Karyawan di Jepang secara umum menerima kenaikan gaji rata-rata sekitar 8% setiap 16 bulan. Periode 16 bulan untuk peningkatan gaji ini sebagian besar disebabkan oleh praktik penilaian kinerja yang jarang dilakukan setiap tahun. Peningkatan gaji ini tidak bersifat seragam dan dapat bervariasi tergantung pada industri tempat karyawan bekerja dan tingkat pengalaman yang dimiliki oleh karyawan tersebut.Â
Kenaikan gaji yang disesuaikan dengan pengalaman kerja sering kali terjadi karena perusahaan ingin memberikan insentif kepada karyawan berpengalaman untuk terus memberikan kontribusi yang berarti dan mempertahankan loyalitas mereka terhadap perusahaan.Â
Ini dapat dianggap sebagai bentuk penghargaan atas pengetahuan, keterampilan, dan kontribusi yang telah dimiliki oleh karyawan dalam jangka waktu tertentu. Namun demikian, perlu dicatat bahwa angka kenaikan gaji ini bersifat umum dan dapat berbeda-beda antar perusahaan, terutama tergantung pada kebijakan internal masing-masing perusahaan dan kondisi pasar tenaga kerja saat itu.Â
Beberapa industri atau sektor mungkin menawarkan kenaikan gaji yang lebih besar atau lebih kecil daripada angka rata-rata tersebut, tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, persaingan pasar, dan kebijakan perusahaan tertentu.
'Karoshi' secara harfiah berarti bekerja sampai mati. Istilah ini merujuk pada fenomena di mana seorang karyawan bekerja secara ekstrem hingga mengakibatkan kematian. Meskipun mungkin terdengar ekstrem bahkan hampir lucu, tetapi 'karoshi' merupakan isu serius yang telah menjadi perhatian dalam budaya tempat kerja Jepang selama beberapa dekade. Tekanan kerja yang sangat tinggi, kelelahan yang konstan, dan frustasi yang dialami oleh karyawan, terutama para senior, telah menyebabkan beberapa orang Jepang terjebak dalam lingkaran bekerja yang tidak berkesudahan.
Penyebab utama 'karoshi' biasanya terkait dengan kondisi kesehatan seperti stroke, penyakit jantung, atau bahkan bunuh diri. Fenomena ini menyoroti dampak negatif dari budaya kerja yang sangat kompetitif dan menuntut di Jepang, di mana bekerja keras sering kali dianggap sebagai nilai yang sangat dihargai.Â
Banyak karyawan merasa terpaksa untuk mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mereka demi mencapai target dan harapan yang ditetapkan oleh perusahaan atau atasan mereka. Meskipun ada unsur humor gelap dalam penggunaan istilah ini, penting untuk diingat bahwa 'karoshi' adalah masalah serius yang mempengaruhi kesejahteraan dan kehidupan karyawan.
Pemerintah dan perusahaan di Jepang telah melakukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, seperti mengurangi jam kerja, memperkenalkan kebijakan kesejahteraan karyawan, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
Di tempat kerja Jepang, terdapat sebuah aturan tak tertulis yang telah lama berlaku, yaitu bahwa karyawan hanya boleh meninggalkan pekerjaan setelah manajer mereka pergi. Meskipun ini merupakan aturan yang tidak diucapkan secara langsung, namun masih diikuti oleh banyak karyawan hingga saat ini. Meskipun budaya barat telah mendorong untuk mencapai keseimbangan kehidupan kerja yang tepat, dengan menetapkan jam kerja yang sesuai dan memastikan bahwa pekerjaan tidak mengganggu waktu pribadi, namun pembaruan dalam hal ini di Jepang berjalan lambat.Â
Meskipun jam kerja tertulis dalam kontrak kerja tidak menjadi masalah di Jepang, namun aturan tak tertulis untuk hanya meninggalkan tempat kerja setelah manajer pergi dianggap sangat penting. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya hierarki dalam budaya kerja Jepang, di mana karyawan merasa terikat untuk tetap berada di tempat kerja sampai manajer mereka meninggalkannya.Â
Hal ini juga mencerminkan nilai-nilai seperti kesetiaan dan dedikasi terhadap perusahaan dan atasan. Meskipun ada dorongan untuk mengubah pola pikir ini dan mencapai keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan kerja dan pribadi, proses perubahan tersebut masih lambat di Jepang.Â