Tantangan ini semakin kompleks ketika kita berbicara tentang pendidikan tinggi. Meskipun jumlah perguruan tinggi terus bertambah, akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas masih menjadi privilese bagi sebagian kecil masyarakat. Biaya pendidikan yang tinggi, ditambah dengan persaingan yang ketat, seringkali menjadi tembok penghalang bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Dalam konteks hak politik dan konstitusional, pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pendidikan adalah instrumen fundamental dalam membentuk warga negara yang kritis dan mampu berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Ketika akses pendidikan tidak merata, yang terjadi adalah kesenjangan partisipasi politik dan ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan publik.
Negara, sebagai pemegang mandat konstitusional, memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi kesenjangan ini. Program-program afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar dan beasiswa Bidik Misi merupakan langkah positif, namun masih perlu diperkuat dan diperluas jangkauannya. Lebih dari itu, diperlukan reformasi sistemik dalam tata kelola pendidikan nasional.
Salah satu aspek krusial yang perlu dibenahi adalah distribusi sumber daya pendidikan. Penempatan guru berkualitas, pembangunan infrastruktur, dan pengadaan fasilitas pembelajaran harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip pemerataan. Daerah-daerah tertinggal seharusnya mendapat perhatian lebih besar untuk mengejar ketertinggalan mereka.
Di level pendidikan tinggi, otonomi akademik perlu diperkuat dengan tetap memperhatikan aspek pemerataan akses. Perguruan tinggi negeri, sebagai institusi yang didanai publik, harus mampu menjadi motor penggerak mobilitas sosial melalui pendidikan berkualitas yang terjangkau. Sistem kuota dan beasiswa perlu diperluas untuk memberi kesempatan lebih besar bagi kelompok marginal.
Tak kalah pentingnya adalah penguatan pendidikan vokasi sebagai alternatif pendidikan tinggi konvensional. Dalam era ekonomi digital, kebutuhan akan tenaga kerja terampil semakin meningkat. Pendidikan vokasi yang berkualitas dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memasuki dunia kerja dengan kompetensi yang relevan.
Pada akhirnya, pemenuhan hak pendidikan dan kesetaraan akademis bukan sekadar kewajiban konstitusional negara. Ini adalah investasi jangka panjang dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Ketika setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, maka cita-cita Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur akan lebih mudah diwujudkan.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Hatta, "Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan seluruh bangsa, bukan kemerdekaan segelintir orang." Dalam konteks pendidikan, prinsip ini berarti bahwa kemajuan pendidikan harus bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi mereka. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat benar-benar menjadi motor penggerak kemajuan bangsa dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memenuhi Tanggung Jawab Pendidikan.
Pemenuhan hak pendidikan dan akademis merupakan tanggung jawab konstitusional negara yang tidak bisa ditawar. Implementasinya membutuhkan komitmen politik yang kuat dan strategi komprehensif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Hanya dengan demikian, cita-cita kesetaraan dalam pendidikan dapat diwujudkan sebagai bagian dari penguatan demokrasi Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak." Dalam konteks modern, prinsip ini harus diperluas menjadi jaminan kesetaraan akses dan kualitas pendidikan bagi seluruh warga negara, sebagai perwujudan tanggung jawab konstitusional negara.
Supra-Struktur Pendidikan: Ketika Nalar Kritis Bertemu Akal Sehat dalam Ruang Akademis.