Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Caleg dan Metafisika: Antara Spiritualitas dan Pragmatisme Politik dalam Pemilu 2024

8 Februari 2024   21:33 Diperbarui: 8 Februari 2024   21:40 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/elarpamagica.blogspot.com

Ketika mendekati Pemilihan Umum 2024, kembali muncul fenomena calon legislatif (caleg) yang mengandalkan dukungan dukun atau metafisika. Praktik ini, walaupun bukan merupakan hal baru, menunjukkan adanya perpaduan antara spiritualitas dan pragmatisme politik yang menarik untuk diselidiki secara mendalam. Pemilihan Umum merupakan proses demokratis di mana warga negara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen atau badan legislatif lainnya. Calon legislatif (caleg) adalah individu yang mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen atau duduk di badan legislatif setempat. Dukun adalah seorang praktisi spiritual atau metafisika yang diyakini memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan dunia gaib atau memberikan bantuan spiritual kepada individu atau kelompok.

Fenomena caleg yang mengandalkan dukun atau metafisika menunjukkan bahwa ada keterlibatan spiritual atau metafisika dalam proses politik. Ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya para calon untuk memperoleh dukungan tambahan atau menarik pemilih dengan memanfaatkan keyakinan spiritual atau metafisika. Meskipun beberapa orang mungkin melihatnya sebagai strategi politik yang cerdas, yang lain mungkin mengkritiknya karena dianggap mengeksploitasi keyakinan spiritual untuk kepentingan politik. Perpaduan antara spiritualitas dan pragmatisme politik dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan tentang etika dan integritas dalam politik. Apakah memanfaatkan dukun atau praktik metafisika untuk mendapatkan keuntungan politik merupakan tindakan yang bermoral? Apakah ini mencerminkan kedekatan yang lebih dalam antara agama atau spiritualitas dengan proses politik, ataukah ini hanya strategi manipulatif untuk memperoleh kekuasaan? Dengan demikian, fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang kompleks tentang hubungan antara spiritualitas, kekuasaan, dan politik dalam konteks masyarakat modern. Seiring dengan pertumbuhan dan perubahan dalam politik dan kehidupan spiritual, penting untuk terus menelusuri dampak dan implikasi dari perpaduan antara keduanya dalam ranah politik.

Dari satu perspektif, keyakinan terhadap hal-hal metafisika adalah bagian tak terpisahkan dari warisan budaya dan tradisi di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi sejumlah calon legislatif (caleg), dukungan dari para dukun dianggap mampu membawa keberuntungan, meningkatkan popularitas, serta membuka jalan menuju kursi di lembaga legislatif. Metafisika mengacu pada keyakinan atau konsep yang berada di luar lingkup ilmu pengetahuan dan pengalaman nyata, sering kali terkait dengan hal-hal spiritual atau gaib. Budaya Indonesia kaya akan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang melibatkan praktik-praktik metafisika, seperti dukun atau peramal. Bagi sebagian masyarakat, dukun dianggap memiliki akses atau kemampuan untuk berkomunikasi dengan dunia gaib atau memberikan petunjuk melalui berbagai cara.

Dalam konteks politik, beberapa calon legislatif memilih untuk memanfaatkan dukungan dari para dukun sebagai strategi untuk meningkatkan peluang mereka dalam pemilihan umum. Mereka percaya bahwa dukungan ini dapat membawa keberuntungan, meningkatkan elektabilitas, dan membuka jalan menuju kemenangan dalam perlombaan politik. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini, kepercayaan terhadap dukun dan praktik metafisika tetap kuat di beberapa segmen masyarakat Indonesia. Pemilihan untuk mengandalkan dukun atau metafisika sebagai bagian dari strategi politik juga mencerminkan adanya pandangan pragmatis dalam menghadapi realitas politik yang kompleks. Bagi sebagian caleg, strategi ini dianggap sebagai cara untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mencapai tujuan politik mereka. Namun demikian, hal ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang etika dan integritas dalam politik, terutama terkait dengan penyalahgunaan kepercayaan masyarakat untuk kepentingan politik individu.

Di sisi lain, pragmatisme politik juga turut mendorong timbulnya fenomena ini. Calon legislatif, khususnya mereka yang memiliki pengalaman dan popularitas yang terbatas, mencari jalan pintas untuk mendapatkan suara dan memenangkan pertarungan politik. Dukungan dari para dukun, dengan segala janji mistisnya, menawarkan solusi cepat untuk meningkatkan peluang politik mereka. Pragmatisme politik merujuk pada pendekatan yang menekankan pada pencapaian tujuan politik dengan cara yang paling efektif dan efisien, seringkali tanpa memperhatikan pertimbangan moral atau idealistik yang lebih luas. Dalam konteks fenomena ini, calon legislatif yang mengalami kendala dalam meraih popularitas atau pengaruh politik mungkin merasa tertarik untuk mencari dukungan dari para dukun sebagai cara untuk meningkatkan peluang mereka dalam pemilihan umum.

Bagi beberapa calon, terutama mereka yang minim pengalaman atau tidak memiliki popularitas yang cukup, dukungan dari para dukun dapat menjadi jalan pintas yang menjanjikan untuk meningkatkan elektabilitas mereka. Janji-janji mistis yang disampaikan oleh para dukun, seperti keberuntungan atau dukungan gaib, dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon yang mencari cara untuk mendongkrak peluang politik mereka dengan cepat. Meskipun strategi ini dapat dianggap sebagai langkah pragmatis dalam menghadapi persaingan politik yang sengit, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan tanggung jawab moral para calon tersebut. Apakah menggunakan dukungan dukun sebagai cara untuk meraih suara merupakan tindakan yang etis dalam konteks demokrasi? Apakah hal ini merupakan bentuk manipulasi terhadap keyakinan dan harapan masyarakat demi kepentingan politik individu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mencerminkan kompleksitas dan dilema yang terkait dengan perpaduan antara pragmatisme politik dan integritas moral dalam arena politik.

Pinterest.com/pngtree 
Pinterest.com/pngtree 
Namun, perlu ditekankan bahwa praktik semacam ini dapat membingungkan substansi dari demokrasi itu sendiri. Proses pemilihan umum seharusnya bersandar pada pertimbangan rasionalitas, program kerja, dan kualitas individu sebagai kandidat, bukanlah didasarkan pada kekuatan mistik. Memilih calon legislatif berdasarkan dukungan dari dukun dapat merangsang praktik politik yang bersifat transaksional dan mengabaikan kandidat yang memiliki kemampuan dan integritas yang sesungguhnya. Proses demokrasi memerlukan partisipasi yang sadar dan berdasarkan informasi yang cukup tentang kandidat dan program-program mereka. Dalam konteks ini, menilai kualitas seorang calon berdasarkan dukungan dari dukun dapat membingungkan pemilih dan mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak rasional. Keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan mistik juga dapat merugikan proses demokrasi secara keseluruhan dengan mengurangi fokus pada masalah-masalah substansial yang dihadapi oleh masyarakat dan negara. 

Lebih jauh lagi, praktik seperti ini dapat membuka pintu bagi politik yang didasarkan pada hubungan personal dan kesepakatan transaksional, mengabaikan kebutuhan akan pemimpin yang memiliki visi, kompetensi, dan integritas untuk melayani kepentingan masyarakat secara adil dan efektif. Dengan membiarkan kekuatan mistis mendominasi proses pemilihan, masyarakat berisiko kehilangan keterlibatan dalam proses demokrasi yang seharusnya memungkinkan mereka untuk membuat pilihan berdasarkan pertimbangan yang masuk akal dan berdasarkan pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi praktik semacam ini agar proses demokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip rasionalitas, integritas, dan partisipasi yang sadar.

Fenomena ini juga menunjukkan rendahnya tingkat literasi politik di kalangan masyarakat. Keyakinan pada hal-hal metafisika, tanpa disertai dengan pemahaman politik yang memadai, dapat dimanfaatkan oleh calon legislatif yang tidak bertanggung jawab untuk mencapai keuntungan pribadi. Literasi politik merujuk pada pemahaman individu tentang proses politik, sistem pemerintahan, dan keterlibatan dalam urusan publik. Tingkat literasi politik yang rendah dapat membuat masyarakat menjadi rentan terhadap pengaruh dan manipulasi dari pihak-pihak yang memanfaatkan kepercayaan pada hal-hal metafisika sebagai alat untuk mencapai tujuan politik mereka. Dalam konteks ini, kepercayaan pada dukun atau praktik metafisika tanpa pengetahuan politik yang memadai dapat memicu penyebaran informasi yang tidak akurat atau manipulatif, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi proses pemilihan umum dan hasilnya.

Calon legislatif yang tidak bertanggung jawab mungkin akan memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat tentang proses politik untuk memperoleh dukungan dengan cara yang tidak etis atau manipulatif. Mereka dapat menggunakan iming-iming mistis atau janji-janji yang tidak realistis untuk menarik perhatian pemilih yang kurang berpengalaman atau kurang terdidik secara politik. Hal ini dapat merugikan proses demokrasi secara keseluruhan dengan menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten atau tidak berintegritas, yang lebih peduli pada kepentingan pribadi daripada kepentingan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan tingkat literasi politik mereka agar lebih mampu mengenali dan menilai informasi politik dengan kritis. Dengan meningkatkan pemahaman tentang proses politik dan keterlibatan dalam urusan publik, masyarakat dapat menjadi lebih tahan terhadap upaya-upaya manipulasi dan memastikan bahwa pemilihan umum berlangsung secara adil dan transparan, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, pendidikan politik dan peningkatan literasi masyarakat menjadi faktor kunci dalam menanggulangi pragmatisme politik dan mistifikasi dalam proses pemilihan umum. Masyarakat perlu didorong untuk memilih calon legislatif berdasarkan pertimbangan yang rasional dan program kerja yang ditawarkan, bukan sekadar tergiur oleh janji-janji mistis atau retorika kosong. Edukasi politik mengacu pada upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang proses politik, peran serta dalam urusan publik, dan penilaian terhadap kualitas dan integritas calon. Peningkatan literasi publik yang mencakup pemahaman tentang prinsip-prinsip demokrasi, hak dan kewajiban warga negara, serta kemampuan untuk menganalisis informasi politik dengan kritis, sangat penting untuk memastikan bahwa pemilihan umum berlangsung secara adil dan demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun