Ramadan dihiasi dengan gemerlap pengajian kitab kuning Fathul Mu'in di Masjid NU Cabang Ponorogo. Pada sore hari Rabu, 13 Maret 2024, Pengurus Cabang PMII Ponorogo serta Kopri PMII Ponorogo turut mengiringi jamaah dalam memperdalam samudra ilmu tentang puasa.Â
SemarakAcara tersebut dipandu oleh Qori' Ustadz Muh. Muzakka, yang menggali secara mendalam makna dan hukum puasa Ramadan berdasarkan penjelasan dalam kitab Fathul Mu'in. Dalam kajian tersebut, setiap aspek puasa Ramadan dijelaskan secara terperinci, mencakup prinsip-prinsip dasar, tata cara pelaksanaan, serta hukum-hukum yang berkaitan. Penyampaian materi dilakukan dengan penuh kecermatan dan kejelasan, sehingga para peserta dapat memahami dengan baik setiap pokok bahasan yang disampaikan.
Selain itu, pembahasannya juga mencakup aspek-aspek praktis seputar puasa, termasuk hal-hal yang perlu dihindari serta amalan-amalan yang dianjurkan selama bulan Ramadan. Dengan demikian, kajian tersebut tidak hanya memberikan pemahaman teoritis, tetapi juga memberikan panduan praktis bagi para jamaah dalam menjalankan ibadah puasa dengan sempurna sesuai dengan ajaran agama.
Partisipasi dari Pengurus Cabang PMII Ponorogo dan Kopri PMII Ponorogo menunjukkan komitmen mereka dalam mendukung kegiatan keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di kalangan masyarakat. Dengan adanya kolaborasi antara berbagai organisasi kemasyarakatan, semangat kebersamaan dalam menjalankan ibadah Ramadan semakin terasa kuat dan bersemangat.Â
Ini juga menjadi momentum untuk memperkokoh jalinan silaturahmi antarwarga serta meningkatkan kebersamaan dalam memperkuat pondasi agama dan keimanan.
Kajian dimulai dengan pembahasan tentang definisi puasa, yang dijelaskan sebagai tindakan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya. Ustadz Muzakka menjelaskan bahwa puasa Ramadan, yang merupakan salah satu rukun Islam, ditetapkan untuk dilakukan pada bulan Sya'ban, setelah sebelumnya umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama tiga hari setiap bulan dan juga puasa Asyura.Â
Pengertian tersebut dijelaskan dengan seksama untuk memastikan pemahaman yang tepat terhadap konsep puasa dalam agama Islam. Puasa bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga meliputi penahanan dari perilaku-perilaku yang dapat mengurangi nilai ibadah, seperti berbohong, berbuat dosa, dan perilaku negatif lainnya.
Dalam konteks puasa Ramadan, Ustadz Muzakka menegaskan pentingnya memahami bahwa puasa pada bulan ini adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan oleh syariat Islam. Hal ini mencakup menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan kepatuhan terhadap ajaran agama.Â
Penjelasan tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang pentingnya puasa dalam agama Islam serta keterkaitannya dengan bulan Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan ampunan. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap konsep puasa ini, diharapkan para jamaah dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah SWT.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah memperkenalkan babak baru dalam sejarah puasa. Pada masa itu, belum ada tradisi berpuasa Ramadan, sehingga umat Islam diberi opsi untuk menjalankan puasa atau membayar fidyah sebagai ganti. Namun, seiring berjalannya waktu, puasa Ramadan menjadi kewajiban yang disepakati oleh seluruh ulama (ijma').Â
Peristiwa kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah menandai perubahan signifikan dalam praktik ibadah puasa. Sebelumnya, puasa tidak secara spesifik terkait dengan bulan Ramadan, dan umat Islam diperbolehkan untuk mengganti puasa dengan membayar fidyah jika mereka tidak mampu menjalankannya. Namun, dengan munculnya ajaran Islam yang lebih terorganisir di Madinah, puasa Ramadan secara bertahap menjadi kewajiban yang ditetapkan bagi umat Islam.
Perkembangan ini tidak terjadi secara instan, tetapi melalui proses yang panjang dan berangsur-angsur. Melalui diskusi dan konsultasi antara Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta pemahaman dan interpretasi ulama yang terus berkembang, puasa Ramadan akhirnya dinyatakan sebagai kewajiban bagi umat Islam dengan kesepakatan semua ulama (ijma'). Keputusan ini mengukuhkan puasa Ramadan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak bisa diabaikan.Â
Puasa Ramadan bukan hanya sekedar kewajiban ibadah, tetapi juga menjadi salah satu tanda identitas umat Islam dan momentum untuk memperkuat ikatan spiritual dengan Allah SWT. Dengan demikian, penting bagi umat Islam untuk memahami betapa pentingnya menjalankan ibadah puasa Ramadan sesuai dengan ajaran agama yang telah disepakati oleh para ulama secara kolektif.
Penetapan kewajiban puasa Ramadan didasarkan pada rukyatul hilal. Di Indonesia, umat Islam mengikuti keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penetapan awal bulan Ramadan 1445 H. Rukyatul hilal adalah proses pengamatan bulan baru yang digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadan.Â
Umat Islam mengawasi langit pada malam hari setelah bulan sabit terbenam, mencari tanda-tanda awal bulan baru. Jika bulan baru terlihat, maka bulan Ramadan dimulai dan puasa wajib dilaksanakan mulai hari pertama. Di Indonesia, MUI memiliki peran penting dalam menetapkan awal bulan Ramadan. MUI melakukan pengamatan rukyatul hilal secara sistematis dan mengeluarkan keputusan resmi tentang penetapan awal bulan Ramadan setiap tahunnya.Â
Keputusan ini menjadi acuan bagi umat Islam di seluruh Indonesia untuk memulai ibadah puasa Ramadan sesuai dengan ketetapan yang telah ditetapkan oleh otoritas keagamaan. Pengaturan ini bertujuan untuk memastikan kesatuan dalam pelaksanaan ibadah puasa di seluruh negeri, menghindari perbedaan pendapat yang dapat membingungkan umat Islam, dan memperkuat rasa persatuan dalam menjalankan kewajiban agama.Â
Dengan mengikuti keputusan MUI, umat Islam di Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan keyakinan bahwa mereka melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan praktek yang telah ditetapkan secara resmi oleh otoritas keagamaan yang terkemuka.
Ustadz Muzakka kemudian membahas secara mendalam syarat-syarat wajib puasa bagi individu yang telah mencapai mukallaf (baligh dan berakal). Dengan menariknya, beliau menegaskan pentingnya mencatat tanggal lahir anak dalam kalender Hijriah. Tujuannya adalah untuk mempermudah orang tua dalam menentukan apakah anak tersebut sudah mencapai baligh dan wajib berpuasa.Â
Pencatatan tanggal lahir anak dalam kalender Hijriah menjadi kunci dalam menentukan kewajiban berpuasa. Sebagai umat Islam, penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang usia anak ketika ia mencapai tahap baligh dan harus mulai menjalankan kewajiban puasa.Â
Dengan mencatat tanggal lahir anak dalam kalender Hijriah, orang tua dapat memantau perkembangan anak mereka secara tepat dan akurat. Melalui pemahaman tentang usia baligh dan kewajiban berpuasa, orang tua dapat memberikan pendampingan yang sesuai dan memastikan bahwa anak-anak mereka memulai ibadah puasa dengan kesadaran dan kesiapan yang tepat.Â
Dengan demikian, pencatatan tanggal lahir dalam kalender Hijriah bukan hanya sekedar tindakan administratif, tetapi juga merupakan bagian integral dari tanggung jawab orang tua dalam membimbing anak-anak mereka dalam menjalankan kewajiban agama.
Ustadz Muzakka menjelaskan beberapa kondisi yang menjadi pengecualian dari kewajiban berpuasa, baik dari perspektif lahiriah maupun syariah:
1. Dari segi fisik dan mental, terdapat beberapa kelompok yang dikecualikan dari kewajiban puasa, yaitu anak kecil, orang yang tidak berakal (gila), dan individu yang sedang dalam kondisi sakit. Pengecualian ini didasarkan pada ketidakmampuan mereka untuk menjalankan puasa dengan baik karena terbatasnya kemampuan fisik atau mental yang dimiliki. Dalam konteks ini, syariat Islam memberikan keringanan bagi mereka untuk tidak menjalankan kewajiban puasa.
Anak kecil mengacu pada mereka yang belum mencapai usia baligh atau kematangan fisik dan mental yang diperlukan untuk menjalankan puasa dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Begitu pula dengan orang yang tidak berakal (gila), di mana kondisi mental mereka tidak memungkinkan untuk memahami dan melaksanakan kewajiban agama dengan benar. Sementara itu, orang yang sedang sakit dikecualikan dari kewajiban puasa karena kondisi fisik mereka yang memerlukan perawatan dan istirahat, serta kemungkinan adanya kontraindikasi medis terhadap puasa yang dapat memperburuk kesehatan mereka.
Pemahaman ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan kondisi fisik dan mental individu dalam menetapkan kewajiban agama, termasuk dalam konteks ibadah puasa. Pengecualian ini dirancang untuk memastikan bahwa ibadah dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kepatuhan, sambil memperhatikan kondisi individu secara menyeluruh. Dengan demikian, keringanan yang diberikan oleh syariat Islam dalam hal ini bertujuan untuk menjaga kesejahteraan dan keseimbangan spiritual dan fisik umatnya.
2. Dari perspektif syariah, terdapat pengecualian bagi perempuan yang sedang mengalami menstruasi (haid) dan setelah melahirkan (nifas) dari kewajiban berpuasa. Pengecualian ini didasarkan pada ketetapan syariat Islam yang menegaskan bahwa wanita dalam kondisi ini tidak diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa.Â
Hal ini mengingat kondisi fisik dan fisiologis yang mereka alami, yang membutuhkan istirahat dan pemulihan yang memadai. Ketika seorang perempuan mengalami menstruasi (haid), tubuhnya sedang mengalami perubahan fisiologis yang alami dan terkait dengan siklus reproduksi.Â
Pada saat yang sama, proses nifas setelah melahirkan juga merupakan periode di mana tubuhnya sedang pulih dari proses persalinan. Dalam kedua kondisi ini, tubuh perempuan memerlukan istirahat dan perawatan khusus untuk memulihkan kekuatan fisik dan kesehatan secara keseluruhan.
Pengecualian ini bertujuan untuk memastikan bahwa perempuan dapat menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan memprioritaskan pemulihan fisik di atas menjalankan ibadah puasa. Selain itu, pengecualian ini juga menunjukkan pemahaman yang dalam dari syariat Islam terhadap kondisi fisiologis perempuan dan kebutuhan mereka selama periode tertentu dalam siklus kehidupan mereka.Â
Dengan demikian, pengecualian puasa bagi perempuan yang sedang mengalami haid dan nifas merupakan bagian dari rahmat dan kearifan syariat Islam yang memperhatikan kesejahteraan individu dalam menjalankan ibadah, sambil tetap memastikan kesadaran spiritual dan kepatuhan terhadap ajaran agama.
Penjelasan ini menggambarkan bahwa dalam Islam, ada pemahaman yang mendalam tentang kondisi-kondisi tertentu yang dapat menjadi pengecualian dari kewajiban berpuasa. Hal ini bertujuan untuk memberikan keringanan kepada individu yang dalam kondisi tidak mampu atau membutuhkan istirahat, serta memastikan bahwa ibadah puasa dilaksanakan dengan kesadaran dan kepatuhan yang tepat terhadap ajaran agama.
Mengenai niat untuk membuka puasa, Ustadz Muzakka menjelaskan bahwa ada pandangan dari sebagian ulama yang memperbolehkan niat tersebut dilakukan setelah seseorang telah memulai proses buka puasa. Niat ini dapat dilakukan di dalam hati tanpa harus diucapkan secara lisan. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa niat adalah suatu kondisi batin yang mendasari segala perbuatan ibadah. Dalam konteks buka puasa, seseorang dapat memiliki niat untuk berbuka di dalam hati saat mulai mengkonsumsi makanan atau minuman, tanpa perlu mengucapkannya secara lisan.
Pendapat ini memberikan fleksibilitas kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadah puasa, khususnya dalam hal penentuan niat. Dengan memperbolehkan niat setelah memulai proses buka puasa, hal ini memungkinkan seseorang untuk tetap memenuhi kewajiban berpuasa meskipun terjadi kelupaan atau kekurangan dalam menetapkan niat secara eksplisit sebelumnya.Â
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat mengenai hal ini mungkin berbeda-beda di antara para ulama dan mazhab Islam. Beberapa mazhab mungkin mengharuskan niat puasa untuk dinyatakan secara lisan sebelum fajar atau sebelum mulai berpuasa. Oleh karena itu, dalam menjalankan ibadah puasa, seseorang sebaiknya memahami pandangan yang dianut oleh mazhab atau ulama yang mereka ikuti, sambil tetap memperhatikan kehati-hatian dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
Mengenai usia perempuan yang dianggap mengalami haid, Ustadz Muzakka menjelaskan bahwa secara umum, masa haid biasanya dimulai pada usia sekitar 9 tahun. Setelah selesai masa haid, perempuan tersebut wajib menjalankan ibadah puasa. Pendapat ini didasarkan pada observasi dan pengamatan yang dilakukan terhadap pola perkembangan fisik dan fisiologis perempuan. Usia 9 tahun merupakan usia yang umumnya dianggap sebagai awal dari masa pubertas, di mana tubuh perempuan mulai mengalami perubahan hormon dan siklus menstruasi.
Setelah selesai masa haid, perempuan diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal ini merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dipatuhi oleh setiap individu yang telah mencapai usia baligh dan mukallaf. Dengan memberikan pemahaman tentang usia awal haid dan kewajiban berpuasa setelahnya, Ustadz Muzakka memberikan pedoman praktis bagi perempuan dalam menjalankan ibadah puasa sesuai dengan ajaran agama Islam. Pemahaman yang tepat tentang hal ini penting untuk memastikan pelaksanaan ibadah yang benar dan ketaatan terhadap ajaran agama yang telah ditetapkan.
Meskipun dianjurkan, sahur tidak diwajibkan dalam Islam. Selain itu, niat untuk berpuasa yang dilakukan saat sahur juga tidak cukup jika tidak disertai dengan keinginan yang tulus dalam hati untuk menjalankan puasa. Dalam ajaran Islam, sahur merupakan sunnah yang sangat dianjurkan karena memberikan kekuatan dan ketahanan fisik bagi orang yang berpuasa sepanjang hari.Â
Namun demikian, tidak ada kewajiban yang mengikat umat Islam untuk sahur. Hal ini menunjukkan bahwa sahur merupakan tindakan yang dianjurkan tetapi tidak diwajibkan, dan seseorang dapat memilih untuk melakukannya atau tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing.
Selain itu, niat untuk berpuasa yang dilakukan saat sahur juga penting dalam menjalankan ibadah puasa. Namun, niat tersebut harus disertai dengan keinginan yang tulus dan sungguh-sungguh dalam hati untuk menjalankan ibadah puasa sesuai dengan ajaran agama Islam. Niat yang hanya dilakukan secara formal tanpa disertai dengan keinginan yang tulus dalam hati tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk menjalankan puasa dengan benar.Â
Penekanan ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa bukan hanya sekedar menjalankan ritual fisik, tetapi juga melibatkan aspek-aspek spiritual dan kejiwaan yang membutuhkan kesungguhan dan kepatuhan yang tulus kepada ajaran agama. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang sahur dan niat puasa sangat penting dalam memastikan pelaksanaan ibadah puasa yang benar dan berpahala.
Menurut madzhab Hanafiah, niat puasa harus dinyatakan setiap harinya secara eksplisit. Dalam pandangan ini, setiap individu yang berpuasa harus secara tegas menyatakan niatnya untuk menjalankan ibadah puasa pada setiap hari puasa yang dilaksanakan. Pendekatan ini menekankan pentingnya kesadaran dan kejelasan dalam menetapkan niat sebelum memulai ibadah puasa.Â
Di sisi lain, Imam Malik berpendapat bahwa menetapkan niat puasa untuk sebulan penuh hukumnya sunah (disarankan) untuk menjaga-jaga jika seseorang lupa menetapkan niat pada awal bulan Ramadan. Dalam perspektif ini, menetapkan niat puasa untuk sebulan penuh di awal bulan Ramadan menjadi langkah pencegahan agar tidak terjadi kelalaian dalam menetapkan niat secara individual setiap harinya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah memperbolehkan niat puasa dilakukan di pagi hari sebelum waktu Dhuhur. Dalam pandangan ini, seseorang dapat menetapkan niat untuk berpuasa pada hari tersebut setelah bangun tidur dan sebelum waktu Dhuhur tiba. Pendapat ini memberikan kelonggaran kepada individu dalam menetapkan niat puasa, tetapi tetap memastikan bahwa niat tersebut dinyatakan sebelum waktu yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.Â
Perbedaan pendapat ini mencerminkan keragaman dalam interpretasi dan praktik ibadah puasa di antara berbagai mazhab dalam Islam. Meskipun ada perbedaan pendapat, prinsip kesadaran dan kepatuhan terhadap ajaran agama tetap menjadi inti dari setiap pandangan, yang bertujuan untuk memastikan pelaksanaan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan agama yang diyakini.
Kajian ini tidak hanya dihadiri oleh jamaah yang hadir langsung di masjid, tetapi juga disiarkan secara online melalui platform daring. Antusiasme para jamaah terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan, baik secara langsung maupun melalui media daring. Diskusi yang hidup dan bersemangat menunjukkan minat yang besar dari peserta untuk memperdalam pemahaman mereka tentang puasa Ramadan berdasarkan kitab Fathul Mu'in.
Acara kajian ditutup dengan sesi buka bersama, di mana para jamaah dapat menikmati hidangan rawon yang lezat. Suasana kebersamaan dalam acara buka bersama memperkuat rasa persaudaraan dan kebersamaan di antara jamaah. Hal ini juga menjadi momen untuk berbagi kebahagiaan dan kenikmatan bersama setelah menjalankan ibadah puasa dan memperoleh ilmu pengetahuan baru dalam kajian tersebut.Â
Penyelenggaraan kajian yang menggabungkan antara kegiatan luring di masjid dan siaran daring menunjukkan kesungguhan dalam menyediakan akses bagi semua individu untuk memperoleh manfaat dari acara tersebut. Dengan cara ini, kajian dapat mencapai lebih banyak peserta dan memperluas dampaknya dalam penyebaran ilmu agama dan semangat kebersamaan di kalangan umat Islam.
Pengajian kitab kuning Fathul Mu'in di Masjid NU Cabang Ponorogo merupakan salah satu manifestasi semarak Ramadan. Kajian ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang ibadah puasa, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat tali persaudaraan di antara umat Islam.Â
Kegiatan ngaji kitab kuning Fathul Mu'in di masjid menjadi bukti nyata dari semangat kebersamaan umat Islam dalam mengisi bulan Ramadan dengan ibadah dan pengetahuan agama. Melalui kajian ini, para jamaah dapat memperdalam pemahaman mereka tentang hukum dan makna puasa Ramadan berdasarkan penafsiran dalam kitab Fathul Mu'in.
Tidak hanya itu, kajian ini juga menjadi wadah untuk memperkuat tali persaudaraan di antara umat Islam. Kehadiran para jamaah dari berbagai lapisan masyarakat, baik dari kalangan muda maupun tua, menunjukkan semangat bersama dalam mengeksplorasi dan memahami ajaran agama Islam. Diskusi dan interaksi antara para peserta juga menjadi ajang untuk saling berbagi pengalaman dan pandangan, yang pada akhirnya mempererat rasa persaudaraan di antara mereka.Â
Dengan demikian, ngaji kitab kuning Fathul Mu'in di Masjid NU Cabang Ponorogo tidak hanya menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan agama, tetapi juga menjadi momentum untuk memperkokoh hubungan kebersamaan dan persaudaraan di tengah umat Islam, sehingga menciptakan suasana Ramadan yang penuh berkah dan harmoni.
Semoga pada bulan Ramadan yang penuh berkah ini, kita dapat meningkatkan mutu ibadah dan memperluas wawasan dengan ilmu agama. Dalam bulan Ramadan, umat Islam di seluruh dunia berupaya untuk memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT melalui ibadah-ibadah yang dikerjakan dengan lebih intensif dan penuh kesadaran. Oleh karena itu, harapan untuk meningkatkan kualitas ibadah menjadi bagian yang sangat penting dalam doa kita di bulan yang mulia ini.
Tidak hanya itu, bulan Ramadan juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menambah pengetahuan agama. Dengan memperkaya diri dengan ilmu agama, umat Islam dapat lebih memahami ajaran Islam dengan lebih baik dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup pemahaman tentang hukum-hukum agama, prinsip-prinsip moral, serta nilai-nilai etika yang menjadi landasan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim.Â
Dengan demikian, doa ini mencerminkan aspirasi umat Islam untuk memanfaatkan bulan Ramadan sebagai kesempatan untuk memperdalam kualitas ibadah dan memperkaya diri dengan ilmu agama. Dengan melakukan hal ini, diharapkan kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah SWT, serta menjadi panutan bagi sesama umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H