Suku Lampung Atau Melayu Pegagan ?
Suku Lampung: Penjaga Tradisi di Ujung Selatan Sumatra.
Di ujung selatan Pulau Sumatra, terbentang sebuah provinsi yang namanya identik dengan suku asli penghuninya: Lampung. Suku Lampung, dengan sejarahnya yang panjang, telah menjadi bagian integral dari mozaik keberagaman Indonesia. Menurut Hadikusuma (1989), suku ini terbagi menjadi dua kelompok besar: Lampung Pesisir yang mendiami daerah pantai, dan Lampung Pepadun yang bermukim di pedalaman.
Bahasa menjadi identitas kuat Suku Lampung. Sebagaimana dijelaskan oleh Walker (1976), bahasa Lampung terbagi menjadi dua dialek utama: dialek 'A' (Api) dan dialek 'O' (Nyo), masing-masing dengan karakteristik pengucapan yang khas. Keunikan bahasa ini menjadi cerminan kekayaan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam struktur sosialnya, Suku Lampung menganut sistem patrilineal. Esten (1993) menggambarkan bahwa sistem kekerabatan ini tercermin dalam adat Pepadun, sebuah sistem kepemimpinan adat yang menjadi pondasi struktur sosial masyarakat Lampung. Pepadun tidak hanya mengatur tata cara bermasyarakat, tetapi juga menjadi simbol status dan martabat dalam komunitas.
Kesenian Lampung merupakan ekspresi budaya yang memukau. Tari Melinting dan Sigeh Penguten, sebagaimana diuraikan oleh Mustika (2012), bukan sekadar gerakan indah, tetapi juga mengandung filosofi hidup dan nilai-nilai luhur Suku Lampung. Sementara itu, kain tapis, dengan motif-motif geometris dan flora-fauna yang rumit, menjadi bukti keterampilan tangan dan kekayaan imajinasi para pengrajin Lampung.
Arsitektur tradisional Lampung juga memiliki kekhasan tersendiri. Rumah Nowou Sesat, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2018), adalah rumah panggung yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan kosmologi dan nilai-nilai sosial masyarakat Lampung. Struktur rumah yang tinggi tidak hanya melindungi dari banjir dan binatang buas, tetapi juga melambangkan ketinggian martabat penghuninya.
Melayu Pegagan: Warisan Budaya di Tepian Sungai.
Bergeser ke arah utara, di sepanjang Sungai Pegagan yang mengalir di Sumatera Selatan, hidup sebuah sub-etnis Melayu yang dikenal sebagai Melayu Pegagan. Menurut Peeters (1997), suku ini telah mendiami wilayah tersebut sejak berabad-abad lalu, membentuk identitas unik yang merupakan perpaduan antara budaya Melayu dan pengaruh lokal.
Bahasa Melayu Pegagan, sebagaimana dijelaskan oleh Aliana (1985), merupakan variasi dari bahasa Melayu yang telah beradaptasi dengan kondisi geografis dan sosial setempat. Logat dan kosakata khasnya menjadi penanda identitas yang membedakan mereka dari kelompok Melayu lainnya di Sumatera.
Kehidupan Melayu Pegagan sangat erat kaitannya dengan Sungai Pegagan yang menjadi urat nadi kehidupan mereka. Menurut Syarofie (2013), sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai sumber penghidupan utama masyarakat. Aktivitas mencari ikan, berladang di tepian sungai, dan perdagangan melalui jalur air telah membentuk karakteristik budaya yang unik.
Sistem kekerabatan Melayu Pegagan, sebagaimana dijelaskan oleh Hanafiah (1995), menganut pola bilateral atau parental, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu. Struktur sosial ini tercermin dalam berbagai upacara adat dan ritual kehidupan, mulai dari kelahiran hingga kematian, yang menekankan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.