Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ketentuan Pelaksanaan Shalat Tarawih Cepat dalam Kajian Fiqih: Memahami Keseimbangan Antara Ketenangan dan Efisiensi

12 Maret 2024   22:59 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:03 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan shalat Tarawih di bulan Ramadhan. (Foto: NOJ/ ISt)/jatim.nu.or.id

Shalat tarawih adalah salah satu ibadah sunat yang khusus dilakukan pada malam-malam bulan Ramadhan. Nama "tarawih" berasal dari kata "raha" dalam bahasa Arab yang memiliki makna "rehat", "tenang", "nyaman", atau "lepas dari kesibukan". Oleh karena itu, shalat tarawih seharusnya dilakukan dengan ketenangan dan khusyuk, sebagai sarana untuk meraih ketenangan dan melepaskan diri dari kesibukan dunia. Dalam shalat tarawih, umat Islam berkumpul di masjid untuk melaksanakan serangkaian rakaat yang disertai dengan bacaan Al-Quran. Shalat ini dimulai setelah shalat Isya dan dilakukan secara berjamaah. Biasanya, jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 8, 12, atau 20 rakaat, tetapi bisa berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau masjid tempat pelaksanaannya.

Pelaksanaan shalat tarawih merupakan salah satu tradisi yang dijalankan umat Islam dalam bulan suci Ramadhan sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang penuh berkah tersebut. Selain sebagai ibadah yang dianjurkan, shalat tarawih juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT melalui bacaan Al-Quran dan doa-doa yang khusyuk. Dengan melakukan shalat tarawih, umat Islam diharapkan dapat mencapai ketenangan batin dan mendapatkan keberkahan dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Shalat ini juga menjadi momentum untuk meningkatkan kebersamaan dan kekompakan umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan yang penuh berkah ini.

Dalam pelaksanaannya, shalat tarawih sering kali dilakukan dengan cepat dan terburu-buru, terutama karena ada kecenderungan untuk mengejar jumlah rakaat tertentu. Hal ini sering menyebabkan pengurangan dalam kualitas pelaksanaan shalat tersebut. Salah satu rukun shalat yang penting adalah membaca Surah Al-Fatihah, yang memiliki sepuluh syarat seperti yang diuraikan oleh Syekh Zainuddin Al-Malaibari.

Berikut adalah sepuluh syarat membaca Surah Al-Fatihah:

  • Membaca semua ayat Surah Al-Fatihah.
  •  Surah Al-Fatihah dibaca saat berdiri dalam shalat.
  • Membaca Surah Al-Fatihah dengan niat membacanya.
  •  Surah Al-Fatihah minimal dibaca sedemikian rupa sehingga terdengar oleh diri sendiri.
  •  Membaca Surah Al-Fatihah dalam bahasa Arab, tanpa menggantinya dengan bahasa lain.
  •  Menjaga semua tasydid (pembarisan ganda huruf) yang ada dalam Surah Al-Fatihah.
  •  Menjaga keseluruhan huruf-huruf Surah Al-Fatihah dengan baik.
  •  Tidak ada cacat bacaan yang dapat merusak makna dari Surah Al-Fatihah.
  •  Membaca Surah Al-Fatihah dengan kelancaran, tanpa terlalu lama menghentikan bacaan.
  • Membaca Surah Al-Fatihah dengan urutan ayat yang sesuai dengan mushaf Al-Quran.

Informasi tersebut dapat ditemukan dalam kitab "Fathul Mu'in" halaman 99. Memahami dan memenuhi sepuluh syarat tersebut adalah penting dalam menjalankan shalat agar dapat memperoleh keberkahan dan penerimaan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat tarawih dengan memperhatikan kualitas dan ketelitian dalam melaksanakan setiap rukun dan syarat shalat, termasuk dalam membaca Surah Al-Fatihah.

Setelah membaca Surah Al-Fatihah, seorang muslim dalam shalat tarawih kemudian melanjutkannya dengan membaca surat atau ayat-ayat lain dari Al-Qur'an. Seperti yang berlaku umum, dalam membaca Al-Qur'an, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat, dianjurkan untuk melakukannya dengan tartil atau perlahan-lahan, sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur'an itu sendiri. Pedoman untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil ditemukan dalam Surat Al-Muzammil ayat 4, di mana Allah SWT menyatakan, 

  اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ ۝٤ 
Artinya: "atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan."

Ayat ini menekankan pentingnya membaca Al-Qur'an dengan tenang, perlahan, dan jelas, sehingga setiap kata dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Pembacaan Al-Qur'an dengan tartil tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap kitab suci umat Islam, tetapi juga membantu dalam pemahaman dan refleksi terhadap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan membaca Al-Qur'an dengan tartil, seorang muslim dapat merasakan kedamaian, kebijaksanaan, dan kebenaran yang terpancar dari setiap ayat yang dibacanya. Oleh karena itu, dalam shalat tarawih maupun di luar shalat, umat Islam dianjurkan untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil, sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur'an sendiri. Hal ini merupakan bagian penting dari ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT serta memperkaya spiritualitas dan keimanan umat Islam.

Dalam konteks tartil, Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa tartil mencakup dua aspek penting, yaitu tajwidul huruf dan ma'rifatul wuquf. Tajwidul huruf merujuk pada cara yang baik dan benar dalam melafalkan huruf-huruf dalam Al-Qur'an, sementara ma'rifatul wuquf berkaitan dengan pengetahuan tentang tempat-tempat berhentinya bacaan (waqaf) dalam Al-Qur'an. Konsep tartil membutuhkan pembagusan atau pengucapan huruf-huruf dengan baik dan tepat, serta pemahaman tentang tempat-tempat berhentinya bacaan. Kriteria untuk membaguskan huruf minimal mencakup kemampuan dalam mengucapkan huruf dari tempat keluarnya (makhraj) dengan benar, seperti al-jauf, tharful lisan, dan halq, serta memenuhi sifat-sifat huruf dengan baik.

Sifat-sifat huruf yang harus dipenuhi mencakup sifat lazimah, seperti jahr (pengucapan keras), hams (pengucapan lembut), ithbaq (penyempitan), istifal (pemanjangan), dan isti'la (penyaringan), serta sifat 'aridhah, seperti idgham (penyatuhan), izhar (pembebasan), ikhfa (penyamaran), dan imalah (penyilangan). Pengetahuan dan penerapan tajwidul huruf serta ma'rifatul wuquf dalam tartil membantu memastikan bahwa pembacaan Al-Qur'an dilakukan dengan baik, jelas, dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Ini tidak hanya meningkatkan keindahan dan kualitas bacaan, tetapi juga membantu dalam pemahaman dan penghayatan makna Al-Qur'an secara lebih mendalam. Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "An-Nasyr fil Qira'atil-'Asyr" halaman 209. Melalui pemahaman yang baik tentang tartil, umat Islam diharapkan dapat menghormati dan memperindah bacaan Al-Qur'an, serta meraih manfaat spiritual yang lebih besar dari ibadah membaca Al-Qur'an.

Jika melihat tartil sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib, maka jelas bahwa pembacaan Al-Qur'an tidak bisa dilakukan dengan cepat-cepat. Konsep tartil menuntut pembacaan Al-Qur'an dilakukan dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian dalam melafalkan huruf-huruf serta memperhatikan tempat-tempat berhenti bacaan (waqaf). Imam As-Syafi'i juga menegaskan pentingnya tartil dalam pembacaan Al-Qur'an. Beliau mempersyaratkan sekurang-kurangnya pembacaan tartil dengan "tarkul 'ajalah fil qur'an" atau "tidak terburu-buru dalam bacaan supaya jelas." Ini menegaskan bahwa dalam melafalkan Al-Qur'an, harus dilakukan dengan kehati-hatian dan kesabaran agar setiap kata dan makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dengan jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun