Mohon tunggu...
Ahmad Sastra
Ahmad Sastra Mohon Tunggu... Penulis - penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ahmad Sastra adalah seorang peminat literasi fiksi maupun nonfiksi. beberapa buku fiksi dan non fiksi telah ditulisnya. banyak juga menulis artikel populer di berbagai media masa cetak dan elektronik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca Pro Kontra Diskursus Khilafah

11 Juni 2022   15:34 Diperbarui: 11 Juni 2022   15:40 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program Migister Ilmu Politik FISIP UI yang pada awalnya berjudul, "Islam Fundamentalis Radikal: Gerakan dan Pemikiran FPI, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin dan Hizbut Tahrir Indonesia Tahun 1998-2003." Menurut penulis buku ini, aktor dan aktivis Islam radikal sebetulnya pemain lama yang muncul kembali secara terang-terangan pada masa reformasi ini, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jamaah.

Mari kita bahas radikalisme secara epistemologis. Radikalisme adalah istilah yang dikonstruk oleh epistemologi Barat, bukan dari khasanah ajaran Islam. Radikalisme berasal dari kata radical atau  radix yang berarti "sama sekali" atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (synonym) dengan kata "fundamentalis" dan "extreme". 'radikalisme' berasal dari bahasa Latin "radix, radicis", artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata "akar" atau mengakar.

Secara historis, istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.

Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang  bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan  yang lahir dari ideologi kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan.

Istilah radikalisme mengalami semacam politisasi makna, istilah radikal oleh Barat kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Ini adalah fakta sejarah, bukan ilusi apalagi fitnah. Menggunakan istilah radikal untuk Islam merupakan sebuah kerancuan epistemologi atau cacat intelektual dan cacat historis.

Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan  Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dengan lahap. Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika,  lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri.

Sederet fakta ini sudah menjadi bukti yang cukup bahwa perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam. Perang terhadap radikalisme tidak hanya muncul di Indonesia. Ini adalah proyek global. Setelah Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump, slogan " Global War on terroris " di ubah menjadi slogan " Global War ON Radicalism ", karena  " Global War on terroris "  tidak lagi bisa menjangkau kelompok-kelompok Islam yang ingin menerapkan Syariah Islam secara Kaffah dalam institusi Khilafah yang menggunakan metode dakwah non kekerasan. Karena itu digunakan " Global War on Radicalism ". Dewan Keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan "terorisme radikal Islam" atau " Islam radikal ", atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti " Islamisme ".  

Istilah radikalisme khilafah dengan demikian adalah istilah yang mengandung kerancuan epistemologis. Sebab radikalisme adalah negatif dari barat, sementara khilafah adalah ajaran Islam yang tentu saja baik. Demikian pula, adalah tidak bijak menyalahkan khilafah sebagai ajaran Islam hanya karena kesalahan tindakan orang-orang yang mengaku mengusungnya. Mungkin yang radikal itu orangnya, bukan khilafahnya. Sama dengan istilah Islam nusantara, yang benar itu muslim nusantara, yakni seorang muslim yang tinggal di nusantara. Beberapa paragraf tentang radikalisme ini saya maksudnya untuk menanggapi tulisan Prof. Akh Muzakki dari paragraf kelima dan seterusnya.

Di akhir tulisan, Prof Akh Muzakki menulis : Pada titik inilah mengapa publik penting untuk menyoal dan mempermasalahkan khilafah. Radikalisme konstitusi bisa saja kemudian bergerak ke arah radikalisme takfiri melalui pengembangan pemikiran monolitik yang tidak mengakui keberadaan selainnya hingga radikalisme jihadis yang berbasis praktik ekstremisme kekerasan. Hanya soal waktu pergeseran pergerakan itu akan mewujud. Apalagi, rekam jejak pemimpin gerakan khilafah, seperti dijelaskan di atas, tidak clean and clear dari ekstremisme radikal.

Akhir tulisan itu tentu saja baru sebatas kekhawatiran karena menggunakan diksi 'bisa saja', yang artinya belum menjadi kenyataan. Namun secara psikologis, akhir tulisan ini bisa saja berpotensi menimbulkan ketakutan dan kegaduhan di masyarakat awam yang tidak memahami hakikat khilafah. Indonesia itu kan negara hukum, dimana orang yang melanggar hukum ya semestinya ditindak. Namun mempermasalahkan konsep khilafah dengan dasar perilaku manusia, tentu saja tidak mendidik. Adalah tidak bijak juga menstigmatisasi muslim yang mendakwahkan ajaran Islam, sebab dakwah memang kewajiban dari Allah.

Demikian tanggapan saya atas tulisan Prof Akh. Muzakki, MAg yang terhormat, semoga tulisan ini bisa menambah wawasan bagi masyarakat luas tentang khilafah. Kebenaran datangnya dari Allah, kesalahan karena keterbatasan saya sebagai penulis. Saya mohon ampun kepada Allah atas kekurangan dan kesalahan.

(AhmadSastra,KotaHujan,08/06/22 : 11.03 WIB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun