Sejarah dan Makna TakjilÂ
Takjil berasal dari kata "ta'jil" yang berarti menyegerakan. Tradisi ini telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan telah menjadi bagian penting dalam budaya Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, tradisi takjil sudah dikenal sejak abad ke-15, yang dibawa oleh para Wali Songo. Menurut laman resmi Muhammadiyah, pada Senin (18/3/2024), istilah takjil diambil dari hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi, "Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka." Dalam bahasa Arab, istilah "menyegerakan" dalam hadits tersebut memiliki medan semantik, yaitu ajjala--yu'ajjilu--ta'jilan yang artinya momentum, tergesa-gesa, menyegerakan, atau mempercepat. Dari situ, takjil diasosiasikan dengan anjuran untuk menyegerakan berbuka puasa.
Lebih lanjut, disebutkan bahwa tradisi takjil dimiliki oleh setiap komunitas Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Snouck Hurgronje dalam laporannya setelah mengunjungi Aceh pada 1891--1892, dalam karyanya yang berjudul "De Atjehers," mencatat bahwa masyarakat lokal telah mengadakan buka puasa (takjil) di masjid secara beramai-ramai dengan menyajikan ie bu peudah atau bubur pedas. Riwayat lain mencatat bahwa takjil menjadi salah satu sarana dakwah yang digunakan oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Jawa sejak sekitar abad ke-15. Suara Muhammadiyah menyebutkan bahwa tradisi takjil dilakukan di Masjid Kauman Yogyakarta pada tahun 1950-an, dan sejak itu terus dilestarikan oleh Muhammadiyah dan akhirnya populer di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa tradisi takjil memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam di Indonesia, dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya berpuasa umat Muslim, tidak hanya sebagai praktik ibadah, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama.
Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya berjudul "Kiai Ahmad Dahlan & Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan" (2010) menyimpulkan bahwa Muhammadiyah memiliki peran yang signifikan dalam mempopulerkan tradisi takjil selama Ramadan. Munir menegaskan bahwa Muhammadiyah, sebagai gerakan tajdid atau pembaharuan, turut serta dalam memperkenalkan praktik menyelenggarakan takjil untuk mempercepat waktu berbuka puasa umat Muslim. Dalam pandangan Munir, berbagi takjil selama Ramadan dianggap sebagai salah satu amalan yang mulia. Beliau mengutip bahwa anjuran untuk memberi takjil bahkan disampaikan secara langsung oleh Rasulullah sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan rahmat dan pahala dari Allah.
Melalui pendekatannya, Profesor Munir Mulkhan menyoroti peran Muhammadiyah dalam memperkuat tradisi takjil sebagai bagian dari upaya pembaharuan dalam dunia Islam. Pengenalan tradisi ini tidak hanya menjadi sebuah praktik keagamaan semata, tetapi juga menjadi bagian dari upaya untuk mempercepat dan memperkaya pengalaman spiritual umat Muslim selama bulan Ramadan. Dengan demikian, tradisi takjil menjadi simbol dari nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas sosial, dan spiritualitas yang dijunjung tinggi dalam Islam, serta bagian integral dari praktik keagamaan umat Muslim di Indonesia.
Ketika seseorang memberikan takjil kepada orang lain, tindakan tersebut tidak hanya memberikan manfaat fisik berupa makanan, tetapi juga membawa kehangatan dan memperkuat rasa persaudaraan. Syekh Said Muhammad Ba'asyin, dalam kitabnya yang berjudul "Busyral Karim," menyatakan bahwa dalam Islam, disunahkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk berbagi sesuatu dengan orang lain untuk membuka puasanya, meskipun hanya sebatang kurma atau secangkir air. Pernyataan Syekh Said Muhammad Ba'asyin menggarisbawahi pentingnya berbagi dalam agama Islam, terutama saat berpuasa. Tindakan memberi takjil tidak hanya merupakan kewajiban sosial dan moral, tetapi juga merupakan bagian dari praktik keagamaan yang dianjurkan. Lebih dari sekadar memberikan makanan, memberi takjil mencerminkan semangat saling peduli dan persaudaraan yang harus dijaga dalam komunitas Muslim.
Dengan memberikan takjil, seseorang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik orang lain, tetapi juga menyuburkan hubungan sosial dan emosional antarindividu. Hal ini menciptakan ikatan yang lebih erat dalam komunitas Muslim, meningkatkan rasa saling percaya, dan memperkuat solidaritas antar sesama umat Muslim. Dalam konteks ini, tradisi memberi takjil bukan hanya sebuah praktik rutin selama bulan Ramadan, tetapi juga sebuah amalan yang membawa berkah dan memberikan dampak positif secara sosial dan spiritual bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian, tindakan memberi takjil merupakan wujud nyata dari ajaran Islam tentang kasih sayang, kepedulian, dan kebersamaan yang harus dijunjung tinggi oleh umat Muslim.
Keutamaan Berbagi TakjilÂ
Memberi takjil tidak hanya mengenai memenuhi kebutuhan perut seseorang, tetapi juga membawa banyak keutamaan dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk berbagi takjil, bahkan jika hanya sebatang kurma atau secangkir air. Beberapa keutamaan memberi takjil antara lain sebagai berikut: