Mohon tunggu...
Ahmad Sastra
Ahmad Sastra Mohon Tunggu... Penulis - penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ahmad Sastra adalah seorang peminat literasi fiksi maupun nonfiksi. beberapa buku fiksi dan non fiksi telah ditulisnya. banyak juga menulis artikel populer di berbagai media masa cetak dan elektronik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca Pro Kontra Diskursus Khilafah

11 Juni 2022   15:34 Diperbarui: 11 Juni 2022   15:40 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya. Ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini.

Pertama, buku berjudul Today's Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism yang ditulis oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Terbitan: Swada, 1965. Buku ini diterjemahkan dengan judul isme-isme dewasa ini dan diterbitkan oleh Erlangga tahun 1994. Jika dibaca buku ini, maka tidak ditemukan selembarpun yang menyatakan bahwa khilafah adalah ideologi. Padahal Prof. William Ebenstein adalah penulis buku yang memiliki wawasan global, namun tidak memasukkan khilafah sebagai ideologi dalam karyanya ini.

Kedua, buku berjudul Political ideology today : Second edition (Politics Today) yang ditulis oleh Ian Adams dan diterbitkan oleh Manchester University Press; 2nd edition (November 10, 2001) yang diterjemahkan menjadi Ideologi Politik Hari Ini. Prof. Ian Adams yang mengenalkan diri di akun facebooknya sebagai discover more of the author's books, see similar authors, read author blogs and more juga tidak pernah menyebutkan dalam bukunya bahwa khilafah adalah ideologi. Pemahaman yang benar bahwa khilafah adalah sistem pemerintah Islam yang awalnya dicontohkan oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau yang menerapkan syariah Islam.

Di paragraf ketiga, Prof Akh. Muzakki menyinggung tentang rekam jejak Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai pemimpin kelompok Khilafatul Muslimin di atas mendapat catatan tebal dari aparat keamanan. Tercatat oleh Densus 88, sebagai misal, yang bersangkutan pernah ditangkap karena terkait dengan tindak terorisme melalui kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

Jika catatan densus 88 itu benar, maka tulisan ini tentu saja bukan argumentasi kuat untuk mengkaitkan dan apalagi menyalahkan konsep khilafah. Tentu saja berbeda antara muslim dan Islam, muslim bisa salah, Islam tak mungkin salah. Beda pula antara khalifah dan khilafah, khalifah bisa salah, sementara khilafah pasti benar. Adalah tidak bijak menyalahkan Islam karena dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang muslim. Apakah dibenarkan menyalahkan kampus ketika dikaitkan dengan pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang dosen.

Penulis mengulangi kesalahan soal khilafah sebagai ideologi di paragraf keempat yang berbunyi : Rekam jejak yang demikian memperparah profil khilafah di ruang publik. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan dan dilarang di Indonesia oleh pemerintah sejak 19 Juli 2017 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas), kemunculan kelompok Khilafatul Muslimin di atas membelalakkan mata publik bahwa sebagai ideologi, khilafah tidak pernah mati.

Pada paragraf berikutnya, Prof. Akh Muzakki mencoba mengetengahkan argumentasi soal kaitan antara khilafah dan radikalisme. Menurutnya ada tiga tingkatan radikalisme, yakni radikalisme konstitusi, radikalisme takfiri dan radikalisme jihadis. Tingkatan radikalisme ini mirip dengan pendapat Nahfud MD yang mengatakan bahwa radikalisme memiliki tiga tingkatan, pertama takfiri, jihadis dan ideologis. Pendapat keduanya hampir mirip namun tidak sama. Jujur, saya sendiri tidak tahu buku apa yang dijadikan referensi dimana tiga level radikalisme itu ditulis di dalamnya.

Setahu saya yang namanya kata kafir itu memang terdapat dalam kitab suci Al Qur'an dan Islam telah memberikan aturan yang rinci soal ini (QS Al Kafirun : 1-6) . Bahkan bisa dikatakan bahwa Islam adalah agama paling toleran di dunia. Kata jihad juga terdapat dalam Al Qur'an, lihat QS al-Hajj/22: 78 dan QS. al-Baqarah/2:218. Tentu saja keduanya tidak relevan jika dikaitkan dengan istilah radikalisme yang berasal dari epistemologi barat. Istilah takfiri dan jihadis telah mengalami tambahan huruf dan sifat yang kemudian distigmatisasi dan dimonsterisasi seolah punya makna yang negatif dan menakutkan. Mungkin istilah-istilah yang seperti yang kini memunculkan islamophobia di seluruh dunia. Istilah-istilah seperti ini nampaknya telah berkontribusi munculnya psikoabnormal yang namanya islamophobia.

Penulis menekankan dan mengaitkan radikalisme konstitusi dengan upaya orang-orang yang dianggap merongrong konstitusi Indonesia yang telah menyepakati UUD 45 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai ideologi negara. Padahal fakta sejarah tentang kesepakatan masih banyak menimbulkan pertanyaan hingga kini, bahkan hari lahir pancasila saja masih berbeda pendapat. Negara ini juga sudah berulang kali melakukan amandemen UU.

Bahkan jika dicermati banyak produk UU yang justru diprotes rakyat karena dianggap merugikan rakyat dan menguntungkan oligarki. Bahkan ingatan kita masih kuat, beberapa waktu lalu ada komponen pejabat yang mewacanakan konsep ekasila dan trisila sebagai perubahan pancasila. Semoga Prof Akh. Muzakki juga membahas persoalan penting di atas dalam tulisan-tulisan berikutnya, insyaallah saya akan membacanya.

Berbicara masalah radikalisme, ada buku yang bisa dikaji lebih kritis. Adalah M. Zaki Mubarok, pengamat gerakan radikalisme dari UIN Jakarta, dalam bukunya Genealogi Islam Radikal di Indonesia : gerakan, pemikiran dan prospek demokrasi (tesis) memasukkan HTI sebagai salah satu ormas radikal, selain MMI dan FPI. Secara genealogis, munculnya HTI adalah bagian dari lahirnya gerakan radikalisme agama di Indonesia. Penulis tidak memasukkan Khilafatul Muslimin sebagai kelompok radikal, entah lupa atau sengaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun