"Kita meminta supaya ada pemungutan suara ulang. Tapi, biang masalah calon wakil presiden [Gibran] itu jangan diikutkan lagi supaya tidak ada cawe-cawe dari presiden lagi,"kata Ketua Tim Hukum Nasional AMIN Ari Yusuf Amir.
Gugatan ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat yang signifikan terkait dengan proses pemilihan presiden dan wakil presiden, yang menuntut penanganan hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang-sidang berikutnya, MK akan melakukan pemeriksaan terhadap berbagai argumen dan bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam gugatan ini, dengan tujuan untuk mencapai keputusan yang adil dan berdasarkan hukum. Proses ini akan menjadi bagian integral dari upaya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden secara transparan dan akuntabel.
Sementara itu, tim nasional capres-cawapres nomor urut 03, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, telah mendaftarkan permohonan pada Sabtu, tanggal 23 Maret 2024, pada pukul 16.53 WIB. Permohonan tersebut terdaftar dengan nomor registrasi: 02-03 /AP3PRES/Pan.MK/03/2024.Â
Dalam permohonan mereka, Ganjar-Mahfud meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menjelaskan bahwa permohonan ini diajukan oleh pihaknya karena keikutsertaan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 dinilai telah melanggar ketentuan hukum dan etika yang berlaku.Â
Permohonan ini menunjukkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan dan upaya untuk menegakkan keadilan melalui proses hukum yang berlaku. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh tim nasional capres-cawapres nomor urut 03 ini menjadi bagian dari upaya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Proses ini akan melibatkan pemeriksaan terhadap argumen dan bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang terlibat, dengan tujuan untuk mencapai keputusan yang adil dan berdasarkan hukum.
Menurut Zainal Arifin Mochtar, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang akrab disapa Uceng, kemungkinan untuk memenangkan gugatan sengketa pemilihan presiden atau Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) hampir tidak mungkin. Beliau menegaskan bahwa sejak tahun 2004, pihak yang kalah dalam pilpres selalu gagal saat mengajukan gugatan ke MK. Uceng menjelaskan bahwa ada tiga alasan utama yang membuat gugatan sengketa pemilihan presiden di MK sulit untuk menang. Pertama, terkait dengan proses pembuktian yang sulit dilakukan karena batasan waktu yang ketat. Beliau menggunakan perumpamaan "kayak Bandung Bondowoso" untuk menggambarkan kesulitan pembuktian yang seolah-olah harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat.
Kedua, Uceng menyoroti logika Hakim MK yang cenderung menekankan pada perhitungan angka dalam menilai kecurangan pilpres. Menurutnya, jika kecurangan hanya dilihat dari sisi angka, kemungkinan besar gugatan sengketa pemilu tidak akan berhasil mengubah hasil pemilihan. Ketiga, Uceng mengacu pada adanya upaya untuk menghadirkan argumen tentang kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam pemilihan umum. Namun, dia meragukan bahwa MK akan mempertimbangkan argumen tersebut dengan serius, mengingat Bawaslu telah diberi kewenangan untuk menangani TSM.
Meskipun demikian, Uceng mempertimbangkan bahwa gugatan sengketa pemilihan presiden mungkin dapat dimenangkan jika para Hakim MK mampu berpikir lebih luas, tidak hanya terpaku pada angka dan hasil perolehan suara. Namun, dia menyatakan keraguan atas kemungkinan itu dengan konfigurasi MK saat ini. Penjelasan dari Uceng ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan dan peluang dalam menangani sengketa hasil pemilihan presiden di Indonesia, serta menggambarkan kompleksitas proses hukum yang terlibat dalam konteks tersebut.
Gugatan Pilpres 2004Â
Dilansir dari detik.com, pada tahun 2004, pasangan calon presiden dan wakil presiden Wiranto-Wahid mendaftarkan gugatan sengketa hasil pemilihan umum pilpres 5 Juli 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pendaftaran gugatan tersebut, pasangan capres-cawapres Wiranto-Wahid mengajukan dua tuntutan utama, yakni pertama, membatalkan Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 79 Tahun 2004 tentang penetapan hasil perhitungan suara capres-cawapres; kedua, menuntut perhitungan ulang hasil pemilu. Namun, hasil dari proses persidangan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim MK menolak seluruh permohonan sengketa hasil pilpres yang diajukan oleh pasangan Wiranto-Wahid.Â
Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemohon untuk membuktikan dalil hilangnya suara sebanyak 5.438.660 di 26 provinsi, yang menjadi dasar dari tuntutan mereka. Keputusan tersebut menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam proses persidangan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. Hakim MK menilai bahwa bukti yang diajukan tidak cukup kuat atau tidak memadai untuk mendukung klaim hilangnya suara dalam jumlah yang signifikan. Hal ini menegaskan pentingnya bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks persidangan yang melibatkan isu-isu seputar pemilihan umum.