Gugatan Pilpres 2009Â
Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) tahun 2009, pasangan calon Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto merasa tidak puas dengan hasil pemilihan yang menunjukkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai petahana berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang cukup besar. Terlepas dari ketidakpuasan mereka, sidang sengketa hasil pilpres 2009 akhirnya mencapai tahap akhir dengan pembacaan putusan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Mahfud MD.
 Dalam putusan tersebut, majelis hakim konstitusi secara aklamasi menolak gugatan yang diajukan oleh pasangan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo. Alasan penolakan gugatan dari kedua pasangan calon ini didasarkan pada fakta bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon untuk membuktikan adanya kecurangan secara massif dan terstruktur tidak terbukti. Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum.
Selain itu, hal-hal lain yang terkait dengan aspek teknis yang dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan juga tidak dapat dibuktikan sebagai pelanggaran secara massif dan sistematis.Â
Dengan demikian, putusan MK menegaskan bahwa klaim-klaim yang diajukan oleh pasangan calon yang kalah tersebut tidak dapat dipertimbangkan karena kurangnya bukti yang mendukung. Putusan ini mencerminkan proses hukum yang transparan dan berdasarkan pada prinsip keadilan, di mana keputusan MK didasarkan pada evaluasi bukti dan argumen yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Meskipun terdapat ketidakpuasan dari pihak yang kalah, namun keputusan MK harus dihormati sebagai hasil dari proses hukum yang berlaku.
Gugatan Pilpres 2014Â
Pada Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa dan mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuduh adanya sejumlah ketidaknormalan dalam proses pemilihan umum di 52.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS).Â
Saat itu, pasangan Prabowo-Hatta bersaing dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Pada tanggal 21 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh gugatan PHPU yang diajukan oleh kubu Prabowo karena tidak dapat dibuktikan adanya kecurangan dalam skala massif, sistematis, dan terstruktur dalam Pilpres 2014.Â
Majelis hakim MK pada saat itu dipimpin oleh Hamdan Zoelva. Keputusan MK ini menunjukkan pentingnya bukti yang kuat dan akurat dalam proses hukum, terutama dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum. Meskipun terdapat klaim dari pihak yang kalah tentang adanya kejanggalan dalam proses pemilihan, namun MK memutuskan berdasarkan evaluasi bukti dan argumen yang disampaikan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, putusan MK harus dihormati sebagai hasil dari proses hukum yang berlaku, yang menegaskan keberlangsungan demokrasi dan keadilan dalam negara hukum.
Gugatan Pilpres 2019Â
Badan Pemenangan Nasional (BPN) dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno secara resmi mengajukan gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada malam Jumat, tanggal 24 Mei 2019. Setelah melalui rangkaian persidangan yang intensif, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengambil keputusan pada hari Kamis, tanggal 27 Juni 2019. Dalam putusannya, MK memutuskan untuk menolak seluruh gugatan perselisihan terkait Pilpres 2019-2024 yang diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo Sandi.Â