terkait Pilpres 2019-2024 yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo Sandi. 

Keputusan ini menegaskan bahwa MK tidak menemukan cukup bukti atau alasan yang memadai untuk mengubah hasil pemilihan yang telah ditetapkan sebelumnya. Putusan MK ini menunjukkan pentingnya bukti yang kuat dan argumen yang konsisten dalam proses hukum, terutama dalam konteks penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum. Meskipun terdapat ketidakpuasan dari pihak yang kalah, namun keputusan MK harus dihormati sebagai hasil dari proses hukum yang berlaku dan untuk menjaga integritas serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun