Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perebutan Gelar Di lapisan Elite : "Tanda-Tanda Apakah ?"

5 Januari 2025   11:19 Diperbarui: 5 Januari 2025   11:19 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rokcy Gerung Kritikus Dan Pengamat Kebijakan Politik (Sumber Gambar. Youtube).

Di level pedagogis, pendidik perlu mengembangkan metode pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk tidak hanya memahami "apa" tetapi juga "mengapa" dan "bagaimana." Metode Socratic questioning, problem-based learning, dan critical reflection perlu menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.

Akhirnya, supra-struktur pendidikan yang mengintegrasikan nalar kritis dan akal sehat bukan sekadar kebutuhan akademis, tetapi juga kebutuhan sosial. Di tengah kompleksitas tantangan global dan lokal yang kita hadapi, kemampuan untuk berpikir kritis sambil tetap berpegang pada akal sehat menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Seperti yang dikatakan filsuf pendidikan Maxine Greene, "Pendidikan harus membuka kemungkinan-kemungkinan baru." Dalam konteks ini, pertemuan antara nalar kritis dan akal sehat dalam supra struktur pendidikan menjadi fondasi penting untuk membuka kemungkinan-kemungkinan tersebut, menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga bijak dalam menghadapi kompleksitas kehidupan.


Perebutan Gelar Akademis Di Lapisan Elite : Rokcy Gerung "Ijazah Tanda Pernah Belajar, "Bukan Tanda Pernah Berpikir", Tanda-Tanda Fenomena Sosial Ekonomi Terhadap Kebutuhan Licency Sebagai Landasan Keterangan Kompehensifitas Bidang Akademis.

Merawat Kebutuhan Nalar Kritis Mahasiswa (Sumber Gambar. Kumparan).
Merawat Kebutuhan Nalar Kritis Mahasiswa (Sumber Gambar. Kumparan).

Di tengah hiruk pikuk perdebatan tentang kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, pernyataan Rocky Gerung yang viral di berbagai platform media sosial tentang "Ijazah sebagai tanda pernah belajar, bukan tanda pernah berpikir" menjadi cermin reflektif bagi masyarakat Indonesia. Pernyataan ini, yang dikutip oleh berbagai media nasional termasuk Kompas dan Tempo, membuka diskusi lebih luas tentang makna sesungguhnya dari sebuah gelar akademis.

Fenomena perebutan gelar akademis di kalangan elite Indonesia bukanlah hal baru. Media Indonesia pada tahun 2023 melaporkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah pendaftar program pascasarjana, terutama di universitas-universitas ternama. Namun, di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah paradoks yang mengkhawatirkan: apakah peningkatan kuantitas ini sejalan dengan peningkatan kualitas pemikiran? 

Dalam konteks sosial-ekonomi Indonesia, gelar akademis telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar pengakuan atas pencapaian akademik. Ia telah menjadi simbol status sosial, tiket masuk ke lingkaran elite, dan bahkan menjadi prasyarat wajib dalam perebutan posisi-posisi strategis. Fenomena ini menciptakan apa yang oleh sosiolog pendidikan sebut sebagai "kredensialisme" - sebuah kondisi di mana kredensial formal lebih dihargai dibandingkan kompetensi aktual. Di sisi lain, pemberitaan media nasional seperti Detik dan CNN Indonesia kerap melaporkan kasus-kasus pemalsuan ijazah di kalangan pejabat publik. Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana gelar akademis telah menjadi komoditas yang diperebutkan, bahkan dengan cara-cara yang tidak etis. Fenomena ini semakin mempertegas kritik Rocky Gerung tentang disparitas antara kepemilikan ijazah dan kemampuan berpikir kritis.

Dalam konteks pasar kerja, survei Willis Towers Watson yang dirilis pada 2023 menunjukkan bahwa 78% perusahaan di Indonesia masih menjadikan gelar akademis sebagai kriteria utama dalam proses rekrutmen. Namun, ironisnya, survey yang sama juga mengungkapkan bahwa 65% pengusaha merasa ada kesenjangan antara kualifikasi formal kandidat dengan kompetensi riil yang dibutuhkan di lapangan. Problem kredensialisme ini semakin diperparah oleh munculnya apa yang disebut "gelar instan" - program-program yang menjanjikan gelar akademis dalam waktu singkat dengan proses yang dipersingkat. Meskipun Kementerian Pendidikan telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk membatasi praktik ini, fenomena ini tetap marak, terutama di kalangan profesional dan pejabat yang mengejar legitimasi akademis. Solusi dari permasalahan ini tentunya tidak sesederhana menghapus sistem gelar akademis atau mengabaikan pentingnya pendidikan formal. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dalam cara kita memandang dan menilai kompetensi. Beberapa universitas terkemuka di Indonesia mulai mengadopsi sistem penilaian berbasis kompetensi, di mana kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah menjadi fokus utama.

Lebih jauh lagi, diperlukan perubahan paradigma dalam masyarakat tentang makna kesuksesan dan prestasi. Media massa memiliki peran penting dalam mengubah narasi ini, dengan lebih banyak mengangkat kisah-kisah sukses yang tidak selalu berkorelasi dengan gelar akademis tinggi, namun lebih pada inovasi dan kontribusi nyata pada masyarakat. Akhirnya, kritik Rocky Gerung harus dipahami bukan sebagai penolakan terhadap pentingnya pendidikan formal, melainkan sebagai pengingat bahwa esensi pendidikan sejati terletak pada kemampuan mengolah pikiran dan menghasilkan gagasan yang bermakna. Dalam era di mana informasi dan pengetahuan begitu mudah diakses, yang membedakan seorang terpelajar sejati bukanlah ijazah di dinding, melainkan kemampuannya untuk berpikir kritis, menganalisis masalah, dan memberikan solusi inovatif bagi permasalahan di sekitarnya.

Senjakala Pendidikan dalam Senjakala Nalar Kritis: Sebuah Refleksi atas Degradasi Kualitas Berpikir di Era Digital.

Senjakala Berhala & Anti-Krist (Sumber Gambar. Balai Buku Progresif).
Senjakala Berhala & Anti-Krist (Sumber Gambar. Balai Buku Progresif).

Di tengah gemerlap kemajuan teknologi dan ledakan informasi digital, kita menyaksikan fenomena yang paradoksal: semakin memudarnya kemampuan nalar kritis dalam sistem pendidikan kita. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "senjakala nalar", menjadi cermin buram bagi masa depan pendidikan Indonesia.


Degradasi Nalar dalam Pusaran Teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun