Dewasa ini, kita hidup di era informasi yang begitu pesat dan dinamis. Setiap detik, ribuan informasi baru bermunculan dan menyebar dengan cepat melalui berbagai platform digital. Namun, di balik kemudahan akses informasi ini, tersembunyi sebuah tantangan besar yang kian mengkhawatirkan: maraknya penyalahgunaan informasi.
Kasus klarifikasi Mahfud MD terkait kabar pengangkatannya sebagai Jaksa Agung menjadi cermin nyata dari fenomena ini. Sebuah berita palsu, lengkap dengan gambar yang diedit dan narasi fiktif, berhasil menarik perhatian publik dan memicu kebingungan. Mahfud MD, sebagai tokoh publik yang namanya diseret dalam hoaks ini, terpaksa harus turun tangan langsung untuk mengklarifikasi. Melalui akun X pribadinya, ia dengan tegas menyatakan bahwa informasi tersebut adalah hoaks dan sama sekali tidak berdasar.
Fenomena ini bukanlah kejadian terisolasi. Setiap hari, kita dihadapkan pada banjir informasi yang tidak semuanya dapat dipercaya. Dari isu politik, kesehatan, hingga gosip selebriti, hoaks dan misinformasi seolah tak kenal lelah menyerang kesadaran publik. Penyebaran informasi palsu ini semakin dipermudah dengan adanya media sosial dan aplikasi pesan instan yang memungkinkan siapa saja untuk menjadi produsen dan distributor informasi.
Dampak dari penyalahgunaan informasi ini sangatlah luas dan dalam. Tidak hanya menciptakan kebingungan dan kekacauan di masyarakat, tetapi juga dapat mempengaruhi opini publik, merusak reputasi individu atau organisasi, bahkan berpotensi memicu konflik sosial. Dalam konteks politik, seperti yang terjadi pada kasus Mahfud MD, hoaks dapat digunakan sebagai alat untuk memanipulasi persepsi publik dan mempengaruhi dinamika politik.
Menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Pemerintah, platform media sosial, lembaga pendidikan, media massa, dan masyarakat umum harus bersinergi dalam memerangi penyalahgunaan informasi. Peningkatan literasi digital dan media menjadi kunci utama dalam membangun masyarakat yang lebih kritis dan cerdas dalam mengonsumsi informasi.
Langkah Mahfud MD dalam mengklarifikasi hoaks tentang dirinya patut diapresiasi dan dapat dijadikan contoh. Transparansi dan komunikasi langsung dari tokoh publik seperti ini dapat membantu meredam penyebaran informasi palsu. Namun, tanggung jawab untuk memerangi hoaks tidak boleh hanya dibebankan pada mereka yang menjadi target. Setiap individu memiliki peran penting dalam memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya.
Di tengah hiruk pikuk informasi yang tak terbendung, kita dituntut untuk selalu waspada dan kritis. Membangun kebiasaan untuk selalu memverifikasi sumber informasi, membandingkan dengan sumber terpercaya lainnya, dan berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi menjadi keterampilan yang wajib dimiliki di era digital ini. Hanya dengan kesadaran dan kewaspadaan kolektif, kita dapat berharap untuk meminimalisir dampak negatif dari penyalahgunaan informasi dan menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Hukum: Dari Kultural Menuju Struktural - Perspektif Antropologi.
Dalam wacana antropologi hukum, evolusi sistem hukum dari bentuk kultural menuju struktural merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Kasus kejaksaan di Indonesia menjadi contoh yang relevan dalam konteks ini, menunjukkan bagaimana institusi hukum berkembang dari akar budaya lokal menuju struktur formal negara modern.
Sebelum era reformasi, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, konsep kejaksaan telah ada dalam bentuk kultural yang mengakar pada tradisi kerajaan Hindu-Jawa. Istilah "dhyaksa", "adhyaksa", dan "dharmadhyaksa" yang berasal dari bahasa Sanskerta, telah digunakan di Kerajaan Majapahit untuk merujuk pada jabatan-jabatan tertentu yang terkait dengan penegakan hukum dan keadilan (Supomo, 1965). Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut oleh Clifford Geertz (1973) sebagai "hukum sebagai fakta budaya", di mana norma-norma hukum terintegrasi erat dengan sistem kepercayaan dan struktur sosial masyarakat.
Dalam perspektif antropologi hukum, Sally Falk Moore (1978) mengemukakan konsep "semi-autonomous social field", yang dapat diterapkan untuk memahami bagaimana institusi seperti kejaksaan pada masa kerajaan berfungsi. Institusi ini memiliki otonomi relatif dalam menjalankan fungsi hukumnya, namun tetap terikat dan dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang lebih luas.
Transformasi ini semakin intensif pada masa pasca-kemerdekaan, di mana kejaksaan berkembang menjadi institusi negara yang terstruktur. Menurut Sally Engle Merry (1988), proses ini dapat dipahami sebagai "legal pluralism", di mana sistem hukum negara dan sistem hukum adat berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum ini tercermin dalam upaya negara untuk mengintegrasikan elemen-elemen hukum adat ke dalam sistem hukum nasional.