"Attoriqotu" Sebuah Definisi Metodelogis Dalam Khazanah Epistimologis Islam.
"Attoriqotu" atau "al-tariqah" dalam khazanah epistemologis Islam merupakan sebuah konsep yang kaya makna dan memiliki signifikansi mendalam dalam tradisi keilmuan Islam. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti "jalan" atau "metode". Namun, dalam konteks epistemologi Islam, "attoriqotu" memiliki makna yang jauh lebih luas dan kompleks.
Dalam tradisi sufisme, "attoriqotu" sering diartikan sebagai jalan spiritual menuju Allah SWT. Para sufi seperti Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam karyanya "Ihya Ulumuddin" menguraikan bahwa "attoriqotu" adalah serangkaian tahapan dan praktik spiritual yang harus dilalui seorang salik (pencari kebenaran) untuk mencapai ma'rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Konsep ini menekankan pentingnya pengalaman spiritual pribadi dalam proses pencarian kebenaran.
Namun, dalam konteks yang lebih luas, "attoriqotu" juga dapat dipahami sebagai metodologi dalam pencarian ilmu dan kebenaran. Ibn Sina (980-1037 M), dalam karyanya "Al-Isharat wa al-Tanbihat", mengembangkan konsep "attoriqotu" sebagai metode logis dan sistematis dalam memperoleh pengetahuan. Ia menekankan pentingnya observasi, eksperimen, dan penalaran deduktif dalam proses pencarian kebenaran ilmiah.
Pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman (1919-1988) dalam karyanya "Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition" mengajukan reinterpretasi terhadap konsep "attoriqotu". Rahman melihat "attoriqotu" bukan hanya sebagai metode spiritual atau ilmiah, tetapi juga sebagai pendekatan hermeneutis dalam memahami teks-teks keagamaan. Ia menekankan pentingnya kontekstualisasi dan pemahaman historis dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits.
Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931-2022), seorang filsuf Muslim Malaysia, dalam karyanya "Islam and Secularism" mengembangkan konsep "attoriqotu" sebagai metode integrasi ilmu. Ia berpendapat bahwa "attoriqotu" dalam epistemologi Islam harus mampu memadukan pengetahuan rasional, empiris, dan spiritual. Al-Attas menekankan pentingnya tauhid (keesaan Allah) sebagai prinsip dasar dalam metodologi keilmuan Islam.
Dalam perkembangan pemikiran Islam kontemporer, muncul pendekatan revisionis yang berupaya mereinterpretasi konsep "attoriqotu" dalam konteks modernitas. Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010), seorang pemikir Mesir, dalam karyanya "Mafhum al-Nass: Dirasah fi Ulum al-Qur'an" mengajukan pendekatan hermeneutis baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Ia melihat "attoriqotu" sebagai metode pembacaan kritis yang mempertimbangkan konteks historis dan sosial-budaya.
Mohammed Arkoun (1928-2010), pemikir Aljazair, dalam karyanya "Rethinking Islam" mengajukan konsep "attoriqotu" sebagai metode dekonstruksi terhadap pemahaman keagamaan yang dogmatis. Arkoun menekankan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam studi Islam, yang melibatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern.
Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana hukum Islam kontemporer, dalam karyanya, Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana hukum Islam kontemporer, dalam karyanya "Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women" mengembangkan konsep "attoriqotu" sebagai metodologi interpretasi hukum Islam yang lebih fleksibel dan kontekstual. Ia menekankan pentingnya etika interpretasi dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami kehendak Tuhan.
Pendekatan revisionis terhadap konsep "attoriqotu" juga muncul dalam pemikiran Abdolkarim Soroush, filsuf Iran kontemporer. Dalam karyanya "The Expansion of Prophetic Experience", Soroush mengajukan teori "penyusutan dan pengembangan pengetahuan agama" yang melihat "attoriqotu" sebagai proses dinamis dalam memahami agama, yang terus berkembang seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Amina Wadud, seorang feminis Muslim Amerika, dalam bukunya "Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective" menggunakan pendekatan "attoriqotu" yang berperspektif gender dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ia menekankan pentingnya pembacaan yang mempertimbangkan kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Jasser Auda, seorang sarjana Muslim kontemporer, dalam karyanya "Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach" mengembangkan pendekatan sistem terhadap "attoriqotu" dalam hukum Islam. Ia mengintegrasikan teori sistem kompleks dan maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariah) sebagai metodologi baru dalam ijtihad kontemporer.
Pendekatan revisionis terhadap "attoriqotu" ini tidak lepas dari kritik. Beberapa ulama tradisional menganggap pendekatan ini terlalu liberal dan berpotensi mengaburkan batas-batas doktrinal Islam. Namun, para pendukungnya berpendapat bahwa revisi metodologis ini justru diperlukan untuk menjaga relevansi Islam dalam menghadapi tantangan modernitas.
Sebagai simpul benang merah, "attoriqotu" dalam khazanah epistemologis Islam telah mengalami evolusi makna dan interpretasi. Dari konsep spiritual dalam sufisme, metode ilmiah dalam filsafat Islam klasik, hingga pendekatan hermeneutis dan kritis dalam pemikiran Islam kontemporer. Pendekatan revisionis terhadap "attoriqotu" mencerminkan upaya para pemikir Muslim untuk merespons tantangan modernitas sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar Islam. Meskipun kontroversial, pendekatan ini telah membuka ruang dialog dan pembaruan dalam pemikiran Islam, menunjukkan dinamika dan vitalitas tradisi intelektual Islam dalam menghadapi perubahan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H